Gordang Sambilan merupakan alat musik tradisional suku Mandailing. Konon, dulunya alat musik ini digunakan sebagai medium memanggil roh nenek moyang.
Masyarakat pada zaman dulu sering kali melakukan ritual pemanggilan roh nenek moyang mereka. Pemanggilan itu bertujuan untuk meminta pertolongan dari kesulitan atau pun yang lainnya.
Ritual pemanggilan itu juga terjadi di Sumatera Utara (Sumut). Suka Batak yang mayoritas mendiami daerah ini juga melakukan hal tersebut.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Termasuk salah satunya etnis Mandailing yang menyebar di beberapa kabupaten di Sumut, seperti Tapanuli Selatan, Mandailing Natal, Padang Lawas dan daerah lainnya. Konon, salah satu medium pemanggilannya adalah lewat alat musik Gordang Sambilan.
Lalu, apakah benar, dulunya Gordang Sambilan digunakan untuk memanggil roh nenek moyang? Mari simak penjelasannya!
Tentang Gordang Sambilan
Makna Gordang Sambilan
Sebelum sampai ke penjelasan Gordang Sambilan sebagai medium pemanggilan roh nenek moyang, ada baiknya detikers lebih dulu mengetahui tentang pengertian Gordang Sambilan.
Dikutip dari laman resmi Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kabupaten Mandailing Natal (Madina), kata gordang berarti gendang atau bedug, sesuai dengan bentuknya. Sementara kata sambilan berarti angka sembilan yang merujuk pada jumlah gendangnya. Dengan begitu, Gordang Sambilan berarti sembilan gendang.
Setiap gendang ini memiliki panjang dan diameter yang berbeda. Oleh karena itu, suara yang dihasilkan dari setiap gendangnya juga tidak sama. Untuk membunyikan gordang ini, ada satu pemukul yang terbuat dari kayu.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa kata sambilan melambangkan sembilan raja yang saat itu berkuasa di daerah Mandailing, yakni Nasution, Pulungan, Rangkuti, Hasibuan, Matondang, Parinduri, Daulay, Batubara, dan Lubis.
Gordang Sambilan ini merupakan alat musik yang sakral bagi suku Mandailing. Dulu, alat musik ini hanya dipentaskan pada acara-acara kerajaan. Tempat Gordang Sambilan ini juga tidak boleh diletakkan sembarang, harus ditempatkan di Sopo Godang atau balai sidang adat dan bisa juga di Bagas Godang yang berarti istana kerajaan.
Penggunaan alat musik Gordang Sambilan ini juga bisa digunakan untuk acara pribadi, seperti horja atau acara pernikahan dan kematian, tetapi harus mendapatkan izin dari pemimpin tradisional yang disebut dengan Namora Natoras dan raja sebagai kepala pemerintahan.
Sebelum mengeluarkan izin, para tokoh Namora Natoras dan raja serta pihak yang akan melangsungkan acara harus terlebih dahulu melakukan Makorbar atau musyawarah. Dari hasil musyawarah itu nantinya diputuskan apakah Gordang Sambilan itu dapat digunakan untuk acara pernikahan dan kematian itu atau tidak.
Selain harus mendapatkan izin, penggunaan Gordang Sambilan itu juga harus menyembelih minimal satu ekor kerbau jantan dewasa.
Namun, seiring perkembangan zaman, Gordang Sambilan ini mulai dipakai di acara-acara biasa. Misalnya, dalam acara pernikahan masyarakat biasa, atau penyambutan tamu-tamu dan hari-hari besar.
Bahkan, Gordang Sambilan ini telah dikenal hingga mancanegara, seperti negara Malaysia yang juga banyak dimukimi etnis Mandailing. Pada tahun 2012, Gordang Sambilan ini juga dipentaskan pada HUT RI ke-67 di istana negara.
Dianggap Berkekuatan Gaib
Gordang Sambilan ini dianggap berkekuatan gaib oleh masyarakat. Dulu, sebelum Islam masuk ke wilayah tersebut, Gordang Sambilan ini dipakai untuk memanggil roh nenek moyang.
Upacara pemanggilan roh itu disebut Paturuan Sibaso atau dengan kata lain memanggil roh untuk menyurupi medium Sibaso. Biasanya masyarakat memanggil roh nenek moyang ini untuk meminta pertolongan yang tengah terjadi di daerah tersebut, seperti meminta hujan, menghentikan hujan yang turun terus menerus, atau untuk mengatasi wabah penyakit.
Upacara pemanggilan roh itu akan diiringi oleh Gordang Sambilan. Ada juga nanti penari yang akan mengikuti alunan musik tersebut. Nantinya, orang yang menari itu akan dimasuki oleh roh nenek moyang tersebut.
(dhm/dhm)