- Kumpulan Contoh Cerita Fantasi Pendek dari Wilayah Sumatera Bagian Utara 1. Cerita Fantasi Pendek dari Aceh a) Asal-usul Tari Guel b) Beungong Peukeun dan Beungong Meulu 2. Sumatera Utara a) Asal-usul Batu Gantung b) Asal-usul Nama Simalungun c) Asal-usul Danau Toba 3. Sumatera Barat a) Malin Kundang b) Asal-usul Danau Maninjau 4. Riau a) Asal-usul Kota Dumai b) Hang Tuah Ksatria Melayu 5. Kepulauan Riau a) Asal-usul Pulau Batam dan Duri Angkang
Manusia berubah menjadi batu, ikan yang berubah menjadi manusia, atau tongkat sapu yang bisa digunakan untuk terbang. Hal-hal seperti itu kerap muncul dalam cerita fantasi. Apa itu?
Cerita fantasi adalah teks cerita yang isinya ditulis berdasarkan imajinasi penulis. Itulah mengapa banyak kejadian dalam cerita fantasi yang di luar nalar dan mustahil untuk terjadi di dunia nyata.
Ada banyak cerita fantasi yang populer di tengah masyarakat, tanpa terkecuali dari wilayah Sumatera bagian Utara (Sumbagut). Langsung scroll ke bawah untuk melihat kumpulan cerita fantasi pendek dari Sumbagut, yuk!
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kumpulan Contoh Cerita Fantasi Pendek dari Wilayah Sumatera Bagian Utara
Merujuk buku 88 Cerita Terbaik Asal-usul Nama Daerah oleh Marina Asril Reza, Rangkuman 100 Cerita Rakyat Indonesia Dari Sabang Sampai Merauke oleh Rouf dan Ananda, dan Cerita Rakyat dari Batam oleh B. M. Syamsuddin, berikut contoh cerita fantasi pendek dari wilayah Sumatera bagian utara.
1. Cerita Fantasi Pendek dari Aceh
![]() |
a) Asal-usul Tari Guel
Suatu hari kakak beradik putra Sultan Johor, Malaysia yaitu Muria dan Sangede, sedang menggembala itik di tepi laut sambil bermain layang-layang. Tiba-tiba datang badai dahsyat sehingga benang layang-layang mereka pun putus. Mereka berusaha mengejar layang-layang tersebut sehingga lupa terhadap itik-itiknya.
Setiba di rumah, ayah mereka menyuruh untuk mencari itik dan tidak boleh kembali tanpa berhasil menemukannya. Berbulan-bulan mereka berjalan mencari itik hingga sampai di Kampung Serule. Mereka dibawa oleh orang kampung menghadap ke istana Raja Serule. Di luar dugaan, mereka malah diangkat anak oleh baginda raja.
Karena kesaktian kedua anak tersebut, rakyat Serule hidup makmur, aman, dan sentosa. Hal ini membuat Raja Linge iri dan gusar, sehingga mengancam akan membunuh kedua anak tersebut. Malang bagi Muria, ia berhasil dibunuh.
Suatu hari, para raja berkumpul di istana Sultan Aceh untuk mempersembah- kan upeti kepadanya. Saat itu Sangede ikut datang juga dan sambil menunggu ayah angkatnya, ia menggambar seekor gajah yang berwarna putih. Lukisan Sangede ini menarik perhatian Putri Sultan yang kemudian meminta dicarikan gajah seperti pada gambar. Saat itu juga Sultan memerintahkan Raja Serule dan Raja Linge untuk menangkap gajah putih tersebut guna dipersembahkan kepada Sultan.
Pagi harinya, Sangede dan Raja Serule pergi ke Samarkilang seperti perintah dalam mimpi Sangede. Benar juga, mereka menemukan gajah putih sedang berkubang di pinggiran sungai. Sangede dan Raja Serule mengenakan tali di tubuh gajah dan saat akan menghelanya, gajah putih itu lari sekuat tenaga.
Setelah berhasil mengejarnya mereka berinisiatif untuk bernyayi-nyanyi sambil menari untuk menarik perhatian gajah putih. Di luar dugaan, gajah putih itu tertarik dan mau mengikuti gerakan-gerakan mereka.
Mereka terus menari sambil berjalan agar gajah itu mau mengikuti langkah mereka. Gajah itu pun mengikuti Sangede dan raja Serule yang terus menari hingga akhirnya berhasil tiba di istana. Tarian itu disebut tarian Guel hingga sekarang.
b) Beungong Peukeun dan Beungong Meulu
Pada zaman dahulu kala, hidup dua orang kakak-beradik yang bernama Beungong Peukeun dan Beungong Meulu. Suatu hari, Beungong Peukun menemukan sebutir telur, lalu direbusnya dan dimakannya. Keesokan harinya, saat bangun tidur Beungong Peukun mendapati dirinya telah berubah menjadi seekor naga. Saat itu juga Beungong Peukeun mengajak adiknya meninggalkan gubuk mereka. Saat melewati sungai besar tiba-tiba muncul seekor naga. Keduanya bertarung sengit. Pertarungan ini berhasil dimenangkannya.
Mereka pun melanjutkan perjalanan. Di tengah perjalanan mereka kembali diserang seekor naga yang besar. Beungong Peukeun berhasil lagi memenangkan pertarungan. Saat hendak menyeberangi lautan. Beungong Peukeun kembali diserang seekor naga. Kali ini ia kalah dan terbunuh oleh serangan naga yang sangat besar itu. Sementara itu, Beungong Meulu terlempar dan tersangkut di sebuah pohon milik seorang saudagar kaya yang kemudian menikahinya.
Selama menjadi istri saudagar kaya tersebut, Beungong Meulu tak pernah bicara ataupun tersenyum. Dia selalu diam dan tampak sedih karena masih teringat kakaknya yang sudah meninggal.
Suatu hari, suami Beungong Meulu mengajaknya pergi ke lautan tempat kakaknya dibunuh naga. Sesampainya di sana, mereka menemukan tulang-tulang yang diyakini sebagai tulang-tulang kakaknya. Lalu, dikumpulkan dan kemudian dibacakan doa sambil memercikkan air bunga pada tulang-tulang tersebut. Atas izin Tuhan, tiba-tiba Beungong Peukeun menjelma dan berdiri di hadapan mereka. Sejak saat itu, Beungong Peuken tinggal bersama adiknya dan Beungong Meulu tidak lagi membisu.
Suatu hari, ada seorang penguasa mengadakan sebuah sayembara. Barang siapa dapat memindahkan gunung dari halaman rumahnya, akan dijadikan penguasa dan dinikahkan dengan anaknya. Beungong Peukeun yang men- dengar sayembara tersebut segera berangkat ke sana dan mencongkel gunung tersebut dengan pedang saktinya. Dalam sekejap, gunung tersebut dapat dilemparkannya. Sang penguasa menepati janjinya. Beungong Peukeun diberi kekuasaan dan dinikahkan dengan putri penguasa.
2. Sumatera Utara
![]() |
a) Asal-usul Batu Gantung
Di sebuah desa yang terletak di sekitar Danau Toba, tinggallah seorang gadis cantik bernama Seruni. Ia adalah gadis yang rajin. Seruni suka membantu ayah dan ibunya berladang.
Orang tuanya ingin menjodohkan Seruni dengan seorang laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Ia menolak keinginan tersebut. "Aku tidak mau dijodohkan dengannya, Bu," ujar Seruni. Namun, orang tuanya tetap memaksa dengan alasan bahwa orang yang dijodohkan adalah laki- laki yang baik hati.
Keadaan ini membuat Seruni sangat sedih. Lalu, la melarikan diri ke hutan ditemani Toki, anjing peliharaannya.
Kemudian, ia pergi ke arah Danau Toba untuk merenung. Sampai di tepi Danau Toba, tiba-tiba kakinya terperosok ke dalam sebuah lubang batu yang dalam sekali. "Tolong! Tolong! Toki, cepat tolong aku!" teriaknya sambil menangis. Anjing kecilnya menggonggong di pinggir lubang menyaksikan Seruni yang terperosok.
Toki berlari pulang sambil menggonggong gelisah di hadapan orang tua Seruni. Mereka merasa panik, karena Toki pulang tidak bersama Seruni.
"Pasti sesuatu telah terjadi pada Seruni, Pak! Cepat kita ikuti Toki!" kata ibu Seruni. Sang ayah memanggil beberapa tetangga untuk mengikutinya.
Sesampainya di lubang batu tempat Seruni terjatuh. Ayah Seruni memanggil-manggil anaknya dan berniat masuk ke dalam lubang. Namun, Ibu Seruni melarangnya, karena terlalu berbahaya.
Warga menyalakan obor untuk menerangi lubang, tetapi dasar lubang itu terlalu dalam dan gelap. Mereka juga berusaha mengulurkan tali ke dalam lubang berharap Seruni bisa menggapainya dan naik ke atas, tetapi usaha mereka sia-sia.
Tiba tiba, tanah terguncang hebat seperti terjadi gempa. Lubang tersebut perlahan merapat dan tertutup. Seruni yang berada di dalam lubang tidak bisa diselamatkan.
Tidak lama setelah terjadi gempa, di tempat Seruni terjatuh tiba-tiba muncul sebuah batu besar menggantung yang menyerupai sesosok orang yang letaknya di tepi Danau Toba.
Warga memercayainya sebagai penjelmaan Seruni. Batu tersebut dinamakan Batu Gantung. Daerah tersebut sering dikunjungi oleh turis mancanegara dan domestik, karena pemandangannya yang indah.
b) Asal-usul Nama Simalungun
Dahulu kala, Kerajaan Tanah Djawo yang terletak Kampung Nagur dipimpin oleh seorang raja yang adil dan bijaksana. Kerajaan ini bermarga Sinaga.
Kerajaan Tanah Djawo berdekatan dengan kerajaan kecil lainnya, yaitu kerajaan Raya dari marga Saragih Garingging dan Kerajaan Silou dari marga Purba Tambak. Ketiga kerajaan tersebut berhubungan baik dan rukun. Meskipun berbeda marga, mereka selalu saling membantu.
Ketika Kerajaan Majapahit dari Jawa akan menyerang Kerajaan Tanah Djawo, Kerajaan Silou dan Kerajaan Raya turun tangan membantu, sehingga pasukan Kerajaan Majapahit bisa dikalahkan dan diusir dari wilayah Nagur.
Suatu ketika, ketiga kerajaan tersebut diserang oleh ribuan tentara yang tidak diketahui asalnya. Meskipun sudah bersatu, mereka tidak sanggup mengimbangi kekuatan musuh. Banyak korban berjatuhan.
Rakyat pergi meninggalkan daerah mereka untuk mengungsi. Selama masa pelarian, mereka dilanda kelaparan dan wabah penyakit. Sekelompok dari mereka menemukan sebuah wilayah yang bisa mereka tempati, yaitu tanah Sahili Misir yang kini adalah Pulau Samosir.
Mereka membuka lahan dan mulai bercocok tanam di sana. Kehidupan mereka mulai membaik. Bertahun-tahun lamanya mereka hidup di sana, berkeluarga, mempunyai anak dan cucu.
Suatu ketika, beberapa orang tua merasa rindu dengan kampung halaman mereka di Nagur. Mereka pun mengajak siapa saja yang juga rindu kampung halaman untuk ikut kembali ke Nagur. Beberapa dari mereka tetap ingin tinggal, karena tidak ingin meninggalkan rumah, sawah, ladang, dan ternak yang kini mereka miliki.
Kelompok yang kembali ke Nagur menempuh perjalanan panjang untuk sampai ke kampung halaman mereka.
Sesampainya di Nagur, beberapa warga terlihat menangis teringat peristiwa yang menimpa mereka dahulu. Kini, rumah-rumah mereka tidak ada lagi, semuanya sudah tertutupi semak belukar.
"Sima-sima nalungun," kata mereka yang berarti daerah yang sunyi dan sepi.
Sejak saat itu, Kampung Nagur mereka ganti namanya menjadi Sima Nalungun. Lama-kelamaan, nama tersebut berubah menjadi Simalungun yang menjadi sebuah kabupaten di Sumatra Utara.
c) Asal-usul Danau Toba
Danau Toba merupakan danau besar yang terletak di Sumatera Utara. Di tengah danau, ada sebuah pulau bernama Pulau Samosir.
Alkisah, di Tapanuli Utara, hiduplah seorang petani miskin yang sangat rajin bekerja. Ia juga sering memancing guna mencari lauk untuk makan. Petani itu bernama Toba.
Pada suatu hari, ia memancing ikan di sungai. Sampai sore, ia belum mendapatkan ikan. Namun, ia tetap bersabar. Tiba-tiba, kailnya bergerak. Toba sangat gembira karena ternyata ada ikan besar yang tersangkut. Ikan itu mempunyai sisik sangat indah berwarna keemasan.
Namun, tiba-tiba saja ikan tersebut berbicara, "Petani yang baik, jangan bunuh aku. Tolong kasihani aku dan kembalikan aku ke dalam air."
Petani itu sangat kaget, tetapi ia berjanji tidak membunuh ikan itu. Dalam sekejap, ikan itu berubah menjadi seorang putri yang cantik.
"Sebagai balas budiku, aku bersedia menikah denganmu," kata Putri itu.
Tentu saja Toba sangat senang.
"Namun, aku punya satu syarat, Petani yang baik," kata putri jelmaan ikan itu. "Jika kelak kita dikaruniai anak, aku tak ingin ia tahu bahwa ia adalah anak jelmaan seekor ikan."
"Aku berjanji untuk tidak mengatakan hal itu kepada keturunan kita," kata sang petani.
Akhirnya mereka menikah, lalu dikaruniai seorang anak laki-laki yang dinamai Samosir. Anak itu sangat suka makan. Ia bisa makan berkali-kali dan dalam jumlah yang besar. Ia juga sering memakan makanan yang disediakan untuk ayahnya.
Pada suatu hari, si anak disuruh ibunya mengantarkan rantang berisi makan untuk ayahnya yang sedang bekerja di sawah. namun, isi makanan itu dimakan sang anak dalam perjalanan.
Ayahnya yang kelelahan dan kelaparan sangat terkejut melihat rantang yang hanya berisi sisa-sisa makanan. Ia pun marah kepada anak laki-lakinya.
"Dasar anak ikan!" ucapnya tanpa disadari.
"Apa maksud Ayah dengan anak ikan?"
"Asal kau tahu, ibumu adalah jelmaan seekor ikan!" kata ayahnya dengan sangat marah.
Samosir terkejut, lalu berlari pulang ke rumah.
Di rumah, ia menemui ibunya. "Ibu, tadi ayah marah karena makanannya aku makan. Lalu, ia bilang, aku anak ikan. Benarkah aku anak seekor ikan, Bu?"
Ibunya, putri jelmaan ikan, itu pun sangat sedih. Lalu, ia menyuruh Samosir lari mendaki gunung dan sesaat kemudian, ia menghilang. Di tanah tempat ia menghilang itu, keluar mata air yang mengalir deras.
Mata air itu akhirnya membentuk danau yang kemudian dikenal dengan Danau Toba. Sementara itu, gunung tempat Samosir pergi menjadi Pulau Samosir.
3. Sumatera Barat
![]() |
a) Malin Kundang
Di pesisir pantai wilayah Sumatera hiduplah seorang anak laki-laki yang bernama Malin Kundang bersama ayah ibunya. Suatu hari ayahnya pergi meng- adu nasib ke negeri seberang dengan mengarungi lautan yang luas. Hampir setahun ayahnya tidak pernah kembali dan dikabarkan telah meninggal.
Sejak saat itu, ibunya yang mencari nafkah untuk mereka berdua. Malin anak yang cerdas walau kadang nakal. la suka mengejar ayam hingga suatu kali terjatuh dan meninggalkan bekas luka di lengannya.
Saat dewasa, Malin Kundang merasa kasihan dengan ibunya yang sudah tua tetapi tetap bekerja. la pun menyampaikan niatnya untuk mencari nafkah di negeri seberang. Walaupun awalnya ibunya tidak setuju, tapi akhirnya ia tetap mengizinkannya untuk pergi. Di tengah perjalanan, tiba-tiba kapal yang dinaiki Malin Kundang diserang oleh bajak laut. Malin Kundang sangat beruntung dirinya selamat dan tidak dibunuh karena Malin bisa bersembunyi di sebuah ruang kecil yang tertutup oleh kayu.
Malin Kundang terkatung-katung di tengah laut, hingga akhirnya kapal yang ditumpanginya terdampar di sebuah pantai. Dengan sisa tenaga yang ada, Malin Kundang berjalan menuju ke desa yang terdekat dari pantai. Selanjutnya, Malin menetap di desa itu dan bekerja dengan gigih dan ulet. Malin pun menjadi kaya raya dan ia pun telah mempersunting seorang gadis. Berita Malin Kundang yang telah menjadi kaya raya dan telah menikah sampai juga ke- pada ibunya. Ibu Malin Kundang merasa bersyukur anaknya telah berhasil.
Suatu hari Malin dan istrinya melakukan pelayaran ke kampungnya dengan kapal yang besar dan indah disertai anak buah kapal serta pengawalnya. Saat Malin turun dari kapal, ibunya berdiri cukup dekat dan meyakini bahwa itu anaknya karena ia melihat bekas luka di lengannya. Ia pun segera memeluk Malin, tetapi dengan kasarnya Malin melepaskan pelukan. Bahkan, mendorongnya, menghinanya, serta tidak mengakui bahwa wanita itu ibunya. Ibu Malin sangat sedih dan marah. Karena itu ia segera menengadahkan tangan, "Oh Tuhan, kalau benar la anakku, aku sumpahi dia menjadi sebuah batu". Tidak berapa lama kemudian angin bergemuruh kencang dan badai dahsyat. Tubuh Malin Kundang pun perlahan kaku dan menjadi sebuah batu karang.
b) Asal-usul Danau Maninjau
Di sebuah perkampuangan di kaki Gunung Tinjau, ada sepuluh orang bersaudara yang biasa disebut Bujang Sembilan. Si sulung bernama Kukuban dan si bungsu bernama Sani. Mereka mempunyai seorang paman bernama Datuk Limbatang. Datuk Limbatang mempunyai seorang putra bernama Giran. Suatu hari, Datuk Limbatang berkunjung ke rumah Bujang Sembilan. Saat itu- lah Sani dan Giran menyadari bahwa mereka saling menaruh hati.
Ketika musim panen, di kampung tersebut diadakan adu silat. Para pemuda kampung termasuk Kukuban dan Giran ikut mendaftarkan diri. Di acara tersebut Kukuban berhadapan dengan Giran. Keduanya sama kuat hingga pada suatu kesempatan Giran berhasil menangkis serangan dari Kukuban, hingga Kukuban berguling di tanah dan dinyatakan kalah. Hal itu ternyata membuat Kukuban merasa kesal dan dendam terhadap Giran.
Beberapa hari setelah acara tersebut, Datuk Limbatang datang untuk meminang Sani. Namun, karena dendam, Kukuban menolak pinangan tersebut. Selain itu, Kukuban juga memperlihatkan bekas kakinya yang patah karena Giran. Datuk Limbatang dengan bijak menjelaskan bahwa hal itu adalah wa- jar dalam sebuah pertandingan. Namun, Kukuban tetap bersikukuh.
Sani dan Giran pun sedih. Mereka sepakat untuk bertemu di ladang untuk mencari jalan keluar. Saat sedang berbicara, sepotong ranting berduri ter- sangkut pada sarung Sani dan membuat pahanya terluka. Giran pun segera mengobatinya dengan daun obat yang telah ia ramu.
Tiba-tiba puluhan orang muncul dan menuduh mereka telah melakukan perbuatan terlarang, sehingga harus dihukum. Mereka berusaha membela diri tetapi sia-sia dan langsung diarak menuju puncak Gunung Tinjau.
Sebelum dihukum, Giran berdoa jika memang mereka bersalah, ia rela tubuhnya hancur di dalam air kawah gunung. Namun, jika tidak bersalah, letuskanlah gunung ini dan kutuk Bujang Sembilan menjadi ikan.
Setelah itu Giran dan Sani segera melompat ke dalam kawah. Beberapa saat berselang, gunung itu meletus yang sangat keras dan menghancurkan semua yang berada di sekitarnya. Bujang Sembilan pun menjelma menjadi ikan. Letusan Gunung Tinjau itu menyisakan kawah luas yang berubah menjadi danau, yang akhirnya diberi nama Danau Maninjau.
4. Riau
![]() |
a) Asal-usul Kota Dumai
Di daerah Dumai berdiri sebuah kerajaan bernama Seri Bunga Tanjung yang diperintah oleh seorang ratu bernama Cik Sima. Ratu ini memiliki tujuh orang putri yang elok nan rupawan, dikenal dengan Putri Tujuh. Dari ketujuh putri tersebut, putri bungsu yang paling cantik, namanya Mayang Sari.
Pada suatu hari, ketujuh putri itu sedang mandi di lubuk Sarang Umai. Tanpa sepengetahuan mereka, ada beberapa pasang mata yang mengamati mereka yaitu Pangeran Empang Kuala dan para pengawalnya. Pangeran terpesona kecantikan Putri Mayang Sari dan ia jatuh cinta kepada sang putri. Bahkan, Pangeran Empang Kuala sering bergumam lirih, "Gadis cantik di lubuk Umai... cantik di Umai. Ya, ya... dumai... dumai." Dari peristiwa inilah konon nama kota Dumai berasal.
Beberapa hari kemudian, sang pangeran mengirim utusan untuk meminang putri itu. Pinangan itu pun disambut baik oleh Ratu Cik Sima. Namun, berdasarkan adat kerajaan, putri tertualah yang berhak menerima pinangan terlebih dahulu.
Mengetahui pinangannya ditolak, Pangeran Empang Kuala naik pitam karena rasa malu. Sang pangeran pun segera memerintahkan para panglima dan prajuritnya untuk menyerang Kerajaan Seri Bunga Tanjung. Ratu Cik Sima yang mengetahui hal itu segera melarikan ketujuh putrinya ke dalam hutan dan membekali mereka makanan yang cukup untuk tiga bulan. Setelah itu, sang ratu kembali ke kerajaan untuk mengadakan perlawanan terhadap pasukan Pangeran Empang Kuala. Sudah 3 bulan berlalu, tetapi pertempuran antara kedua kerajaan itu tak kunjung usai.
Pada suatu senja, pasukan Pangeran Empang Kuala sedang beristirahat di hilir Umai berlindung di bawah pohon-pohon bakau. Namun, menjelang malam tiba-tiba mereka tertimpa beribu-ribu buah bakau yang jatuh dan menusuk ke badan. Saat pasukan Kerajaan Empang Kuala tak berdaya, datang utusan Ratu Cik Sima menghadap Pangeran Empang Kuala. Ia meminta pangeran untuk menghentikan peperangan karena telah membuat alam negeri Seri Bunga Tanjung marah. Seketika itu Pangeran Empang Kuala menyadari kesalahannya dan segera menghentikan peperangan.
b) Hang Tuah Ksatria Melayu
Pada masa lalu, dikenal seorang kesatria bernama Hang Tuah. Saat berumur sepuluh tahun, Hang Tuah pergi berlayar ke Laut Cina Selatan disertai empat sahabatnya, yaitu Hang Jebat, Hang Kasturi, Hang Lekir, dan Hang Lekiu. Dalam perjalanan, mereka berkali-kali diganggu oleh gerombolan bajak laut, tetapi mereka selalu berhasil mengalahkan gerombolan itu. Kabar tersebut terdengar sampai ke telinga Bendahara Paduka Raja Bintan. Ia pun mengangkat mereka sebagai anak angkatnya.
Suatu hari di istana Majapahit terjadi sebuah kegaduhan. Taming Sari, prajurit Majapahit yang sudah tua tapi amat tangguh, tiba-tiba mengamuk. Mengetahui keadaan itu, Hang Tuah kemudian menghadang Taming Sari dan berhasil mengalahkannya. Hang Tuah kemudian diberi gelar Laksamana dan dihadiahi keris Taming Sari. Hang Tuah menjadi laksamana yang amat disayang, serta dipercaya raja. Hal itu menimbulkan rasa iri pada Patih Kerma Wijaya, sehingga ia pun menyebar fitnah. Baginda Raja pun marah dan mengusir Hang Tuah. Ia pun segera meninggalkan Melaka dan pergi ke Indrapura. Suatu waktu, di Indrapura ia kedatangan tamu dari Melaka yang memintanya kembali ke Melaka, dan mendapat tugas menjadi Laksamana Melaka lagi.
Suatu hari, Hang Tuah melakukan pelayaran ke negeri Cina. Di pelabuhan Cina, rombongannya berselisih paham dengan orang-orang Portugis. Dalam perjalanan pulang kembali ke Melaka, mereka diserang oleh Portugis, tetapi Hang Tuah mampu mengatasi serangan mereka dan selamat.
Sementara itu, Gubernur Portugis di Manila sangat marah mendengar laporan kekalahan dan melakukan penyerangan ke Selat Melaka sebagai balas dendam. Pada saat itu Baginda Raja memerintahkan Tuan Bendahara untuk meminta bantuan Hang Tuah. Meski sakit, Hang Tuah tetap memimpin pasukan. Namun, sebuah peluru mesiu Portugis menghantar Hang Tuah. la terlempar sejauh 7 meter dan terjatuh ke laut. Beruntung, Hang Tuah berhasil diselamatkan. Akhirnya, peperangan berakhir tanpa pemenang dan yang kalah. Setelah sembuh. Hang Tuah tidak lagi menjabat sebagai Laksamana Melaka karena sudah semakin tua. la menjalani hidupnya dengan menyepi di puncak bukit Jugara di Melaka.
5. Kepulauan Riau
![]() |
a) Asal-usul Pulau Batam dan Duri Angkang
Konon beberapa abad yang silam, berlayarlah Nakhoda Alang gelar Qari Abadul Malik dari Siantan hendak ke Pulau Pinang. Beliau sebenarnya orang Bugis Mengkasar yang telah lama menetap di Tarempa sebagai tukang perahu tersohor. Termasyhur pula memiliki ilmu falak perbintangan, menjadi nakhoda perahu-dendang untuk melayari samudra luas yang terbentang dari Lautan Cina Selatan hingga ke perairan Riau dan Selat Malaka.
Karena alim, banyak ilmu agamanya, Nakhoda Alang diberi gelar Qari Abdul Malik oleh penduduk Siantan. Tetapi lidah Bugisnya masih kental, dan karena itu tidak mengherankan beliau mengucapkan huruf mati "nun" di ujung kata jadi "nga". Demikian pula sebaliknya, huruf mati "nga" di ujung kata diucap "nun". Siantan pulau tempat tinggalnya, disebut Siantang. Pulau Bunguran jadi Bungurang, dusun Tebang-ladang sebaliknya menjadi Teban-ladan.
Menurut sahibulhikayat, dalam pelayaran dari Siantan ke Pulau Pinang itulah perahu-dendang Nakhoda Alang terpukul angin ribut. Haluan perahu-dendang itu pun diarahkan ke Selat Riau, hampir menyentuh ke pantai Bintan karena berkabut di pangkal malam.
"Lihat itu bintang," pekik Nakhoda Alang kepada taikong (juru mudi) kepercayaan sedang memegang kemudi. "Ke kanang...nganang...," beliau menjerit mengatasi suara angin ribut berdesing-desing.
"Kabut...tak kelihatan bintang, Nakhoda!" sahut taikong seraya memainkan kemudi. "Tak kelihatan bintang Nakhoda...."
"Pulau Bintang...awas, dendan ini pecah kena batu rakit Bintang," jerit Nakhoda Alang lagi. "Ke kanang...nganang...belok ke kanang...," kata beliau pula seraya menunjuk-nunjuk ke kanan untuk menghindari batu rakit Pulau Bintan.
"Oh...ini Pulau Ngenang...," pikir taikong sambil membelokkan kemudi, mengarahkan haluan perahu-dendang ke Ngenang itu. Pulau di sebelah kanan memasuki Selat Riau itu pun, disebut Pulau Ngenang dari asal kata ke kanang. Karena angin berdesing-desing, kedengarannya seperti "ngenang", padahal maksud Nakhoda Alang, pulau di sebelah kanan pelayaran.
"Turung layar kita berdayun," perintah beliau, maksudnya turunkan layar dan berdayung saja. Lantas berdayunglah anak buah perahu-dendang itu, menyusur pantai hingga masuk ke sebuah sungai. Karena air sungai itu cukup tenang, tidak terlambung ombak gelombang walaupun angin ribut tengah membahana. Jalan perahu-dendang dikayuhkan itu pun semakin melaju ke hulu, karena diantar arus pasang sedang mengasak ke tepi.
Tetapi tiba-tiba, "Dreeek...druk, plas...." Perahu-dendang terhenti, oleng sedikit, dan air sungai pun menyembur masuk ke dalam petak ruang. "Suuur..." sekejap mata saja nyaris melimpah.
"Hei, ada apa?" pekik Nakhoda Alang sambil memanggil salah seorang anak buah perahu. "Terjung ke sungai, lihat apa yang kita langgar?"
Setelah timbul, pelaut yang menyelam itu berkata, "Kita terlanggar langkang kayu berduri, keras sekali!"
"Ha? Terlanggar lankan berduri? Keras duri lankan itu?" tanya Nakhoda Alang, maksudnya "terlanggar langkang kayu berduri? Keras durinya?"
"Duri langkang kayu, berteras keras, ya Tuan Qari Malik," sahut penyelam. "Keras sekali duri langkang kayu itu!"
"Angkak...angkak..." perintah Maulana Malik, maksudnya angkat saja. "Angkak duri langkang itu!"
Dari dalam air sebatas telinga, penyelam mendengarnya seperti, "Tolak duri angkang itu!"
Penyelam itu pun menolaknya, dan setelah timbul berkata kepada Nakhoda Alang yang berdiri di pinggir perahu- dendang kenaikan mereka itu.
"Tidak dapat ditolak duri angkang melekat pada batang kayu, Nakhoda!" kata penyelam itu seraya mencuaskan air di mukanya. "Banyak batang kayu berduri yang tertumbang dalam sungai ini, Nakhoda," jelasnya.
"O...sungai berduri lan-kan banyak batan kayu?"
Akhirnya, sejak peristiwa itulah sungai banyak duri langkang kayu itu disebut Sungai Duri Angkang, seperti pendengaran pelaut yang menyelamnya.
Singkat ceritanya, setelah angin ribut teduh maka berangkatlah perahu-dendang Nakhoda Alang ke Pulau Pinang tujuannya. Di bandar itulah mereka berbongkar-muat, berjual-beli barang dagangannya.
"Kenapa sekali ini Qari Malik terlambat masuk ke Pulau Pinang?" tanya saudagar langganan beliau. "Biasanya belum selang tiga bulan perahu-dendang Nakhoda telah masuk."
"Kami terpukul ribut di tengah jalang, nyaris pecah di Pulau Bintang," kata Nakhoda Alang alias Qari Abdul Malik orang Siantan, asal Bugis Mengkasar itu. "Setelah menganang, masuk sungai penuh deduri-duri lan-kan batan kayu. Perahu- dendan bocor, lalu selama suku bulang diperbaiki," maksudnya, "Setelah menganan masuk sungai penuh duri langkang batang kayu. Perahu-dendang bocor, lalu selama setengah bulan diperbaiki."
"Di mana?" tanya saudagar rekanan dagang Nakhoda Alang lagi, karena kurang jelas. "Di pulau mana berhenti angin ribut itu?"
"Itu, di pulau banyak batan kayu sebelah barat Pulau Bintang," tutur Nakhoda Alang. "Itu...di Pulau Batan."
Sejak itu, menyebarlah nama pulau di sebelah barat Pulau Bintan, disebut Pulau Batan. Kata itu sambung menyambung di pelabuhan dagang cukup terkenal. Pulau Pinang dalam abad ke-18 setelah dibuka oleh orang Inggris bernama Sir Francis Light, tahun 1786.
Kapan Pulau Batang menurut logat Bugis Pulau Batan ini menjadi Pulau Batam? Penukaran "nun" dengan "mim" tulisan Arab-Melayu di ujung kata "batan" menjadi "batam" itu, sudah semakin kabur. Tidak diketahui orang lagi. Namun terasa enak diucapkan "Batam" daripada perkataan "Batan".
Demikianlah kumpulan contoh cerita fantasi pendek dari wilayah Sumbagut. Semoga bermanfaat!
(mff/nkm)