Direktur Pusham USU Sebut Komnas HAM Salah Kaprah Soal Kasus Munir

Direktur Pusham USU Sebut Komnas HAM Salah Kaprah Soal Kasus Munir

Rechtin Hani Ritonga - detikSumut
Selasa, 25 Nov 2025 12:46 WIB
Aksi sejumlah aktivis HAM yang tergabung dalam Komite Aksi Solidaritas Until Munir (Kasum) di Rumah Transisi, Menteng, Jakarta, Senin (8/9/2014).  Para aktivis HAM ini menyambangi rumah transisi untuk mendesak Tim Transisi Jokowi JK ketika sudah memerintah memprioritaskan penuntasan kasus Munir.
Ilustrasi Munir (Foto: Agung Pambudhy)
Medan -

Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Sumatra Utara (Pusham USU) Alwi Dahlan Ritonga menyebut Komnas HAM RI salah kaprah terkait pembukaan kembali kasus aktivis HAM Munir Said Thalib. Dikatakan Alwi, ada tiga salah kaprah yang dilakukan Komnas HAM RI terkait kasus Munir.

"Pertama, menyalahi prinsip Ne Bis In Idem. Yakni asas hukum yang melarang seseorang untuk dituntut atau diadili lebih dari satu kali untuk perkara yang sama, di mana perkara tersebut sudah pernah diputus oleh hakim dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap," ujar Alwi dalam keterangan tertulis yang diterima detikSumut, Selasa (25/11).

Asas ini, kata Alwi, bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi hak asasi manusia, seperti yang tercantum dalam Pasal 76 KUHP untuk hukum pidana.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tujuannya untuk menjamin kepastian hukum, menghindari ketidakpastian dan kebingungan akibat adanya putusan ganda untuk kasus yang sama. Melindungi hak terdakwa, melindungi seseorang dari risiko penuntutan berulang-ulang untuk perbuatan yang sama, sehingga memberikan ketenangan dan keadilan.

Juga dalam rangka menjaga kehormatan peradilan, mencegah penyalahgunaan proses peradilan dan menjaga agar putusan pengadilan memiliki kekuatan final.

ADVERTISEMENT

"Asas ini dijamin oleh Pasal 76 KUHP yang melarang penuntutan ulang terhadap terdakwa yang telah diadili dan diputus oleh hakim dalam perkara yang sama," katanya.

Alwi menjelaskan, prinsip Ne Bis In Idem, atau tidak dapat diadili dua kali untuk perkara yang sama dalam konteks hak sipil dan politik diimplementasikan melalui perjanjian internasional seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) pasal 14 ayat (7) dan diakui dalam sistem hukum nasional.

Prinsip ini melarang seseorang diadili atau dihukum dua kali untuk pelanggaran yang sama setelah ada putusan akhir yang berkekuatan hukum tetap. "Tujuannya adalah untuk menjamin kepastian hukum dan melindungi hak asasi manusia dari penuntutan ganda," tambahnya.

Salah kaprah yang kedua, kata Alwi, tak terpenuhinya elemen kejahatan HAM berat, khususnya Kejahatan Kemanusiaan (Crime against Humanity) terkait sistematis, meluas dan elemen-elemen lain.

"Sebagaimana elemen kejahatan HAM berat di dalam UU No 26 tahun 2000 mau pun merujuk kepada Statuta Roma, maka suatu kejahatan hak asasi manusia dapat dikategorikan HAM berat harus mengandung unsur atau elemen kebijakan negara yang kemudian ditindaklanjuti dengan suatu operasi serangan sistematis dan meluas," katanya.

Di dalam Statuta Roma, kata dia, didefinisikan secara jelas bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan sebagai serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil.

"Serangan ini mencakup berbagai tindakan keji seperti pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran paksa, penyiksaan, perampasan kemerdekaan, dan kejahatan seksual. Kejahatan ini dianggap sebagai yang paling serius di mata hukum internasional, bersama dengan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan agresi," katanya.

Ia mencontohkan, di Aceh untuk kasus Rumah Geudong yang telah diselidiki Komnas HAM. Dimulai dari kebijakan pemerintah pusat mengenai Status Darurat Militer di Aceh, dilanjutkan tindakan Operasi Militer atau sejenisnya.

Kemudian mengirimkan puluhan ribu pasukan tambahan (BKO) dari luar Aceh ke Aceh, membangun pos-pos pengamanan yang kemudian digunakan sebagai tempat operasi intelijen/keamanan, penangkapan dan penahanan, penyiksaan, perkosaan, pembunuhan dan perusakan fasilitas pemukiman.

Pola kejahatan dapat dosimpulkan karena dilakukan berulangkali di berbagai tempat/wilayah dan menimbulkan korban massal.

"Sementara untuk kasus pembunuhan Munir, cukup sulit mencarikan elemen-elemen sebagaimana dikatakan oleh UU 26/2000 maupun Statuta Roma. Karena itu, meskipun telah dibentuk Tim Ad Hoc Penyelidikan HAM berat atas peristiwa pembunuhan Munir, semestinya Komnas HAM harus dengan cermat melakukan penyelidikan dan membuat simpulan atas peristiwa ini," ungkapnya.

Ia menyebut, ahli-ahli kompeten telah pernah dimintai pendapatnya oleh Komnas HAM periode lalu dan para ahli tersebut menekankan prinsip kehati-hatian di dalam menjalankan tugas penyelidikan dan membuat kesimpulan.

Yang ketiga, kata Alwi, berbagai berita di media massa tanggal 8 September 2025 yang menyebutkan Ketua Komnas HAM Anis Hidayah akan mundur jika tidak menyelesaikan kasus Munir, mengindikasikan kegamangan di dalam menjalankan tugasnya.

"Sehingga sangat dikhawatirkan akan membuat simpulan penyelidikan yang tidak akurat/valid dan tentu saja akan menimbulkan dilema hukum yang serius di kemudian hari," tutup Alwi.

Halaman 2 dari 2


Simak Video "Video: Komnas HAM Sebut Perubahan Kurikulum Buat Siswa-Guru Sulit Adaptasi"
[Gambas:Video 20detik]
(afb/afb)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads