Suku Karo merupakan salah satu suku yang berada di Sumatera Utara, tepatnya di Kabupaten Karo. Suku Karo memiliki rumah adat yang disebut Si Waluh Jabu, Waluh artinya delapan, sedangkan Jabu artinya rumah.
Dosen Antropologi Universitas Negeri Medan (Unimed) Erond L Damanik mengatakan Si Waluh Jabu menggambarkan kehidupan warga karo yang bersama-sama.
"Kehidupan yang komunalistik, yang menunjukkan kebersamaan," kata Erond kepada detikSumut, Minggu (5/6/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Konsep Si Waluh Jabu mempunyai makna ada delapan rumah tangga yang menjadi penghuni rumah tersebut. Biasanya semua merupakan keluarga inti maupun kerabat dekat.
"Biasanya 8 rumah tangga itu adalah keluarga inti, orangtua, anak-anak, dan kerabat dekat yang tinggal dalam satu rumah," sebutnya.
Rumah tersebut menurutnya mempunyai beberapa fungsi. Selain sebagai tempat tinggal, juga sebagai sosialisasi dan regenerasi.
"Fungsi rumah itu selain tempat tinggal, sosialisasi, regenerasi, kebersamaan dari delapan keluarga yang setiap hari ketemu," tuturnya.
Erond kemudian menjelaskan bentuk dari atap Si Waluh Jabu. Atap rumah ini disebut berbentuk pelana maupun diagonal yang memiliki penanda yang disebut tersek.
"Dan biasanya kalau pola atapnya seperti ini (diagonal), biasanya di titik pertemuan antara atap yang menghadap muka belakang dengan samping kiri dan kanan di titik pertemuan itu ada penanda yang disebut dengan tersek, tersek itu sebenarnya sebagai penanda," jelasnya.
Jumlah tersek itu paling banyak 3 buah. Di setiap tersek tersebut akan ada atap yang menyerupai bentuk rumah adat tersebut. Jumlah tingkatan atap itu disesuaikan dengan jumlah tersek yang ada.
"Tersek itu ada nanti 1 tersek, 2 tersek, 3 tersek, biasanya itu sampai 3 tersek. Nah di pertemuan atap itu nanti adalagi semacam tanda atap 1 tingkat, 2 tingkat dan 3 tingkat itu tergantung jumlah tersek nya, nah diatas atap itu nanti adalagi dibuat semacam rumah adat kecil," ujarnya.
Tersek tersebut sebenarnya menjadi estetika dan untuk menunjukkan derajat pemiliknya. Semakin banyak terseknya, maka semakin tinggilah status sosial penghuni rumah itu. Pemilik 3 tersek biasanya adalah pembuka kampung atau Simantek Kuta dan merupakan yang paling dihormati di daerah tersebut
"Kalau misalnya dia 1 tersek status sosialnya seperti apa, kalau 2 tersek itu statusnya lebih tinggi, kalau 3 tersek itu biasanya pembuka kampung atau simantek kuta, dia lah tokoh yang paling dihormati di daerah tersebut," ungkapnya.
"Jadi rumah itu akan menunjukan status sosial atau strata sosial para penghuninya," jelasnya.
Tidak semua masyarakat Etnik Karo tinggal di tempat tinggal seperti Si Waluh Jabu tersebut, masyarakat pada umumnya rumahnya berbentuk gubuk. Hanya orang terhormat atau raja yang tinggal di Si Waluh Jabu tersebut.
"Rumah itu hanya orang tertentu yang punya Yang harus kita ingat, biasanya yang kita kenal hari ini sebagai sebutan rumah adat adalah katakan lah dia raja, kalau pun dia bukan raja dia adalah orang-orang terhormat pada zamannya. Karena hanya orang-orang terhormat pada zamannya yang mampu membangun rumah besar, megah, tahan lama sehingga itu yang relatif bisa bertahan sampai saat ini," kata Erond.
Lebih lanjut dia menjelaskan ketika Si Waluh Jabu penuh atau sudah diisi delapan rumah tangga, sedangkan jumlah keluarga lebih dari delapan. Apabila keluarganya mampu, maka akan dibangun Si Waluh Jabu yang lain.
"Kalau memang dia keluarga berada seperti di Dokan (salah satu lokasi Si Waluh Jabu saat ini) itu, nah dalam satu rumah itu kan memang 8, nanti kalau sudah full 8 nanti akan dibangunkan rumah yang lain yang sejenis yang sesuai dengan strata sosial daripada pemilik rumah yang semula, di dalam itu ada 8 kamar," jelasnya.
"Bangunan khusus itu adalah Gerite, tempat menyimpan tulang belulang leluhur dari pada orang Karo, letaknya itu di samping, belakang atau depan dari Si Waluh Jabu. Itu adalah tulang belulang leluhurnya, setelah beberapa tahun dikuburkan kemudian dibongkar kembali dan di tempat Geriten tadi," ucap Erond.
Saat ini, Si Waluh Jabu yang masih ditempati oleh orangnya ada di tiga lokasi. Semuanya adalah rumah asli yang sudah ada sejak 100 sampai 150 tahun yang lalu.
"Hanya ada 3 lokasi saat ini dimana rumah adat Si Waluh Jabu itu ditempati oleh orangnya, rumah ini masih asli dari 100 sampai 150 tahun yang silam," sebutnya.
Si Waluh Jabu saat ini tersebar di tiga lokasi di Kabupaten Karo. Yakni, di Dokan ada 4, di Peceran ada 2 dan di Lingga ada 2 yang besar. Yang di Lingga kata Erond, pada tahun 2012 direvitalisasi oleh Beranda Warisan Sumatera dibantu oleh konsulat Amerika Serikat.
"Di Lingga itu ada 2 yang besar yang kedua-duanya itu sudah direvitalisasi oleh Beranda Warisan Sumatera dibantu oleh konsul Amerika," tutupnya.
Simak Video "Video: Longsor Terjang Karo Sumut, 10 Orang Dilaporkan Hilang"
[Gambas:Video 20detik]
(afb/afb)