Polisi Selidiki Dugaan Korupsi Proyek Jalan di Simeulue Senilai Rp 6,6 M

Aceh

Polisi Selidiki Dugaan Korupsi Proyek Jalan di Simeulue Senilai Rp 6,6 M

Agus Setyadi - detikSumut
Rabu, 16 Jul 2025 21:43 WIB
Poster
Ilustrasi. (Foto: Edi Wahyono).
Simeulue -

Penyidik Subdit Tipidkor Ditreskrimsus Polda Aceh meningkatkan status penanganan kasus dugaan korupsi proyek peningkatan Jalan Simpang Air Dingin-Labuhan Bajau, Kabupaten Simeulue dari tahap penyelidikan ke penyidikan. Nilai kontrak proyek itu mencapai Rp 6,614 miliar.

Dirreskrimsus Polda Aceh Kombes Zulhir Destrian, mengatakan, dugaan korupsi terjadi pada proyek tahun anggaran 2023-2024. Proyek itu menggunakan anggaran bersumber dari DOKA APBK Simeulue 2023 dan dikelola Dinas PUPR setempat.

"Pekerjaan itu seharusnya dilaksanakan oleh CV. RPJ, tetapi kenyataannya dikerjakan oleh pihak lain yang tidak tercantum dalam akta pendirian perusahaan. Bahkan tenaga manajerial yang digunakan tidak sesuai dengan yang tercantum dalam kontrak atau SPK," kata Zulhir dalam keterangannya, Rabu (16/7/2025).

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurutnya, proyek itu sebelumnya direncanakan dengan engineering estimate (EE) senilai Rp 7,657 miliar. Pelaksanaannya baru dimulai tahun 2023 setelah anggaran tersedia dalam DPA Dinas PUPR.

Pada Maret 2023, proyek tersebut dilelang secara terbuka. CV. BM ditetapkan sebagai pemenang lelang, sementara CV. AJS dan CV. RPJ masing-masing sebagai cadangan I dan II.

ADVERTISEMENT

Proses itu mendapat sanggahan karena dukungan alat utama dari CV. BM dan CV. AJS sedang dalam sengketa. Meski demikian, Pokmil IV UKPBJ Simeulue tetap mengesahkan CV. BM sebagai pemenang.

"Karena kendala legalitas alat utama, KPA tidak langsung menunjuk CV. BM, tetapi memberi waktu untuk melengkapi dukungan alat. Namun, CV. BM dan CV. AJS gagal memenuhi syarat tersebut. Kemudian, RH menghubungi Kadis PUPR Simeulue agar menunjuk CV. RPJ sebagai pemenang berkontrak," jelas Zulhir.

KPA akhirnya menerbitkan SPPBJ kepada CV. RPJ, lalu dilakukan penandatanganan kontrak senilai Rp 6,614 miliar. Namun, RH yang bukan pemilik CV. RPJ dan tidak tercantum dalam akta perusahaan, diketahui hanya meminjam perusahaan untuk mengikuti lelang. Ia kemudian menyerahkan pelaksanaan proyek kepada SA, pemilik AMP yang sebelumnya memberikan dukungan alat kepada CV. RPJ. Sementara itu, CV. RPJ hanya menerima fee pinjam bendera sebesar 1% dari nilai kontrak atau Rp55 juta.

Pada Agustus 2023, kata Zulhir, digelar pertemuan di Kantor Dinas PUPR Simeulue yang dihadiri RH, SS, SA, AM, IS, serta PA dan KPA, untuk membahas pelaksanaan proyek, mekanisme penarikan uang muka, dan pembagian fee. RH menyampaikan uang muka sebesar 30% atau sekitar Rp 1,9 miliar akan dibagikan kepada sejumlah pihak.

Namun, terjadi perubahan pembagian yang membuat SA keberatan dan menemui PA di Banda Aceh. Dalam pertemuan itu disepakati pembagian baru yaitu SA mendapat Rp1 miliar, AM Rp 268 juta, SS Rp 235 juta, dan RH Rp 268 juta. Setelah pencairan, uang muka dibagikan sesuai arahan RH.

Setelah serah terima pekerjaan tahap pertama (PHO) dilakukan pada 26 Maret 2024 dan serah terima akhir (FHO) pada 23 September 2024. Pembayaran 100% dilakukan kepada CV. RPJ melalui Bank Aceh Syariah dalam empat tahap.

Zulhir menyebutkan, kecurangan dalam pengerjaan proyek diketahui pihak KPA/PPK, PPTK, hingga konsultan pengawas namun tidak ada upaya pemutusan kontrak. Selain pelanggaran administrasi, pekerjaan juga disebut tidak sesuai spesifikasi teknis dan mengalami kekurangan volume, sebagaimana hasil pemeriksaan ahli dari Politeknik Negeri Lhokseumawe.

"Dalam kontrak dipersyaratkan adanya pekerjaan agregat kelas A, tapi faktanya tidak dipasang. Begitu juga terdapat kekurangan pada beton struktur F'c 20 MPa sebesar 7,97 m³ dan kekurangan volume batu sebesar 23,57 m³. Selain itu, uang muka juga dibagi kepada pihak-pihak yang tidak berhak," jelas Zulhir.

Mantan Kapolres Pidie itu menyebutkan, penyidik juga mencatat serah terima pekerjaan 100% dilakukan tanpa pengecekan menyeluruh terhadap kondisi fisik di lapangan. Pengawasan konsultan dinilai tidak berjalan sesuai ketentuan kontrak, sehingga mutu pekerjaan tidak sesuai dengan standar.

Dalam kasus ini, penyidik telah memeriksa 31 orang saksi. Penyidik akan menerapkan Pasal 2 ayat (1) dan/atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.




(agse/dhm)


Hide Ads