Lafran Pane merupakan Pahlawan Nasional yang lahir di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Meskipun lahir di Tapsel, dia berhasil mendirikan organisasi tertua dan terbesar di Indonesia, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) di Yogyakarta tahun 1947 silam.
Bagaimana kisah Lafran Pane sampai bisa mendirikan HMI di Yogyakarta yang jauh dari kampung halamannya? Berikut kisah hidup Lafran Pane yang dituliskan oleh Ahmad Fuadi dalam buku Merdeka Sejak Hati dikutip detikSumut, Sabtu (4/2/2023).
Profil Lafran Pane
Lafran Pane lahir 5 Februari 1922, namun selama ini dia menyatakan lahir pada 12 April 1923. Hal itu bertujuan agar HMI yang dia dirikan tidak identik dengan dirinya sehingga HMI terlepas dari bayang-banyangnya.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lafran Pane memiliki dua saudara yang menjadi sastrawan besar di Indonesia, yakni Sanusi Pane dan Armijn Pane. Bakat sastrawan tersebut sepertinya diturunkan oleh kakek mereka yang merupakan seorang wartawan, penulis dan juga tokoh Partai Indonesia (Partindo) di Sumut.
Ketiganya merupakan anak dari Sutan Pangurabaan Pane, seorang guru di Tapsel yang sekarang masuk wilayah Mandailing Natal. Sutan juga merupakan salah satu pendiri Muhammadiyah di Sipirok tahun 1921. Keluarganya juga memiliki Pengangkutan Sibualbuali yang pernah berjaya pada masanya dengan 250 armada.
Lafran Pane semasa kecil, diasuh oleh ibu tirinya. Semasa kecil, Lafran merupakan anak yang sangat aktif dia selalu ingin bebas dari rutinitas yang sudah diatur oleh orang tuanya. Oleh orang tuanya, Lafran diajari tentang agama oleh guru kenamaan di kampungnya, Malim Mahasan.
Pendidikan formal ditempuh Lafran di banyak sekolah, mulai di pesantren Muhammadiyah Sipiriok, sekolah desa tiga tahun, semuanya tidak tamat. Lalu ia pindah ke Sibolga, masuk ke HIS Muhammadiyah. Kemudian kembali lagi ke Sipiriok, masuk Ibtidaiyah diteruskan ke Wustha. Dari Wustha pindah ke Taman Siswa Sipirok.
Lafran Pane Kabur dari Rumah Kakaknya
Karena berbagai alasan, Lafran Pane kemudian dibawa kakaknya ke Medan untuk melanjutkan sekolahnya di Taman Siswa Medan, namun tidak selesai. Lafran akhirnya melarikan diri dari rumah kakaknya tersebut dan berkelana di Medan.
Dia meninggalkan rumah kakaknya, disebabkan penolakan batin yang dirasakan oleh Lafran dengan tata krama di rumah kakaknya itu. Misalnya, saat makan tidak boleh bicara, tidak boleh ada suara dari piring dan sendok. Baginya, bertentangan dengan batinnya, ia tidak mau terkungkung dan ingin merdeka.
Selama meninggalkan rumah, dia hidup di jalanan Kota Medan. Dia tidur di emperan toko, main kartu, jual es lilin dan juga menjual karcis bioskop. Saat jualan karcis, Lafran sempat jadi petinju jalanan, walaupun badannya kecil, namun mentalnya luar biasa. Dia tidak takut melawan orang yang jauh lebih besar darinya.
Pada tahun 1937, abangnya Sanusi Pane dan Armijn Pane memutuskan untuk membawa Lafran ke Batavia (Jakarta). Di Batavia, dia kembali melanjutkan sekolahnya di kelas 7 HIS Muhammadiyah, menyambung ke MULO Muhammadiyah, ke AMS Muhammadiyah, kemudian ke Taman Dewasa Raya Jakarta.
Ketika sekolah di Taman Dewasa Raya Jakarta, Lafran Pane bertemu dengan Dipa Nusantara Aidit (Tokoh PKI), dan di zaman Belanda, keduanya memasuki Barisan Pemuda GERINDO, yang pada akhirnya antara Lafran dan Aidit memiliki keyakinan dan pandangan yang berlawanan. Dan Aidit pernah memimpin aksi untuk membubarkan HMI yang notabane adalah organisasi yang didirikan oleh Lafran Pane.
Jepang Ingin Eksekusi Lafran Pane
Pada tahun 1942, saat Lafran kembali ke kampung halamannya di Tapsel, ia pernah mau dihukum mati oleh Jepang yang saat itu berkuasa. Lafran dituduh melakukan pemberontakan terhadap pendudukan Jepang, namun karena pengaruh ayahnya yang cukup besar, Lafran kemudian dibebaskan.
Setelah itu Lafran memutuskan untuk berangkat kembali ke Jakarta. Sesampainya di sana, dia sempat bekerja di Kantor Statistik Jakarta, di perusahaan besar Apothek Bavosta, bahkan jadi pimpinan umum di Apothek tersebut, tahun 1945.
Pada tahun 1946, pada masa agresi militer Belanda, ibu kota berpindah dari Jakarta ke Yogyakarta. Hal ini juga menyebabkan pindahnya Sekolah Tinggi Islam (STI) dari Jakarta ke Yogyakarta, pada tanggal 10 April 1946. Lafran, yang jadi mahasiswa baru STI juga akhirnya pindah ke Yogyakarta.
Tidak sampai satu tahun di Yogyakarta, pemuda asal Tapsel tersebut menyusun dan mendirikan HMI, tepatnya pada tanggal 14 Rabiul Awal 1366 H, bertepatan 5 Februari 1947. Pendirian HMI tersebut dideklarasikan di STI yang pada tanggal 20 Mei 1948, STI berubah nama menjadi Universitas Islam Indonesia (UII).
Lafran Pane memperkarsai pendirian HMI setelah melewati pergolakan pemikiran panjang. Konsolidasi pembentukan tersebut dilakukannya sejak November 1946. Dia mendirikan HMI dengan dua alasan, pertama guna mempertahankan Republik Indonesia dan mempertingggi derajat rakyat Indonesia, kedua yaitu menegakkan dan mengembangkan ajaran Islam.
Dia mendirikan HMI tersebut bersama 13 orang kawannya yang lain. Yaitu Karnoto Zarkasyi, Dahlan Husein, Siti Zainah, Maisaroh Hilal (cucu KH. A. Dahlan), Soewali, Yusdi Ghozali (pendiri PII), Mansyur Anwar, Hasan Basri, Marwan, Zulkarnaen, Tayep Razak, Toha Mashudi dan Bidron Hadi.
Lafran menjadi Ketua Umum pertama HMI, namun selang beberapa bulan dia mundur menjadi wakil ketua, tepatnya 22 Agustus 1947. Saat ini, HMI sudah menyebar ke seluruh Indonesia dengan jumlah cabang ratusan. Bahkan ada beberapa negara yang memiliki cabang HMI, seperti di Malaysia, Maroko, Tiongkok.
Lebih lanjut, Lafran Pane pindah dari STI/UII ke Akademi Ilmu Politik (AIP) , pada April 1948. AIP ini merupakan cikal bakal Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) yang kemudian dari fakultas itu muncul Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM.
Dalam catatan UGM, Lafran termasuk salah satu mahasiswa yang lulus mencapai titel sarjana (Drs). Bahkan Lafran Pane lulusan Sarjana Politik pertama di Indonesia. Lafran, mempunyai banyak karir semasa hidup, bahkan dia pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung, setelah Akbar Tanjung dan kawan-kawan membujuk beliau.
Lafran Pane meninggal dunia pada 25 Januari 1991, dia dimakamkan di Yogyakarta. Berkat jasa-jasanya, Lafran Pane dianugerahi Pahlawan Nasional pada 6 November 2017, masa Presiden Joko Widodo.
Artikel menarik detikSumut lainnya baca di Google News.
(astj/astj)