Tradisi Cawir Metua Suku Karo Kini Jarang Dilakukan, Ini 4 Penyebabnya

Tradisi Cawir Metua Suku Karo Kini Jarang Dilakukan, Ini 4 Penyebabnya

Yudhanta Tarigan - detikSumut
Selasa, 27 Agu 2024 09:00 WIB
Upacara Cawir Metua
Foto: Upacara Cawir Metua (Dok. Budaya-Indonesia.org)
Karo -

Suku Karo, salah satu kelompok etnis terbesar di Sumatera Utara, Indonesia, memiliki berbagai tradisi adat yang kaya dan penuh makna. Salah satu tradisi yang paling penting dan memiliki kedudukan istimewa dalam budaya Karo adalah Cawir Metua.

Upacara ini tidak hanya merupakan bentuk penghormatan terakhir kepada orang tua yang telah meninggal, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai sosial, spiritual, dan kekeluargaan yang mendalam dalam masyarakat Karo.

Cawir Metua secara harfiah berarti "menyempurnakan orang tua." Tradisi ini dilaksanakan ketika seseorang yang telah mencapai usia lanjut meninggal dunia. Dalam pandangan masyarakat Karo, kematian pada usia lanjut dianggap sebagai pencapaian yang pantas dirayakan, karena orang tersebut telah menyelesaikan tugasnya di dunia dan akan segera bergabung dengan leluhur.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun tradisi ini mulai ditinggalkan. Dikutip dari E-Jurnal UNIMED dengan judul "Upacara Adat Kematian Cawir Metua Pada Etnis Karo di Desa Kutagugung Kecamatan Juhar" oleh Kamarlin Pinem, ada 4 faktor yang mempengaruhi adanya perubahan dalam tradisi cawir metua dalam adat istiadat suku Karo yaitu:

1. Pengaruh Agama

Yang dimaksud dalam konteks ini adalah bahwa agama Islam dan Kristen telah membawa perubahan signifikan dalam cara masyarakat Karo memperlakukan orang yang telah meninggal dunia. Dulu, perlakuan terhadap orang mati dalam kepercayaan tradisional Karo berpusat pada keyakinan bahwa "tendi" (roh) akan berubah menjadi "begu" (arwah), yang kemudian mempengaruhi berbagai ritual dan tradisi, termasuk kewajiban meratapi jenazah secara intens.

ADVERTISEMENT

Namun, seiring dengan semakin meluasnya pengaruh agama Islam dan Kristen, tradisi ini mulai ditinggalkan. Saat ini, fokus utama dalam memperlakukan orang yang meninggal adalah berdasarkan kepercayaan kepada Allah, sesuai dengan iman agama yang dianut, baik Islam maupun Kristen.

Perubahan-perubahan ini mencerminkan bagaimana keyakinan agama telah menggeser tradisi dan budaya lama, mengarahkan masyarakat Karo ke pendekatan yang lebih berorientasi pada iman dan spiritualitas dalam menghadapi kematian.

2. Pengaruh Ekonomi

Pertimbangan ekonomi, khususnya besarnya biaya yang harus dikeluarkan, sangat mempengaruhi pelaksanaan upacara "Cawir Metua La Rose". Dalam masyarakat modern, faktor ekonomi dan waktu semakin menjadi pertimbangan utama, sehingga beberapa elemen tradisi yang dahulu dianggap penting, seperti penggunaan pakaian adat lengkap (rose), kini sering disederhanakan atau bahkan dihilangkan jika tidak tersedia.

Contohnya adalah pakaian adat "rose". Jika keluarga tidak memiliki pakaian adat lengkap, mereka cenderung tidak lagi menyewanya seperti yang dilakukan pada masa lalu. Hal ini mencerminkan perubahan ke arah pemikiran yang lebih praktis dan ekonomis, baik dari segi biaya maupun waktu.

Lagi pula secara keseluruhan, biaya yang diperlukan untuk pelaksanaan cawir metua dengan rose lengkap, termasuk ritual tambahan seperti tudungen, cenderung lebih besar dibandingkan dengan "Cawir Metua La Rose". Hal ini menunjukkan bagaimana pertimbangan ekonomi telah mempengaruhi dan mengubah pelaksanaan tradisi ini di masyarakat Karo.

3. Pengaruh Waktu

Masyarakat modern cenderung sibuk, dan hampir segala sesuatu kini diukur dengan uang dan efisiensi waktu. Faktor ini juga mempengaruhi bagaimana upacara kematian, seperti cawir metua, dilaksanakan.

Jika dahulu upacara "ngamburi lau simalem-malem" yaitu menaburkan air dingin atau bunga di kuburan dilakukan empat hari setelah pemakaman, sekarang tidak ada lagi ketentuan yang ketat mengenai waktu pelaksanaannya. Bahkan, tradisi ini sering dilakukan keesokan harinya atau bahkan langsung pada hari penguburan itu sendiri.

Perbedaan ini sangat nyata jika dibandingkan dengan sekitar 20 tahun yang lalu, ketika masih umum untuk mengikuti aturan tradisional dengan lebih ketat. Pergeseran ini disebabkan oleh pertimbangan waktu yang semakin mendesak dalam kehidupan modern.

4. Pengaruh Pendidikan

Semakin tinggi tingkat pendidikan dan pengalaman dalam mengerjakan suatu kegiatan, semakin besar pula perubahan yang terjadi dalam cara masyarakat menjalankan tradisi.

Kesadaran akan tuntutan zaman dan pengaruh perkembangan teknologi menjadi faktor utama yang mempengaruhi perubahan ini. Dengan kemajuan teknologi, informasi yang sebelumnya hanya dapat diakses oleh masyarakat perkotaan kini dapat dengan mudah diakses oleh masyarakat pedesaan. Ruang dan jarak tidak lagi menjadi penghalang, sehingga pola pikir dan perilaku masyarakat pedesaan pun terpengaruh oleh perkembangan yang terjadi di perkotaan.

Perubahan ini mencerminkan bagaimana masyarakat, baik di kota maupun desa, beradaptasi dengan perkembangan zaman, memilih cara-cara yang lebih relevan dan efisien dalam menjalankan tradisi mereka.

Itulah faktor yang mempengaruhi perubahan Cawir Metua. Semoga bermanfaat.

Artikel ini ditulis Yudhanta Tarigan, mahasiswa magang dari UHN Medan di detikcom.




(afb/afb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads