Di sebuah dapur sederhana di Batam, aroma cabai yang berpadu dengan cumi, gonggong, dan ikan teri hingga ikan asin menggugah selera. Sambal seafood khas Batam ini, yang dulu hanya menjadi pelengkap lauk makan keluarga, kini menjelma jadi produk unggulan. Tak sekadar laris di pasar lokal, sambal tersebut mulai merambah rak toko oleh-oleh dan bahkan diminati pasar mancanegara.
Ropiandi Jamil, CEO Sambal Sijago, menceritakan awal perjalanannya. Usaha ini ia mulai sejak tahun 2012, saat masih bekerja di industri minyak dan gas. Pria kelahiran Batam berdarah Minang itu mengaku dasar usaha kulinernya didapatkan dari orang tuanya, kemudian dipadukan dengan latar pendidikan perhotelan yang ditempuhnya. Meski begitu, proses pengembangan usahanya mengalami pasang surut. Pandemi 2020 justru menjadi titik balik, ketika ia lebih serius mengembangkan ide olahan sambal.
"Kami mencoba bikin produk baru, yaitu sambal olahan perikanan. Ternyata diterima banget sama masyarakat. Batam sendiri kan punya banyak sumber daya kelautan. Dari situ kami pilih sambal olahan perikanan sebagai produk utama," kenang pemilik Sambal Sijago yang akrab disapa Ropi, Senin (8/9/2025).
Produk baru yang dihasilkan oleh Ropiandi ternyata banyak mendapatkan respon positif. Awalnya produk sambal Sijago itu hanya satu varian dan saat ini telah berkembang menjadi lima varian yang diproduksi.
"Awalnya satu varian, sekarang sudah lima varian, ada Sambal bawang, Sambal cumi asin, Sambal ikan asin Sambal ikan asap teri, Sambal Batam gonggong (signature khas Batam). Kami ingin menghadirkan Vita rasa kekhasan Batam. Jadi orang tahu bahwa Batam juga punya sambal khas, bukan hanya kue-kue," sebutnya optimistis.
Pemilik Sambal Sijago itu menceritakan olahan sambal Sijago awalnya ditargetkan untuk penjualan di dalam negeri. Namun dengan kondisi Batam yang sebagai kawasan perdagangan bebas menjadi kendala tersendiri dimana barang yang dikirim keluar Batam ada pajak tersendiri yang harus dikeluarkan.
"Kalau di Batam, mau tidak mau kita harus ekspor. Dulu saya sempat kecewa ketika pajak diberlakukan, karena sebelumnya sering kirim barang ke Jakarta, Bandung, Jogja. Setelah ada pajak, itu terasa berat," ujarnya.
Ropi menyebutkan Kesempatan datang lewat pelatihan yang difasilitasi Bank Indonesia (BI). Dari situ Wahyu belajar strategi ekspor, bertemu mentor, hingga dipertemukan dengan calon pembeli.
"Akhirnya saya ikut banyak pelatihan dari BI soal ekspor. Dari situ ketemu buyer (pembeli), walau awalnya masih sedikit-hanya beberapa dus, lalu satu CBM atau satu palet, kemudian setengah kontainer," ujarnya.
Pasca setelah mendapat pembeli dari luar negeri, muncul tantangan lain yang dihadapi oleh Ropi usai memulai mengekspor produk sambal ke Malaysia dan Singapura. Tantangan yang dihadapinya ialah mulai dari kapasitas produksi, sertifikasi dan yang cukup sulit ditembus di pasar Singapura.
"Lebih ke kapasitas produksi dan sertifikasi. Apalagi kalau masuk Singapura, sertifikasi mereka sangat ketat, mulai dari HACCP, halal, sampai depo makanan," jelasnya.
Saat ini sambal Sijago yang yang diekspor oleh Ropiandi Setiap bulannya ke Singapura dan Malaysia mencapai 5000 bungkus perbulannya. Banyak permintaan dari kedua negara itu dirinya saat ini tengah mempersiapkan dapur produksi yang lebih besar untuk memenuhi permintaan pasar.
"Sekarang di 2025, permintaan makin besar, sekitar 5.000 pcs per bulan. Kami lagi persiapan dapur yang lebih besar untuk memenuhi order," ujarnya.
Ropiandi bersyukur UMKM yang dikelola bersama istrinya itu juga berdampak positif bagi lingkungan sekitarnya, saat ini ada 8 orang pekerja tetap yang membantu produksi sambal sijago.
"Ada 8 orang tetap, sisanya freelance kalau ada orderan banyak. Sejak ekspor memang harus tambah tenaga kerja dan mesin untuk mempercepat produksi," ujarnya.
Simak Video "Video: 8 Penyakit yang Mengancam Hewan Terdampak Bencana"
(afb/afb)