Dewan Paripurna Pemuda Panca Marga (PPM) Provinsi Bali, Anak Agung Nanik Suryani, mengatakan Ida Anak Agung Gde Agung tidak layak mendapat gelar pahlawan nasional. Salah satu alasannya, Gde Agung dituding berlaku kejam terhadap sejumlah pejuang kemerdekaan.
Nanik Suryani menjelaskan, penyematan gelar pahlawan nasional AA Gde Agung tidak sesuai prosedur lantaran bukan diusulkan masyarakat setempat dalam hal ini Bali.
Nanik Suryani lantas menyebut seorang pahlawan nasional tidak boleh mempunyai cacat dalam hidupnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kalau mengenai cacat dalam hidupnya Ida Anak Agung Gede Agung itu sudah saksi matanya banyak sekali di Bali. Beliau mempunyai organisasi apa namanya PPN, pembela tanah air kalau gak salah. Tapi faktanya organisasi itu malah menangkapi dan menyiksa pejuang," katanya kepada detikBali, Jumat (25/11/2022).
Wanita yang juga cucu pahlawan nasional Bali I Gusti Ngurah Rai itu mengetahui cacat hidup AA Gde Agung dari pelaku sejarah yakni para veteran perang. Salah satu "korban" kekejaman AA Gde Agung adalah Mangku Giweng.
"Jadi Mangku Giweng itu kalau tidak salah dia dipaksa untuk mengaku atau apapun tidak mau akhirnya ditembak, kepalanya dipenggal, akhirnya dipersembahkan kepada Ida Anak Agung Gede Agung," tuturnya menjelaskan.
Selain Mangku Giweng, Nanik Suryani menceritakan ada satu pejuang lagi yang diperlakukan kurang manusiawi oleh AA Gde Agung, yaitu Cokorda Brengos.
Menurut cerita yang ia dengar dari veteran, Cokorda Brengos sempat diminta berdiri dengan satu kaki di depan lapangan Puri Gianyar. Ia juga dijemur dan dipecut.
"Setelah berdarah-darah, diinikan pakai lateng (tanaman yang membuat gatal, Red), kan luar biasa itu perihnya," ungkapnya.
Nanik Suryani menjelaskan, dua cerita di atas bisa menjadi dasar mengapa AA Gde Agung tidak layak menjadi pahlawan nasional.
"Jadi dari segi prosedur itu sudah jelas, sudah dua yang tadi saya sebutkan, diusulkan oleh masyarakat setempat itu tidak ada. Kemudian tidak boleh ada cacat dalam hidunya, sudah sangat jelas beliau menyiksa para pejuang, dan satu lagi harus ada nama fasilitas umum yang memakai nama beliau, itu juga tidak ada di Bali," tambahnya.
Lebih jauh, Nanik Suryani yang mewakili suara keluarga pejuang, tetap menolak andai nama AA Gde Agung dipakai menjadi nama jalan di Bali dan dibuatkan monumen.
"Ya bayangkan sakit hatinya para pejuang jadinya kalau sampai itu terjadi. Jadi mungkin itu yang bisa saya sampaikan. Jadi penolakan kami sebagai keluarga pejuang dasarnya sangat jelas," pungkasnya.
Sosok AA Gde Agung memang masih jadi pro kontra bagi sebagian masyarakat Bali. Dia merupakan Raja Gianyar di zaman pendudukan kolonial. Gde Agung juga pernah menjabat Perdana Menteri Negara Indonesia Timur (NIT). Sebagian masyarakat menilai dia merupakan tokoh pro-Belanda yang tidak layak mendapat gelar pahlawan.
(hsa/dpra)