Kasus keracunan massal menimpa ratusan siswa sekolah di Kabupaten Agam, Sumatera Barat, setelah menyantap menu Makanan Bergizi Gratis (MBG). Insiden ini memicu keprihatinan luas dan menimbulkan pertanyaan mengenai keamanan dan pengelolaan program tersebut.
Menanggapi hal ini, seorang pakar dari Fakultas Kedokteran Universitas Andalas (UNAND), dr. Mohamad Reza, PhD., memberikan penjelasan mengenai kemungkinan penyebab di balik terjadinya keracunan makanan dalam skala besar.
Dr. Mohamad Reza, PhD., seorang dosen dan pakar dari departemen Parasitologi Fakultas Kedokteran UNAND, menjelaskan bahwa keracunan makanan secara umum dapat disebabkan oleh berbagai faktor, mulai dari bakteri, virus, jamur, hingga zat kimia berbahaya. Namun, menurutnya, penyebab paling umum adalah kontaminasi bakteri.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penyebab pertama bisa berasal dari tahap paling awal, yaitu pemilihan bahan. Bahan yang sudah terkontaminasi kuman akan membuat makanan tidak layak diolah, sekalipun sudah dimasak.
"Bahan-bahannya mungkin sudah tidak segar lagi sehingga sudah diinvestasi oleh bakteri-bakteri tertentu," jelas dr. Reza, Kamis (2/10/2025).
Saat menyiapkan makanan dalam volume yang sangat besar, pihak pengelola rentan melakukan kelalaian. Kurangnya quality control (kontrol kualitas) yang ketat bisa menjadi celah masuknya kontaminan.
"Makanan saat penyiapan mungkin bisa dihinggapi oleh serangga seperti lalat atau yang lainnya, sehingga bisa mengkontaminasi makanan dengan bakteri-bakteri yang dibawa oleh serangga tersebut," paparnya.
Faktor yang sering terabaikan adalah air yang digunakan untuk mengolah makanan. "Air tersebut mungkin terkontaminasi oleh bakteri, tidak higienis atau tidak bersih, sumber airnya mungkin tercemar. Nah, itu bisa juga menimbulkan keracunan makanan," tambah dr. Reza.
Dr. Reza membagikan pengalamannya selama menempuh pendidikan di Jichi Medical University, Jepang. Menurutnya, program serupa MBG sudah lama berjalan di sana dengan tingkat keamanan yang tinggi. Kuncinya terletak pada sistem pengelolaan dan kontrol kualitas.
"Proses persiapan mereka tidak seperti di sini, di mana quality control di sana lebih terjaga karena pengelola untuk menyiapkan MBG ini tidak perlu menyiapkan untuk volume yang terlalu besar. Misalnya, satu pengelola hanya dituntut untuk satu sekolah atau maksimum mungkin dua sekolah saja," ungkapnya.
Dengan volume yang lebih terkendali, pengawasan terhadap kebersihan bahan, proses memasak, hingga distribusi menjadi jauh lebih mudah.
Baca juga: Pemkab Agam Tetapkan Keracunan MBG Jadi KLB |
Kasus di Agam menjadi pengingat penting agar program MBG dievaluasi secara menyeluruh, terutama pada aspek pengelolaannya. Evaluasi ini penting untuk memastikan program tersebut tidak membahayakan kesehatan para siswa.
"Semoga ke depannya MBG ini bisa lebih dievaluasi lagi cara pengelolaannya sehingga menghindari terjadinya keracunan dan hal-hal yang mungkin tidak kita inginkan," tutup dr. Reza.
Sebelumnya telah diberitakan, pada Rabu (1/10/2025), puluhan siswa dilarikan ke fasilitas kesehatan setelah mengalami gejala muntah-muntah usai mengonsumsi nasi goreng yang menjadi menu MBG hari itu. Jumlah korban terus bertambah, hingga Kamis (2/10/2025) tercatat mencapai 113 orang yang dirawat di Puskesmas Manggopoh dan RSUD Lubuk Basung.
"Sesuai dengan kesepakatan rapat tadi malam, Pak Bupati sudah menetapkan kasus ini sebagai KLB," jelas Sekda Agam, Muhammad Luthfi, pada Kamis (2/10/2025). Pihaknya kini tengah melakukan pelacakan ke sekolah-sekolah lain yang menerima pasokan makanan dari sumber yang sama.
(afb/afb)