Sumatera Utara mencatat ada 45 kasus perdagangan satwa liar yang diproses hukum selama 2016-2022. Kota Medan yang menjadi penyumbang kasus terbanyak di periode itu.
"Ada 45 kasus perburuan perdagangan satwa yang masuk ke proses hukum. Kasus yang paling tinggi yaitu Medan sebanyak 21 kasus dan Deli Serdang 8 kasus. Ini tinggi karena memang itu jalurnya, lintas Sumatera. Barang dari Aceh singgah dulu ke Medan," ungkap Deputi Direktur Perlindungan Spesies dan Habitat Yayasan Orangutan Sumatera Lestari - Orangutan Information Center (YOSL-OIC), Muhammad Indra Kurnia, Kamis (29/12/2022).
Selain Medan dan Deli Serdang, juga ada Langkat sebanyak 4 kasus, kemudian Tapanuli Utara sebanyak 3 kasus. Kemudian, Binjai, Karo dan Labuhanbatu masing-masing 2 kasus. Serta Serdang Bedagai dan Pematangsiantar masing-masing 1 kasus.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indra juga menyebutkan bahwa berdasarkan jenis barang bukti, Sumut memiliki barang bukti paling banyak berupa satwa utuh yang diperdagangkan.
Diketahui, ada dua model barang bukti yang diperdagangkan dari satwa ini yaitu satwa utuh dan bagian tubuh satwa. Kalau bagian tubuh satwa punya berbagai macam seperti taring, kuku, ataupun kulit.
"Nah kalau di Sumut, yang paling banyak itu satwa utuh sebanyak 60 persen yaitu 27 kasus. Sedangkan bagian tubuh itu ada 40 persen atau 18 kasus," ujarnya.
Lanjutnya, Indra menyebutkan bahwa tren perdagangan satwa di Sumut tertinggi yaitu harimau Sumatera, kemudian diikuti oleh trenggiling, orang utan, burung rangkong, dan burung yang dilindungi lainnya.
Namun begitu, dari banyaknya kasus yang ditangani, ternyata tindak pidana di Sumut masih cukup lemah terkait kasus perdagangan satwa liar dengan tingkat pidana tertinggi hanya 3 tahun. Padahal, Aceh sudah menerapkan pidana mencapai 5 tahun.
Kepala Divisi SDA LBH Medan Muhammad Alinafia Matondang menyebutkan bahwa vonis hukuman para pelaku kejahatan satwa ini jauh dari UU Nomor 5 tahun 1990 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta.
Ia pun mengambil contoh kasus perdagangan orang utan Sumatera (Pongo abelii) dengan terdakwa Thomas Raider Chaniago alias Thomas (18). PN Lubuk Pakam Cabang Labuhan Deli yang mengadili perkara tersebut, menjatuhkan vonis 1 tahun penjara dan denda Rp 10 juta subsider 6 bulan, pada 17 Oktober 2022 lalu.
Kemudian untuk kasus perdagangan orang utan Sumatera dengan terdakwa Edi AP dengan hukuman hanya 8 bulan penjara dan denda Rp100 juta, subsider dua bulan penjara.
"Ancaman hukumannya UU Nomor 5 tahun 1990 itu lima tahun, kenapa tidak ada yang maksimal. Begitu juga hukuman denda, kenapa hanya Rp 100 juta. Ini menjadi pertanyaan," kata Alinafia.
"Regulasi UU Nomor 5 tahun 1990 harus direvisi khususnya persoalan hukuman harus lebih dari 5 tahun. Juga tidak bisa lagi denda hanya Rp 100 juta. Padahal kerugian satu Orangutan Sumatera itu mencapai Rp 1 miliar," tambahnya.
Sementara itu, Direktur Sumatera Tropical Forest Jurnalisme (STFJ) Rahmad Suryadi turut meminta pemerintah dan pemangku kebijakan segera merevisi UU Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Jika tidak direvisi, Rahmad memprediksi tidak ada efek jera untuk para pelaku.
"Menyikapi sejumlah kasus persidangan di atas, STFJ menilai UU Nomor 5 tahun 1990 dengan ancaman hukuman maksimal lima tahun penjara dan denda Rp 100 juta tidak membuat efek jera bagi pelaku kejahatan karena masih terlalu ringan," pungkas Rahmad.
(afb/afb)