Perdebatan dalam menentukan ikrar Sumpah Pemuda di Batavia, 2 Mei 1926, berlangsung sengit. Moh. Yamin yang didukung Djamaloedin memberikan gagasan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan Indonesia, sedangkan Tabrani menentang gagasan tersebut tetapi suara Tabrani tidak cukup kuat.
Lantas seorang pria mendukung Tabrani. Dukungan itu pun diwarnai dengan gebrakan meja. Namun siapa yang menyangka, gebrakan meja itu ditujukan demi keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan.
Namanya Sanusi Pane. Pria kelahiran 14 November 1905 di Sipirok, Sumatera Utara. Selama hidupnya dihabiskan menggeluti dan memajukan bahasa Indonesia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sanusi Pane dalam Keluarga
Sanusi Pane dikenal getol memperjuangkan bahasa Indonesia. Di luar diskusi dengan tokoh-tokoh muda, Sanusi menerapkan sikapnya itu hingga ke akar. Hal itu dibuktikan dari perlakuan Sanusi menerapkan bahasa Indonesia di dalam keluarga.
Padahal Sanusi bisa saja mengajari anak-anaknya dengan bahasa Belanda. Sebab pada saat itu, Indonesia belum ada bahasa nasional dan bahasa Belanda menjadi bahasa utama di sekolah-sekolah masa kolonial.
"Beliau pertama-tama melakukan mengindonesiakan keluarganya," kata putri Sanusi, Nina Pane, saat berbincang dengan detikSumut, kemarin.
Kendati demikian, cinta Sanusi dalam memperjuangkan bahasa Indonesia tidak timpang dan menelantarkan keluarganya. Konsisten Sanusi tetap melihat keluarga sebagai sesuatu yang berharga.
"Jadi nggak ya. Maksudnya antara keluarga dengan kehidupan beliau sebagai tokoh perjuangan bahasa Indonesia seimbang. Nah kalau masalah itu sih seimbang," terang Nina.
Kehidupan Sanusi juga digambarkan sederhana. Dirinya kerap tidak ingin menjadi terkenal. Bahkan dirinya pernah menolak sebuah penghargaaan Satya Lencana Kebudayaan dari Soekarno.
Dalam menolak penghargaan itu, Sanusi dengan enteng menyebut seluruh usahanya tidak perlu mendapatkan balasan. Menurutnya bekerja demi Indonesia tidak perlu diberikan penghargaan.
"Saya itu hanya bekerja untuk bangsa dan negara. Jadi buat apa saya diberi balasan berupa penghargaan. Jadi dia tidak menerima karena alasan itu," ucap Nina saat menirukan Sanusi ketika menolak penghargaan dari Soekarno.
Kebiasaan rendah hati itu terbawa hingga menjelang ajalnya. Diceritakan dalam laman resmi Badan Bahasa, saat Sanusi bekerja di Balai Pustaka, dirinya menolak menikmati pelayanan seperti diantar jemput.
Sanusi juga mendiamkan beras dari tempat kerjanya membusuk dan dipenuhi kutu. Dirinya hanya fokus bekerja hingga tak mementingkan kenaikan jabatan.
Namun sikapnya itu justru membuat istrinya khawatir. Disebutkan, Sanusi harus realistis dengan kondisi yang telah memiliki enam anak.
Bukannya menuruti kata istrinya, Sanusi malah melihat kondisi yang serba sederhana itu tidak mengancam keluarganya. Dengan santai, Sanusi menyebutkan tidak perlu khawatir jika belum kelaparan dan menjadi gelandangan.
"Kita toh belum kelaparan. Kita toh belum jadi gelandangan, kita toh masih bisa berpakaian," kata Sanusi dikutip dari laman resmi Badan Bahasa.
Tahun-tahun Perjuangan Sanusi Pane
![]() |
Dalam isi Sumpah Pemuda butir ketiga, tertulis bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Namun siapa sangka dalam menentukan ide itu, sempat terjadi silang pendapat yang sengit. Saat itu, perdebatan isi Sumpah Pemuda mencapai puncaknya yang menyatakan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan.
Ide yang dicetuskan Moh Yamin dan Djamaloedin ditentang Tabrani. Dalam kritik Tabrani menyebutkan gagasan Moh Yamin tidak berkorelasi. Pasalnya, Moh Yamin menyebutkan isi Sumpah Pemuda yang kedua berbangsa satu bangsa Indonesia. Namun ide itu tidak seutuhnya tergambarkan apabila tanpa adanya bahasa Indonesia.
Tabrani pun mengusulkan untuk menjadikan bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Lalu muncul dua permasalahan. Pertama, saat itu bahasa Indonesia belum ada. Kedua, saran Tabrani belum kuat karena idenya tidak ada yang mendukung.
Lantas Sanusi pun datang. Saat itu Sanusi menyetujui usulan Tabrani. Momen persetujuan itu pun diwarnai dengan gebrakan meja yang dilakukan Sanusi.
"Kalau dalam permainan sepakbola ini, skor untuk Moh Yamin 2-1 karena Djamaloedin mendukung Moh. Yamin. Tabrani sendirian. Hampir dia kalah. Datanglah Sanusi Pane. Sanusi Pane menyetujui usulan Tabrani. Kalau memang tanah air Indonesia kemudian bangsa Indonesia maka harus ada bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Nah pada waktu itu Sanusi Pane dikatakan sampai gebrak meja," tutur Peneliti Balai Bahasa Sumatera Utara, Dr. Rosliani, saat menjelaskan momen Kongres Pemuda 1.
Langkah Sanusi itu pun berdampak besar bagi Kongres Pemuda 1 dan 2. Pasalnya, saat Kongres Pemuda 2, Moh Yamin dan Djamaloedin menyetujui ide Tabrani dan Sanusi.
Lantas ketika Kongres Pemuda yang digelar 27-28 Oktober 1928, perdebatan sengit yang telah terjadi selama dua tahun sejak 1926 berakhir. Serta ditandai dengan tercetusnya bahasa persatuan bahasa Indonesia.
Pergerakan Sanusi dalam membesarkan bahasa Indonesia tidak hanya terjadi di Kongres Pemuda. Setahun sebelum Sumpah Pemuda disetujui, Sanusi bergabung dengan Majalah Timbul.
Pada saat itu, Majalah Timbul masih menggunakan bahasa Belanda sebagai bahasa redaksi. Kedatangan Sanusi sebagai redaktur di sana membuat tersingkirnya bahasa Belanda. Dalam publikasi majalah itu, Sanusi mengubahnya dengan bahasa Indonesia. Meski memang saat itu, banyak yang menyebut dengan bahasa Melayu Tinggi karena belum lahirnya bahasa Indonesia.
"Di tahun 1927 beliau bergabung di Majalah Timbul yang waktu itu masih menggunakan bahasa Belanda. Tapi dengan masuknya beliau menjadi redaktur di situ, beliau membuat publikasinya itu dalam bahasa Indonesia. Kan dulu belum ada bahasa Indonesia yang baku. Jadi ada yang mengatakan bahasa Melayu Tinggi. Seperti itu. Jadi artinya ada proses," tutur Rosliani.
Pada 1938 juga dijelaskan, Sanusi bersama tokoh-tokoh lainnya mengembangkan bahasa Indonesia dalam Majalah Poedjangga Baroe. Selain itu, Sanusi tercatat sebagai salah satu pelopor Kongres Bahasa Indonesia yang pertama.
Pada kongres itu disebutkan langkah awal penciptaan bahasa Indonesia dengan menjahit sejarah Indonesia. Di kongres itu pula tercipta Institut Bahasa Indonesia yang merupakan cikal-bakal adanya Badan Bahasa sebagai instansi pengawas bahasa persatuan.
"Mereka menggagas Kongres Bahasa Indonesia pertama. Jadi Kongres Bahasa Indonesia pertama itu tanggal 25-28 Juni 1938 di Solo. Rapat kongres itu berbicara tentang sejarah Indonesia. Kemudian di rapat itu juga membahas Institut Bahasa Indonesia jadi adanya balai bahasa ini atas jasa dari Sanusi Pane," beber Rosliani.
Perjuangan Sanusi tampak getol kecintaan terhadap bahasa Indonesia. Hal itu ditandai dengan tugas-tugasnya dalam mengembangkan bahasa Indonesia melalui penerbit Balai Pustaka. Kedatangan Sanusi saat itu, membuat perubahan dengan tergesernya bahasa Belanda sebagai utama dalam penulisan buku. Sanusi juga menjadi tokoh yang membangun Kantor Berita Antara. Bersama adiknya, Armijn Pane, penamaan Kantor Berita Antara pun tercetus.
Menanti Gelar Pahlawan Nasional Sanusi
Nasib Sanusi memang tak seindah adiknya Lafran Pane. Pasalnya, dengan seluruh perjuangan dalam menguatkan bahasa persatuan, Sanusi hingga kini belum dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Pengajuan gelar pahlawan dimulai 2021 oleh Balai Bahasa Sumatera Utara.
Adapun pengusulan itu diajukan kepada Kementerian Sosial. Sanusi diusulkan sebagai penggerak bahasa persatuan.
"Kami mengusulkan kepada Kementerian Sosial sebagai penggerak bahasa persatuan bahasa Indonesia," kata Hidayat Widiyanto.
Proses pengajuan itu pun diceritakan cukup panjang. Mulai dari gelar seminar dan penerbitan karya ilmiah terkait perjuangan Sanusi selama hidupnya kepada bahasa Indonesia.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, pengajuan tersebut lolos pada tingkat provinsi. Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Tingkat Pusat (TP2GP) di Sumatera Utara menyetujui usulan tersebut dan mengirimkan lanjutan usulan ke tingkat pusat.
Namun jalan tak selalu mulus. Tahun 2022 pengusulan dibalikkan. Kementerian Sosial menginginkan bukti-bukti lain atas pergerakan Sanusi pasca kolonial. Tak berselang lama, tepatnya Maret 2023, usulan yang telah direvisi pun dikirimkan ulang.
Dalam revisi itu terkirim, Sanusi tokoh tanpa partai yang masuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), sebuah organisasi yang kini dikenal sebagai DPR RI. Di KNIP, Sanusi masih tetap getol memperjuangkan keberadaan bahasa Indonesia. Selain itu, Sanusi dalam revisi itu dijelaskan sebagai tokoh yang membangun Balai Pustaka.
"Setelah 1945 beliau masuk ke KNIP memperjuangkan bahasa Indonesia. Beliau juga menggagas penerbit Balai Pustaka," terang Widiyanto.
(astj/astj)