Terletak di Silambau, Jorong Langgam Sepakat, Kenagarian Kinali, Kabupaten Pasaman Barat, sebuah makam menjadi pusat perhatian sekaligus tempat keramat bagi warga setempat. Ini bukan sekadar kuburan biasa. Ukurannya tak lazim, sekitar 3 x 1 meter, menjadi penanda fisik bagi sosok yang diyakini bertubuh tinggi besar. Masyarakat mengenalnya sebagai Kuburan Gadang Inyiak Tambo atau Makam Inyiak Tambo, sang pembuka pemukiman Silambau.
Meskipun tidak ada catatan fisik mengenai kisah Inyiak Tambo di Silambau, masyarakat memercayai sebuah cerita atau folklor tentang Inyiak Tambo dan ikan larangan di sekitarnya. Menurut cerita turun-temurun, Inyiak Tambo mungkin bukan nama aslinya melainkan sebuah julukan yang melekat pada kepercayaan dan memori kolektif masyarakat setempat.
Folklor Sebagian Lisan Masyarakat Silambau
Senada dengan memori masyarakat mengenai cerita Inyiak Tambo, James Danandjaja dalam buku Folklor Indonesia: Ilmu Gosip, Dongeng, dan Lain-lain., mengungkapkan bahwa folklor adalah sebagian kebudayaan yang tercipta dari hasil kolektif, yang tersebar dan diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Salah satu jenis folklor adalah folklor sebagian lisan yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan bukan lisan. Misalnya, kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater, tarian, adat-istiadat, upacara, pesta, batu permata, dan sebagainya. Seperti Makam berukuran jumbo yang dipercaya makam Inyiak Tambo dan gerombolan ikan larangan, hal tersebut tumbuh menjadi folklor sebagian lisan di masyarakat Silambau.
Berdasarkan cerita yang beredar di masyarakat setempat, Inyiak Tambo adalah orang pertama yang membuka hutan di daerah itu untuk dijadikan pemukiman, jauh sebelum Belanda menjejakkan kaki di Nusantara. Tak ada yang tahu pasti dari mana asal-usulnya, namun keberadaan makamnya menjadi bukti nyata jasanya.
Upik, seorang warga berusia 56 tahun bercerita bahwa sejak ia lahir dan tumbuh besar di Silambau, ia melihat makam itu tak berubah.
"Urang jaman dahulu tu gadang-gadang kan, lah tuo bana kuburan gadang tu. Ibuk lahir se lah mode itu juo latak kubua tu, (Orang zaman dahulu bertubuh besar, umur kuburan besar itu juga sudah tua. Sejak saya kecil, kuburan tersebut sudah seperti bentuk dan letaknya tidak berubah)," tutur Upik saat diwawancarai detikSumut, Kamis (9/10/2025).
Geger Gempa di Tahun 1992
Kisah paling melegenda terkait makam ini terjadi pada tahun 1992, di era pemerintahan Presiden Soeharto. Menurut keterangan Upik, saat itu pemerintah berencana membuka lahan di sekitar makam untuk pemukiman. Seluruh makam lain yang berada di sekeliling pusara Inyiak Tambo pun dipindahkan satu per satu ke seberang jalan.
Namun, ketika tiba giliran Makam Inyiak Tambo yang hendak dipindahkan, sebuah keanehan terjadi. Tanah di sekitar makam tiba-tiba bergetar hebat, laksana gempa kuat yang hanya terasa di area itu dan tidak meluas ke kenagarian lain.
Tak menyerah, pemerintah mendatangkan Pak Ono, seorang "orang pintar" dari Sidomulyo, sebuah daerah pemukiman warga Jawa di Kinali. Pak Ono mencoba membacakan mantra untuk memuluskan proses pemindahan. Bukannya berhasil, getaran hebat justru kembali terjadi. Akhirnya, semua pihak menyerah dan membiarkan makam jumbo itu tetap di tempat asalnya hingga kini.
Ikan Larangan Penjaga Sungai Silambau
![]() |
Kejadian aneh tak berhenti di situ. Pada tahun yang sama, masyarakat membangun sebuah masjid tepat di belakang makam. Untuk menambah dana pembangunan, warga berinisiatif menangkap ikan yang melimpah di Sungai Silambau yang mengalir di sisi makam untuk dijual.
Saat ikan-ikan itu berhasil ditangkap dan siap untuk dijual, bumi di sekitar makam kembali berguncang. Peristiwa ini seolah menjadi pertanda bahwa ikan-ikan tersebut tak boleh diganggu dari habitatnya. Masyarakat yang ketakutan akhirnya mengembalikan semua ikan itu ke sungai. Sejak saat itulah, ikan-ikan di sungai itu ditetapkan sebagai "ikan larangan".
Menurut keterangan Jasliman (57), warga yang tinggal tepat di ujung jalan di belakang makam, ikan-ikan tersebut dipercaya telah di-uduh (didoakan) oleh salah satu Syekh dari Lubuak Landua, seorang ulama yang berasal dari Pasaman Barat. Syekh tersebut hendak menikahi seorang wanita asli Silambau, ia mendoakan sungai itu sebagai bentuk penghormatan kepada Inyiak Tambo. Karenanya, tak ada seorang pun yang berani mengambil ikan di sepanjang setengah kilometer dari area makam.
"Nyo lah di uduah dek Syekh Lubuak Landua, lai ka mungkin lauak nan banyak nin di ciek tampek se? Batang aie panjang nyo dakek kubua ko se lauak-lauak nin, (Ikan-ikan itu sudah didoakan oleh Syekh Lubuak Landua. Apakah mungkin ikan-ikan sebanyak itu hanya berkumpul di dekat makam padahal aliran sungai sangat panjang.)," tutur Jasliman.
Dari Tempat Keramat Menjadi Wisata Religi
Kini, Makam Inyiak Tambo dan Sungai Silambau dengan ikan larangannya telah berubah menjadi destinasi wisata religi yang unik. Setiap Hari Raya Idul Fitri, banyak peziarah dan wisatawan datang berkunjung. Mereka datang untuk berziarah ke makam sang leluhur, sekaligus untuk menyaksikan dan memberi makan ribuan ikan yang jinak di sungai.
Masyarakat setempat pun mendapat berkah dengan menjual pakan ikan seperti pelet dan biji jagung kepada para pengunjung. Makam yang dijaga kebersihannya secara berkala oleh pengurus masjid dan warga ini menjadi bukti bagaimana folklor dan legenda tidak hanya menjaga nilai-nilai luhur untuk menghormati alam dan leluhur, tetapi juga membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar.
(afb/afb)