Anggota DPD RI Dedi Iskandar: Pemilu Sebagai Uji Kecerdasan Moral Mahasiswa

Anggota DPD RI Dedi Iskandar: Pemilu Sebagai Uji Kecerdasan Moral Mahasiswa

Nizar Aldi - detikSumut
Selasa, 19 Des 2023 10:58 WIB
Anggota DPD RI Dedi Iskandar Batubara (Foto: dok. Pribadi)
Foto: Anggota DPD RI Dedi Iskandar Batubara (Foto: dok. Pribadi)
Medan -

Anggota DPD RI Dedi Iskandar Batubara menyebut momentum Pemilu merupakan ajang bagi para pemuda khususnya mahasiswa untuk menguji sejauh mana nilai kritis anak muda terhadap keberlangsungan bangsa. Pemilu juga disebut menguji kecerdasan moral mahasiswa karena itu berkaitan erat dengan pendidikan dan politik.

Dedi mengatakan banyak masyarakat yang alergi terhadap politik. Bahkan memisahkan politik dengan segi kehidupan yang lain, seperti ekonomi, pendidikan hingga budaya.

"Salah satu fakta yang tak bisa dibantah adalah, banyak masyarakat yang alergi terhadap politik. Berusaha memisahkan antara politik dengan urusan lain di luar politik. Ekonomi, pendidikan, sosial budaya, dan lain-lain. Mereka menganggap bahwa semua ranah tersebut punya garis demarkasi masing-masing. Tidak boleh dicampuradukkan dengan politik," kata Dedi Iskandar Batubara dalam keterangannya, Selasa (19/12/2023).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Lebih lanjut Dedi menyebutkan ada yang berupaya memisahkan politik dan pendidikan yang kerap disebut education is outside politics (pendidikan berada di luar politik). Di sisi lain ada juga yang menganggap bahwa politik dan pendidikan tidak bisa dipisahkan atau education and politics are inextricably linked (pendidikan dan politik terkait tanpa bisa dipisahkan).

"Kelompok pertama beralasan bahwa politik dan pendidikan adalah dua hal yang berbeda. Keduanya harus dipisahkan untuk menjaga otonomi pendidikan dan profesionalitas tenaga pendidikan dari intervensi kekuasaan. Sementara kelompok kedua beralasan bahwa pendidikan merupakan wahana paling efektif untuk menanamkan ideologi negara. Membentuk karakter masyarakat, serta fakta bahwa banyak penyelenggaraan lembaga pendidikan yang bergantung pada bantuan negara," ujarnya.

ADVERTISEMENT

Ketua PW Al-Washliyah Sumut ini menyebutkan dua cara pandang ini terjadi di semua negara mulai dari negara demokrasi hingga monarki. Menurutnya hal itu disebabkan dua hal, yakni sosio-historis dan idealisme-profesional.

Secara sosio-historis, hal itu disebabkan banyak pihak yang kecewa terhadap penyelenggara negara atau pemerintah. Penyebab kekecewaan tersebut beragam, mulai dari intervensi kekuasaan terhadap dunia pendidikan hingga pendidikan dijadikan objek dari kekuasaan.

"Pertama, secara sosio-historis banyak masyarakat yang kecewa terhadap penyelenggara negara. Kekecewaan ini terjadi karena banyak faktor. Misalnya intervensi kekuasaan yang dianggap terlalu jauh terhadap dunia pendidikan. Tidak ada koherensi yang jelas antara proses pembentukan karakter di dunia pendidikan, dengan perilaku politisi setelah berkuasa. Politik hanya menjadikan pendidikan sebagai objek dari kekuasaan, dan masih banyak lagi," sebutnya.

Sedangkan secara idealisme-profesional, banyak yang menganggap politik dan pendidikan tidak boleh dicampuradukkan karena pendidikan dinilai murni untuk ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter, sedangkan politik seni mengelola negara. Mereka menganggap jika digabungkan, maka pendidikan hanya dimanfaatkan untuk kepentingan politik.

"Kedua, secara idealisme-profesional, banyak orang meyakini bahwa proses pendidikan tidak boleh dicampuradukkan dengan politik. Pendidikan murni untuk ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter. Sedangkan politik adalah seni mengatur dan mengelola negara. Jika keduanya dicampuradukkan, maka ada potensi produk ilmu pengetahuan hanya akan dimanfaatkan untuk kepentingan politik," jelasnya.

Dari dua hal itu, Dedi Iskandar Batubara pun melihat bahwa ada kecenderungan bahwa Indonesia mengarah pada pandangan yang memisahkan antara pendidikan dan politik. Termasuk diantaranya larangan berkampanye di kampus, dengan alasan mengganggu konsentrasi belajar atau kuliah.

"Jika itu alasannya, maka justru mahasiswa hampir diarahkan kepada sikap apatisme politik. Sebab, melarang politisi masuk kampus, dianggap sama saja dengan menutup peluang untuk menguji kualitas dan kapasitas seorang calon pemimpin. Padahal, bukankah mahasiswa merupakan kelompok masyarakat yang paling cerdas dan idealis? Bukankah akan lebih tepat jika semua calon pemimpin dihadapkan kepada mahasiswa untuk diuji, agar ketahuan tingkat kecerdasan dan kapabelitasnya?," kata Ketua PPUU DPD RI ini.

Karena itu menurut Dedi Iskandar Batubara, momentum Pemilu ini perlu dijadikan sebagai ajang uji kecerdasan moral mahasiswa, menguji calon pemimpin melalui keilmuan, idealisme dan sikap kritis serta kepedulian melihat masa depan bangsa ini. Dengan begitu, kampus tidak lagi menjadi menara gading yang kosong dan terpisah dari realitas kehidupan bermasyarakat, tetapi penuh dengan ide, idieologi serta moralitas yang tinggi.

"Sejatinya, politik pembangunan itu berorientasi memanusiakan manusia. Semua produk budaya dan ilmu pengetahuan, memang diperuntukkan untuk menopang keluhuran nilai-nilai kemanusiaan. Jadi, betapa pun majunya ekonomi dan ilmu pengetahuan suatu bangsa, jika moralitas dan budaya masyarakatnya justru bertentangan dengan nilai luhur kemanusiaan, bisa dipastikan ada yang salah dalam politik. Dan peran menjaga nilai itu, satu diantaranya adalah gerakan mahasiswa sebagai pilar kelima demokrasi," tutupnya.




(dhm/dhm)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads