China Dihantui 'Resesi Seks' Bikin Ogah Punya Anak, Ini Biang Keroknya

China Dihantui 'Resesi Seks' Bikin Ogah Punya Anak, Ini Biang Keroknya

Tim detikHealth - detikBali
Jumat, 19 Agu 2022 13:05 WIB
BEIJING, CHINA - JULY 07: People use paddle boards, or SUP, on the Liangma River on a hot summer day on July 7, 2022 in Beijing, China. Parts of northern China are enduring one of the worst heatwaves in decades with temperatures reaching 40 degrees Celsius (104 degrees Fahrenheit) in some areas. (Photo by Kevin Frayer/Getty Images)
Beijing, China. Foto: Getty Images/Kevin Frayer
Denpasar -

China saat ini tengah dihantui 'resesi seks' yakni turunnya gairah pasangan untuk berhubungan seks, menikah, atau memiliki anak. Hal tersebut disebabkan oleh adanya perubahan budaya masyarakat.

Dikutip dari detikHealth, negara ini mendekati krisis demografis dengan tingkat pertumbuhan penduduk terendah dalam lebih dari enam dekade. Pemicunya adalah biaya hidup yang tinggi, pernikahan yang tertunda dan kurangnya mobilitas sosial. Terlebih dalam beberapa dekade, pemerintah sempat mengupayakan aborsi paksa terkait kebijakan satu anak.

Para ahli menilai populasi muda yang menurun akan berdampak pada situasi sosial hingga ekonomi China di masa mendatang. Hal ini dikarenakan meningkatnya populasi lansia yang akan bergantung.

Penurunan tingkat pertumbuhan populasi di China tercatat signifikan pada 2021, dengan total 7,52 kelahiran per 1.000 individu. Sementara di tahun sebelumnya masih berada di angka 8,52.

Angka kelahiran di tahun 2021 merupakan yang terendah sejak tahun 1949. "Tingkat kelahiran China telah menurun sejak awal abad ke-21, dengan pihak berwenang baru-baru ini mengklaim tingkat kesuburan hanya 1,8, sedangkan angka sebenarnya mungkin mendekati 1,1," demikian jelas pakar di China.

Statistik tahun 2021 menunjukkan sekitar 11 juta bayi lahir. Ini menandakan penurunan yang signifikan dari 18 juta di 2016 silam, yang sampai sekarang dianggap sebagai jumlah kelahiran terendah sejak tahun 1960-an pada saat itu.

"Ini merupakan tantangan serius bagi perkembangan masa depan China," kekhawatiran para ahli.

Komisi Kesehatan Nasional China mendesak pemerintah daerah dan pusat melakukan segala cara termasuk tawaran asuransi kesehatan anak, subsidi biaya rumah hingga pekerjaan yang layak bagi pasangan untuk berkeluarga. Otoritas kesehatan baru-baru ini juga meningkatkan pelayanan di perawatan kesuburan dan menyoroti pentingnya pencegahan kasus aborsi.

"China akan mencegah aborsi dan mengambil langkah-langkah untuk membuat perawatan kesuburan lebih mudah diakses sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan salah satu tingkat kelahiran terendah di dunia," sebut Otoritas Kesehatan Nasional China, dikutip dari Reuters.

Peneliti Soroti 'Resesi Seks' di China

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yi Fuxian, seorang peneliti kebidanan dan ginekologi di University of Wisconsin-Madison, menyarankan pihak berwenang China untuk melihat kehamilan sebagai penyumbuang kekayaan negara, bukan beban negara.

Menurut Yi, peluncuran kebijakan domestik tidak akan banyak berpengaruh, kata Yi. Pasalnya, pasangan tidak ingin memiliki anak, tidak mampu, atau meninggalkan pernikahan dalam kondisi sangat kesulitan sehingga mereka merasa tidak mampu.

"Semua kebijakan ekonomi dan sosial telah berputar di sekitar keluarga arus utama dengan hanya satu anak. Jadi kaum muda memprotes dengan tidak memiliki anak. Pemuda Shanghai menyuarakan 'kami adalah generasi terakhir'," kata Yi, dikutip dari The Guardian, Jumat (19/8/2022).

Yi menjelaskan, banyak negara Asia Timur sedang berjuang untuk mengatasi penurunan angka kelahiran. Ia melihat Kepang sebagai negara yang paling sukses mendorong fertilitas. Tak lain, dengan memberikan insentif tunai, serta bantuan pendidikan dan kesehatan.

"Di Asia Timur, Jepang adalah negara paling sukses dalam mendorong fertilitas dan paling dermawan dalam mendorong fertilitas, memberikan insentif tunai, subsidi perumahan, penitipan anak gratis, pendidikan gratis, dan perawatan medis gratis untuk anak di bawah 16 tahun," beber Yi.

"Meskipun biayanya tinggi, efeknya tidak bagus. Tingkat kesuburan Jepang meningkat dari 1,26 pada 2005 menjadi 1,45 pada 2015 tetapi turun lagi menjadi 1,30 pada 2021," pungkasnya.




(nor/nor)

Hide Ads