Menguak Tabir Penolakan Etanol: Bisnis ataukah Kedaulatan Energi?

Menguak Tabir Penolakan Etanol: Bisnis ataukah Kedaulatan Energi?

Kartika Sari - detikSumut
Selasa, 14 Okt 2025 15:29 WIB
Presiden DEM Sumatera Utara Fahrozi (kanan). (dok. Pertamina)
Foto: Presiden DEM Sumatera Utara Fahrozi (kanan). (dok. Pertamina)
Medan -

Indonesia menghadapi paradoks energi yang kian dalam di tahun 2025. Di satu sisi, target Net Zero Emission (NZE) 2060 semakin dekat dan tekanan untuk mengurangi impor BBM fosil semakin mendesak.

Di sisi lain, upaya strategis pemerintah untuk mewujudkannya justru mendapat penolakan oleh para pelaku usaha di hilir. Polemik penolakan sejumlah SPBU swasta, seperti Vivo Energy dan BP-AKR, terhadap kewajiban membeli BBM dengan campuran bioetanol 3.5% (E3.5) dari Pertamina menyisakan tanya yang mendalam.

Lantas, mengapa aturan yang sudah lama ada baru sekarang menuai penolakan keras?

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Presiden DEM Sumatera Utara Fahrozi menegaskan bahwa landasan hukum untuk penerapan BBM beretanol sesungguhnya bukanlah hal baru.

"Jejak regulasinya telah jelas, mulai dari Permen ESDM Nomor 32 Tahun 2008, diperkuat pada Permen ESDM Nomor 12 Tahun 2015, hingga Keputusan Dirjen Migas. Secara hukum, kebijakan ini telah matang melalui proses pertimbangan panjang, bukan sebuah keputusan yang terburu-buru," ungkap Fahrozi, Selasa (14/10/2025).

ADVERTISEMENT

Lalu, mengapa baru di tahun 2025 ini penolakan mengemuka dengan begitu kuat? Pertamina, dalam konteks produk retailnya (Pertamax Green 95 E5), mengklaim produknya telah teruji ketat sesuai spesifikasi tinggi (WWFC dan LEMIGAS).

Namun, operator swasta yang menolak base fuel Pertamina (mengandung 3.5% etanol) berpendapat bahwa kandungan etanol, meskipun rendah, berpotensi merusak komponen mesin dan menurunkan kualitas BBM secara keseluruhan.

Tuntutan operator swasta secara implisit adalah mendapatkan base fuel yang murni (0% etanol) untuk meminimalkan risiko operasional, atau setidaknya base fuel yang secara eksplisit bebas dari aditif yang dapat mengganggu formulasi aditif internal mereka.

Ia menilai keberhasilan program Biodiesel B35, yang kini bahkan telah berkembang ke B40, membuktikan bahwa tantangan infrastruktur dan teknis dapat diatasi dengan komitmen dan kolaborasi.

Program biodiesel dinilai telah menyelamatkan devisa negara dan mengurangi emisi karbon secara signifikan. Bioetanol berpotensi memberikan dampak serupa pada impor bensin.

"Di tengah ketatnya persaingan geopolitik dan volatilitas harga minyak dunia, ketergantungan impor energi adalah lubang keamanan nasional yang sangat berbahaya. Setiap penundaan dalam diversifikasi energi adalah pengorbanan kedaulatan bangsa di masa depan," lanjutnya.

Di lain sisi, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq menyebut pencampuran etanol 10 persen dapat menurunkan kadar sulfur tinggi dalam BBM yang berkontribusi pada polusi udara.

Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menambahkan bahwa Presiden Prabowo Subianto telah menyetujui mandatori E10 sebagai strategi pengurangan impor dan emisi karbon.

Sementara itu, Guru Besar ITB Prof. Tri Yuswidjajanto memastikan kendaraan modern sudah kompatibel dengan campuran E10 hingga E20, dan dampaknya terhadap performa mesin sangat kecil.

"Mari kita tempatkan persoalan ini dalam perspektif yang benar. Pertamina hadir bukan sebagai pesaing yang mematikan, melainkan sebagai tulang punggung dan aset kebangsaan yang menjalankan mandat negara untuk menjaga ketahanan energi nasional," kata Fahrozi

"Seluruh keuntungan yang diperoleh Pertamina akan kembali kepada negara untuk membiayai pembangunan, termasuk subsidi energi untuk masyarakat. Berbeda dengan perusahaan swasta yang orientasi utamanya adalah keuntungan pemegang saham," sambungnya.

Pertamina berkomitmen dan terus menjadi tulang punggung energi nasional. Melalui program-program seperti BBM Satu Harga, B35, dan upaya pengembangan bioetanol, Pertamina tidak hanya menjaga stabilitas energi hari ini, tetapi juga membangun fondasi untuk kedaulatan dan keberlanjutan energi masa depan.

"Mari kita jadikan Pertamina sebagai kebanggaan nasional. Menjaga Pertamina berarti menjaga kendali kita atas sumber daya energi sendiri. Dengan kesadaran kolektif, dukungan pada BBM beretanol bukan lagi sekadar kewajiban, tetapi menjadi gerakan moral bangsa Indonesia untuk berdaulat penuh di bidang energi, demi Indonesia yang lebih mandiri, hijau, dan bermartabat," tutup Menteri PSDM DEM Sumut Ulfa.

Halaman 3 dari 2


Simak Video "Video Bahlil Ungkap RI Bakal Bikin Pabrik Etanol, Salah Satunya di Merauke"
[Gambas:Video 20detik]
(mjy/mjy)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads