Jika detikers pernah berkunjung ke lingkungan pesantren di Jawa atau mengikuti dinamika politik dan keagamaan di Indonesia, pasti tidak asing dengan sapaan 'Gus'. Panggilan ini sering dilekatkan pada tokoh-tokoh muda yang memiliki pengaruh besar, namun secara spesifik, 'Gus' adalah gelar kehormatan yang identik dengan anak, cucu, atau keturunan langsung dari seorang Kiai besar atau pendiri pesantren.
Lantas apa sebenarnya arti dan asal-usul dari sapaan yang singkat namun penuh makna ini? Mari kita telusuri bersama sejarah panggilan 'Gus' yang berakar kuat dalam tradisi pesantren, memahami bagaimana gelar ini muncul, dan mengapa ia menjadi penanda status sosial dan keagamaan bagi anak cucu kiai di Nusantara.
Asal Usul Panggilan 'Gus'
Dikutip detikHikmah dari studi Makna Sapaan di Pesantren: Kajian Linguistik-Antropologis oleh Mullatuz Zakiyah yang terbit di Jurnal Leksema Vol 3 No 1 edisi Januari-Juni 2018, panggilan 'Gus' ditujukan untuk putra atau menantu laki-laki kiai. 'Gus' berasal dari kata 'Bagus'.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam istilah Jawa, kata 'Bagus' diartikan sebagai sebutan bagi anak laki-laki yang punya kedudukan tinggi. Panggilan ini sering digunakan untuk menyebut anak bangsawan yakni 'Raden Bagus'.
Anak laki-laki dengan sebutan 'Gus' diharapkan menjadi penerus kiai. Hal inilah yang membuatnya mendapat perlakuan khusus, salah satunya lewat sapaan 'Gus'. Selain 'Gus', anak laki-laki kiai kadang dipanggil 'Mas', yang berasal dari kata 'Kangmas'.
"Penggunaan sapaan tertentu yang bertujuan untuk penghormatan dalam pesantren merupakan salah satu bentuk adanya stratifikasi sosial di pesantren," jelas Mullatuz Zakiyah dalam studi linguistiknya.
Panggilan 'Gus' untuk anak kiai populer di pesantren-pesantren Jawa Timur atau lingkungan Nahdlatul Ulama (NU). Panggilan ini masuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) yang artinya julukan atau panggilan untuk laki-laki atau panggilan untuk ulama, kiai, atau orang yang dihormati.
Orang dengan Panggilan 'Gus' Bernasab dan Bersanad
Mudir Ma'had Aly Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang Kiai Ahmad Roziqi mengatakan orang dengan gelar 'Gus' seharusnya memiliki garis keturunan dari tokoh agama Islam (bernasab) dan memiliki kapasitas keilmuan Islam yang mumpuni (bersanad).
"Malah kalau standar Gus Baha (KH Ahmad Bahauddin Nursalim) lebih ekstrem lagi. Nama Gus tidak hanya bernasab, tapi juga ada syarat standar keilmuan," jelasnya menanggapi penggunaan kata 'Gus' untuk salah satu pria Blitar pada 4 Agustus 2022 lalu, dilansir NU Online.
Namun, panggilan 'Gus', kata Kiai Roziqi, terkadang hanya bermakna kakak dan terkadang anak kiai tidak dipanggil demikian. Sehingga, ia minta bersikap biasa saja meski seseorang dipanggil dengan 'Gus'.
"Tetap ilmu dan kesalehanlah yang menjadi tolok ukur kehormatan seseorang. Jangan terkecoh," tandasnya.
(astj/astj)











































