Bank Indonesia Kpw Sumut mencatat inflasi di Sumatera Utara perlu mendapat perhatian dari pemerintah daerah. Hal ini dilakukan dalam upaya menekan angka inflasi yang terus merangkak naik.
Kepala BI Kpw Sumut Doddy Zulverdi mengungkapkan bahwa makanan dan transportasi menjadi faktor utama dalam pendorong inflasi sebesar 5,62 persen pada Juli 2022 secara YoY.
"Ada lima provinsi inflasi tertinggi di Indonesia dan semuanya itu ada di Sumatera. Riau, Babel, Sumbar, dan Jambi. Alhamdulillah Sumut tidak disoroti oleh Pak Presiden karena kita berada di angka 5,62 persen. Tapi bukan berarti Sumut tidak ada masalah terhadap inflasi. Karena sudah di atas target yaitu 3%+- 1%," ungkap Doddy dalam Rapat Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) di Aula Tengku Rizal Nurdin, Kamis (25/8/2022).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dikatakan Doddy, kelompok makanan, minuman, dan tembakau dan juga transportasi menjadi pendorong paling kuat dalam lajunya inflasi di Sumut. "Kalau untuk makanan itu cabai merah dan bawang merah harus jadi perhatian kita secara fokus," ujarnya.
Adapun dalam bulan Agustus dan September ini, Doddy mengatakan akan ada momen penekanan inflasi untuk bahan pokok, lantaran saat itu masuk dalam masa panen raya di beberapa daerah di Sumut.
"Dalam dua bulan ini mungkin kita bisa bernafas sedikit karena ada kemungkinan deflasi karena masa panen. Tapi tiga bulan terakhir nanti akan nataru , masa panen sudah berakhir, perubahan peningkatan akhir tahun biasanya membuat inflasi melonjak," kata Doddy.
Terkait hal ini, di hadapan Gubsu Edy Rahmayadi, Doddy mengatakan jika ada beberapa poin yang harus diperhatikan dalam menekan angka inflasi mulai dari produksi, distribusi, hingga tahap konsumsi.
"Makanya yang perlu kita pastikan supaya inflasi perkiraannya naik bisa kita turunkan, sisi produksi betul-betul harus kita jaga, masalah pasokan, penggunaan pupuk organik ya karena pupuk kita mendapat impor dengan harga yang tinggi. Distribusi berkaitan transportasi. Konsumsi ini juga perlu dioptimalkan," jelas Doddy.
Doddy mengakui bahwa tingginya harga pupuk ini meningkat tajam yang mengganggu efektivitas biaya produksi. Tak hanya itu, ternyata sistem pola tanam yang masih sederhana mampu mempengaruhi produktivitas komoditi.
"Dari sisi produksi, harga pupuk menjadi salah satu faktor utama kenapa kebutuhan produksi itu jadi mahal, karena memang pupuk subsidi naik luar biasa sampai 235 persen. Kemudian kurangnya manajemen pola tanam yang baik. Ini memang masa tanam itu tidak didasarkan oleh suatu pola yang disesuaikan dengan perkembangan cuaca terkini," ujarnya.
Sementara itu, dari sisi konsumsi, Doddy mengakui bahwa masyarakat cenderung memiliki kebiasaan untuk mengonsumsi cabai segar.
"Konsumsi juga perlu karena untuk produk seperti cabai terutama, hanya mau yang segar-segar. Padahal cabe segar tidak selalu ada. Ini perlu yang kita dorong pola konsumsi yang bisa dibuat lebih efektif," ucap Doddy.
(astj/astj)