Petani karet di Sumut kian terpuruk dengan kondisi harga yang terus anjlok. Banyak di antara mereka bahkan kini beralih tanaman.
Petani karet asal Desa Kuta Jurung Deli Serdang, Sungkunen Tarigan, mengaku saat ini banyak petani karet yang menjadi petani sawit. Hal ini lantaran harga sawit yang kini lebih menjanjikan.
"Dulu desa kami ini semuanya dikelilingi karet, tanaman inilah yang menghidupi kami. Tapi sekarang udah banyak yang berganti ke sawit karena perbandingan harganya yang jauh," ungkap ungkap Sungkunen kepada detikSumut, Kamis (27/7/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sungkunen tak menampik bahwa kini dirinya terus merugi lantaran harga karet yang terus anjlok dalam kurun waktu 10 tahun belakangan.
"Terus merugi kita, sekarang harga karet yang kita dapat itu Rp 6.000 sampai Rp 6.500. Sudah menderita kita selama 10 tahun gara-gara harga ini, kalau dulu itu bisa kita dapat harga Rp 14 ribu atau sekilo beras lah," ungkap Sungkunen.
Di samping harga karet anjlok, harga pupuk yang mahal juga membuat para petani karet semakin 'tercekik'. Sungkunen bahkan menyebut pohon karet miliknya terpaksa tak dapat dipupuk.
"Kalau sekarang pupuk subsidi susah sekali didapat. Kalau yang non-subsidi harganya sudah Rp 450 ribuan, udah tidak bisa terbeli kita lagi, sedangkan pupuk subsidi hanya Rp 150 ribuan. Kalau sekarang sudah tidak kita pupuk lagi lah, tentu berpengaruh sama kualitas karet, tapi sudah tidak mampu lagi kita beli pupuk sedangkan harga karet seperti ini," kata Sungkunen.
Sungkunen bercerita bahwa dulunya ia memiliki tujuh hektar lahan sawit. Tak melihat titik cerah harga karet saat ini, ia pun mulai menebangi pohon karet yang sudah tak produktif yang kini tersisa empat hektar.
"Dulu ada tujuh hektar, sekarang itu ada empat hektar tapi cuma yang terpakai itu hanya satu hektar, itu pun saya yang menderes sendiri. Sisa lahan itu ditebangi karena sudah tua dan tidak ada lagi orang mau karena harganya itu," ujar Sungkunen.
"Kalau dulu itu seorang bisa satu hektar yang menderes dalam sehari. Pakai pola panen, misalnya sehari menderes, dua hari libur. Tapi ini cuma saya aja," sambungnya.
Sungkunen mengakui bahwa minimnya penderes karet membuat produktivitas karet ikut turun. Dalam sepekan, ia hanya mampu menghasilkan 70 kilogram yang bisa ia dapatkan dengan harga Rp 6000an di tingkat petani.
"Sepekan itu 70 kg untuk satu hektar yang saya kerjakan sendiri, kalau dulu mau sampai 100 kg," tuturnya.
Bergantung dengan hasil pendapatan karet saat ini tentu tak akan dapat mencukupi kebutuhan sehari-hari. Ia pun terpaksa harus mencari pekerjaan sampingan.
"Haruslah kita buat itu (pekerjaan sampingan). Dari padi dan Porang kita bisa juga kerja disitu (lahan yang tersisa)," kata Sungkunen.
Ia memilih untuk tidak ikut-ikutan menanam sawit lantaran menurutnya sawit tidak ramah lingkungan. Untuk itu, ia lebih memilih tanaman lainnya.
Terkait hal ini, Sungkunen berharap agar pemerintah dapat segera memberikan solusi terkait harga karet saat ini.
"Kita enggak mau minta apa-apa kecuali harga karet naik lah. Kalau harga bagus, tidak ada subsidi bibit pun tetap akan dibeli mereka," pungkasnya.
(afb/afb)