Muhammad Reko Septiyan (19) adalah salah satu Aremania yang menjadi korban tragedi di Stadion Kanjuruhan, Malang usai pertandingan Arema FC versus Persebaya. Dia kini masih dirawat intensif di rumah sakit karena tulang kakinya patah terinjak-injak saat kepanikan menyeruak di stadion itu.
Ayah Reko, Faisol menceritakan suasana mencekap di balik tragedi yang menewaskan banyak orang itu. Beberapa jam sebelum kejadian, Reko dan lima rekannya bertolak dari Manyar, Gresik untuk menonton pertandingan tim kesayangan mereka, Arema FC.
Pertandingan melawan Persebaya ini memang selalu ditunggu para suporter karena bertajuk derby Jawa Timur. Dua tim, sejak dulu, saling beradu, siapa yang paling kuat di daerah Timur Pulau Jawa.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut cerita kawan-kawan Reko kepada Faisol, saat itu anaknya bersama temannya duduk di tribun 12. Tribun itu disesaki oleh pendukung Aremania.
"Menurut cerita teman-teman anak saya, saat kerusuhan terjadi polisi menembakkan beberapa kali gas air mata. Salah satunya ke tribun 12, tempat anak saya menonton pertandingan," kata Faisol, dikutip dari detikJatim, Senin (3/10/2022).
Beberapa saat usai pertandingan, Aremania berhamburan ke lapangan. Aparat keamanan berupaya menenangkan suasana, hingga akhirnya ada tembakan gas air mata.
Suasanya makin mencekam karena para suporter yang terjebak di lapangan, berupaya mencari pintu keluar. Banyak yang berlari tanpa arah, terinjak-injak hingga ratusan nyawa berjatuhan. Ada yang tewas sesak napas, ada yang terinjak-injak.
Tembakan gas air mata polisi juga menghujani tribun 12, tempat Reko, kawan-kawannya dan ratusan Aremania duduk. Seketika mereka juga panik.
Setelah gas air mata itu ditembakkan, banyak penonton yang pingsan karena sesak napas. Pekatnya asap gas air mata membuat penonton lain panik dan berdesakan mencari jalan keluar. Belum lagi, banyak penonton yang pingsan.
"Padahal yang ada di tribun itu, kan, aman-aman saja harusnya. Yang ramai, kan, di lapangan. Tapi kok yang di tribun juga ditembak gas air mata? Banyak yang pingsan karena sesak napas itu," ungkapnya.
Anaknya, Reko terjebak di tengah kepanikan. Dia terdorong jatuh dan terinjak-injak. Kaki kirinya patah dan harus menjalani operasi di rumah sakit.
Saat penonton berupaya berlari menuju ke pintu keluar untuk mengambil napas, mereka berdesakan hingga saling dorong. Ada yang terjatuh hingga terinjak dan tertindih. Belum lagi, pintu keluar itu ternyata dalam keadaan terkunci.
Menurut Faisol, tindakan polisi menembaki suporter dengan gas air mata langsung ke tribun telah melanggar aturan. Seharusnya polisi bisa menggunakan water canon atau mengusir suporter yang turun ke lapangan saja.Ia pun menuntut agar PSSI bertanggung jawab atas tragedi ini.
"Pihak PSSI juga harus bertanggung jawab. Karena bagaimana selama ini penekanan PSSI terhadap pertandingan bola. Kan, ada larangan menembak gas air mata di tribun," jelasnya.
"Jadi gas air mata itu ditembak sana di tembak sini. Otomatis membuat asap gas air mata itu semakin berkumpul di tribun. Tentu hal ini membuat orang enggak bisa bernapas. Karena itulah orang-orang itu berdesakan mencari jalan keluar," tandasnya.
(dpw/dpw)