Komunitas Suku Anak Dalam (SAD) atau orang rimba kini terancam kehilangan lahan hutan. Padahal hutan menjadi tempat mereka berburu dan meramu.
Melihat kondisi ini, solusi terbaik untuk menyongsong masa depan orang rimba yaitu melalui pendidikan. Hal itu jadi materi diskusi film "Pulang Rimba" karya Kreasi Prasasti Perdamaian yang digelar di Universitas Jambi (Unja) Provinsi Jambi, Senin (6/3/2023).
Diskusi ini menjadi rangkaian kegiatan dari gelaran bertajuk "Inklusi Goes to Campus" digelar Pundi Sumatra yang didukung Kemitraan Partnership. Pada kegiatan itu pula hadir Orang Rimba lainnya yang kini juga menempuh pendidikan tinggi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di antaranya ada Bejujung (23) dan Besiar (23) berkuliah Agribisnis Fakultas Pertanian Unja, dan Juliana (21) yang kini berkuliah di Jurusan Kehutanan Universitas Muhammadiyah Jambi.
Film ini menceritakan Mt Pauzan (24) yang kini menempuh pendidikan di Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan) Bogor. Adapun judul Film Pulang Rimba menceritakan sosok Pauzan yang akan kembali pulang ke kampung begitu menyelesaikan studinya.
"Jadi film yang kami buat untuk pemantik diskusi, di film Pulang Rimba yang pertama karakter utamanya adalah Pauzan, kami menyebut sebagai credible voice. Kenapa Pulang Rimba, karena Pauzan nantinya kalau sudah lulus akan kembali ke kampungnya, membangun pertanian lebih modern dari ilmu yang didapatnya saat berkuliah," ungkap Sutradara film Pulang Rimba, Rahmat Triguna alias Mamato.
Mamato bercerita bahwa film Pulang Rimba diselesaikan pada akhir 2022 lalu setelah melakukan riset selama tiga bulan. Ia mengakui ada banyak tantangan dalam menggarap film dokumenter ini.
"Bonding trust alias membangun kepercayaan dengan Orang Rimba hingga mau difilmkan jadi tantangan tersendiri diproses pembuatannya," ujarnya.
Saat ini, Mamato dan timnya, diproduseri Anisa Triguna, kini sudah sepekan lebih berada di Provinsi Jambi untuk proses pengambilan gambar untuk film Pulang Rimba sekuel selanjutnya.
Mamato berpendapat bahwa Pauzan, Bejujung, Besiar ataupun Juliana punya dinamika hampir sama. Diantaranya melawan adat dengan melanjutkan pendidikan setinggi mungkin hingga perguruan tinggi.
"Mereka "melawan" adat dengan bersekolah hingga pendidikan tinggi. Apalagi bagi Juliana, perempuan Orang Rimba, kebanyakan sebayanya bahkan usia di bawahnya kini sudah menikah dan punya anak," tuturnya.
Ditemui terpisah di Bogor akhir Februari lalu, Pauzan juga sempat mengalami pertentangan dari orang tuanya saat berkeinginan untuk melanjutkan ke perguruan tinggi.
"Karena pasti merantau jauh, jadi pendidikan dianggap bisa memisahkan keluarga," kata Pauzan.
Namun begitu, pertentangan itu tak serta merta menyusutkan tekad anak rimba ini untuk mengubah nasib dengan meninggalkan komunitas dan memilih untuk menimba ilmu ke perguruan tinggi.
"Mereka punya harapan, setelah lulus, akan kembali ke komunitas Rimbanya dan membangun pertanian di sana," kata Mamato.
Disamping itu, CEO Pundi Sumatra Dewi Yunita Widiarti mengungkapkan bahwa pihaknya sudah lama melakukan pendampingan bagi Suku Anak Dalam yang bermukim di Kawasan Lintas Tengah Sumatra.
"Komunitas ini punya daya tangguh, survive, namun SDA makin tipis. Mau nggak mau kita harus bantu mereka bertahan. Caranya? Diperkenalkan dengan skill, ada sumber penghidupan yang lain selain berburu dan meramu," ujar Dewi.
Dewi menyebutkan bahwa selain akses pendidikan, pihaknya juga melakukan pendampingan untuk membuat komunitas ini mandiri secara finansial.
"Mereka 1,5tahun ini sudah ada produk olahan ikan asap, higienis dan halal dari MUI, ada uang kasnya, sekarang Rp 16 juta. Ini produk olahan pertama, yang kita dorong adalah perubahan sosial, bukan perubahan fisik. Tujuan akhir pemberdayaan adalah memandirikan bukan menumbuhkan ketergantungan," jelasnya.
Akademisi dari Unja, Fuad Muchlis menyebut Orang Rimba harus mampu untuk beradaptasi lantaran ketersediaan SDA semakin minim. Namun, saat ini masih sedikit penduduk yang melanjutkan ke jenjang pendidikan.
"Dari ribuan Orang Rimba yang kini mendiami beberapa wilayah, hanya sedikit saja yang berkuliah. Hutan semakin berkurang, namun populasi SAD terus meningkat. Dua atau tiga tahun lagi berapa? Sumber pangan terbatas," kata Fuad.
Dalam kegiatan ini, Mak Nur salah satu Komunitas Orang Rimba dan juga Juliana turut menampilkan Tari Bedeti. Mereka berputar-putar lengkap dengan selendang.
Sebagai informasi, Bedeti adalah tuturan yang berisi doa kepada Sang Pencipta yang disampaikan seorang dukun atau tetua, berdiri paling depan memimpin prosesi Tari Bedeti.
Mak Nur menyebut tak ingat tahun lahirnya. Namun, ia mengingat pada tahun 1971 dirinya sudah menikah. Namun, 10 tahun kemudian, suaminya meninggal dunia dengan meninggalkan 5 anak, 1 lelaki dan 5 perempuan.
"Suami namanya Paampung, meninggal sakit sesak nafas. Dulu kami sering ambil jelena batang seperti rotan, harganya mahal atau cari rotan. Kami jual ke Cina (orang Cina), satu kilogram Rp 700 ribu, dulu paling seminggu dapat satu kilogram. Sekarang carinya susah kalau belum habis semua hutan-hutan itu, mudah," kata Mak Nur yang cucunya kini menjadi anggota Polri ini.
(afb/afb)