Mengenal Tradisi Malam Tujuh Likur Masyarakat Kepulauan Riau

Kepulauan Riau

Mengenal Tradisi Malam Tujuh Likur Masyarakat Kepulauan Riau

Rindi Antika - detikSumut
Selasa, 02 Jan 2024 06:00 WIB
Tradisi Malam Tujuh Likur
Foto: Tradisi Malam Tujuh Likur (Foto Dok. Dinas Kebudayaan Provinsi Kepulauan Riau)
Karimun -

Tradisi Malam Tujuh Likur sendiri masih dilakukan oleh masyarakat di Kecamatan Moro, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau, secara turun temurun. Seperti apa tradisi ini?

Melansir jurnal Historia: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, mayoritas masyarakat Moro diketahui masih berpegang pada ajaran Islam. Sedangkan masyarakat Batu Ampar juga menyebut malam Tujuh Likur dengan malam besepak atau kenduri dari rumah ke rumah untuk membacakan doa selamat

Setiap perayaan Malam Tujuh Likur masyarakat memiliki kebiasaan untuk tidak menutup pintu rumah dan jendela rumah, dan menghidupkan lampu seterang-terangnya. Di masa lampau, biasanya setiap rumah menghidupkan colok di beberapa sudut rumah sebagai penerang yang dimulai pada malam ke-21 dengan satu buah lampu pelita.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Masyarakat menyebutnya malam selikur atau malam satu likur. Pemasangan pelita itu akan berlanjut hingga malam penghujung bulan Ramadhan hingga bilangannya menjadi 7 lampu pelita, karena itulah disebut perayaan Malam Tujuh Likur.

Tradisi Malam Tujuh Likur adalah kenduri yang diadakan dari rumah ke rumah seminggu sebelum malam Lailatul Qadar. Tradisi tujuh likur ini diadakan sebagai ungkapan syukur dan diperingati setiap 27 Ramadan atau minggu terakhir pada bulan Ramadan, yang dipercaya adalah malam yang istimewa bagi umat Islam. Karena pada minggu terakhir di bulan Ramadan dipercayai sebagai malam Lailatul Qadar.

ADVERTISEMENT

Secara umum tradisi ini bertujuan untuk mengungkapkan rasa syukur atas rahmat Allah SWT, yang memberikan berbagai nikmat kepada hambanya dan menjadikan malam sebagai malam yang penuh keberkahan.

Di masa lampau, pada malam puncak pelaksanaan tujuh likur, biasanya akan diisi dengan berbagai kegiatan oleh masyarakat, seperti mengunjungi penduduk dari rumah ke rumah kemudian dihidangkan makanan hingga kue tradisional dan diakhiri dengan mendoakan agar rumah keluarga yang didatangi memperoleh limpahan rahmat, pahala dan rezeki.

Hal itu akan dilakukan bergiliran dari satu rumah ke rumah lainnya selama malam ke-27 Ramadhan tersebut. Beberapa perlengkapan yang disiapkan untuk melaksanakan malam Tujuh Likur ini berupa kue wajik, kue bangkit dan kue bahulu.

Namun seiring berkembangnya zaman, kue yang disajikan juga semakin beragam, masyarakat juga sudah menggunakan kue modern seperti kue brownis dan sebagainya. Proses pelaksanaan malam tujuh likur ini biasanya dimulai sejak sore hari yaitu mengantar sesajian.

Sesajian dilakukan untuk menghormati keberadaan nenek moyang, dapat berupa makanan atau yang lain. Kemudian dilanjut dengan memasang pelita yang sudah dibuat sehari sebelum Malam Tujuh Likur secara bergotong royong oleh masyarakat. Pemasangan pelita biasanya dilakukan setelah magrib.

Acara Malam Tujuh Likur kemudian dilanjut dengan Kenduri. Sebagian besar yang melaksanakan tradisi ini akan mengadakan Kenduri setelah solat terawih. Sebelum kenduri dari rumah ke rumah, masyarakat akan berkumpul lebih dulu di masjid untuk berdoa bersama dan membagi kelompok untuk kenduri ke rumah-rumah.

Kemudian para laki laki akan pergi kenduri ke rumah-rumah sedangkan kaum perempuan akan membawa juadah dari rumah untuk dimakan bersama-sama setelah pelaksanaan zikir dan beratib atau puji-pujian dan rasa syukur kepada Allah SWT.

Nah detikers itulah tradisi Malam Tujuh Likur, semoga bermanfaat ya.

Artikel ini ditulis oleh Rindi Antika, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(afb/afb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads