Mahar atau mas kawin merupakan salah satu syarat sah dalam pernikahan menurut ajaran Islam. Di Aceh, mahar memiliki keunikan tersendiri yang membedakannya dari daerah lain di Indonesia. Selain sebagai simbol keseriusan dan tanggung jawab seorang suami, mahar di Aceh juga mencerminkan nilai budaya dan adat istiadat yang telah diwariskan secara turun-temurun. Berikut beberapa fakta unik tentang mahar dalam pernikahan masyarakat Aceh.
1. Bentuk Mahar yang Beragam
Mahar di Aceh tidak selalu berupa uang atau emas seperti di banyak daerah lain. Beberapa jenis mahar yang umum diberikan antara lain:
- Uang tunai dengan nominal yang telah disepakati oleh kedua belah pihak.
- Perhiasan emas seperti gelang, kalung, atau cincin.
- Peralatan ibadah seperti Al-Qur'an, sajadah, atau mukena.
- Barang adat yang memiliki nilai budaya tinggi, seperti kain songket khas Aceh.
- Barang atau benda unik yang memiliki makna khusus, tergantung pada permintaan mempelai wanita.
2. Mahar dalam Bentuk Emas dengan Satuan Mayam
Di Aceh, emas sering digunakan sebagai mahar dengan satuan khusus yang dikenal sebagai mayam. Satuan ini memiliki berat standar 3,33 gram, sebagaimana dikutip dalam laman Sekretariat Majelis Adat Aceh. Standar ini terutama berlaku di Banda Aceh, ibu kota Provinsi Aceh.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Namun, ukuran mayam tidak seragam di seluruh wilayah Aceh. Di beberapa daerah, perbedaan adat istiadat dan pemikiran masyarakat menyebabkan variasi dalam standar beratnya. Misalnya, di Aceh Utara dan Bireuen, 1 mayam setara dengan 3 gram, sedangkan di kalangan etnis Aneuk Jamee, ukurannya berkisar antara 2,8 hingga 3 gram. Jumlah mayam yang dijadikan mahar biasanya menyesuaikan status sosial, latar belakang keluarga, serta kesepakatan kedua belah pihak. Semakin besar jumlah mayam, semakin tinggi nilai mahar yang diberikan oleh mempelai pria.
3. Mahar Berdasarkan Kesepakatan dan Nilai Kultural
Tidak ada standar baku dalam menentukan jumlah mahar di Aceh, tetapi biasanya masyarakat mempertimbangkan berbagai faktor seperti kemampuan ekonomi calon pengantin pria dan adat istiadat yang berlaku dalam keluarga. Di beberapa daerah, keluarga mempelai wanita mungkin meminta mahar yang lebih besar sebagai simbol kehormatan keluarga, tetapi dalam banyak kasus, mahar tetap didasarkan pada prinsip kesejahteraan bersama dan tidak memberatkan pihak pria.
4. Tradisi Mahar Berupa Hafalan Al-Qur'an
Selain dalam bentuk materi, ada juga pasangan di Aceh yang menggunakan hafalan Al-Qur'an sebagai mahar. Mempelai pria yang memiliki kemampuan menghafal Al-Qur'an bisa menjadikan hafalannya sebagai syarat pernikahan. Hal ini mencerminkan nilai religius yang kuat dalam masyarakat Aceh, di mana Islam sangat melekat dalam kehidupan sehari-hari.
5. Mahar Tidak Bisa Diminta Kembali
Dalam adat Aceh, mahar yang telah diberikan tidak bisa diminta kembali meskipun terjadi perceraian. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam Islam bahwa mahar adalah pemberian yang sah dan menjadi hak mutlak mempelai wanita. Oleh karena itu, proses pemberian mahar biasanya dilakukan dengan penuh pertimbangan dan kesepakatan yang matang.
6. Makna dan Keunikan Mahar di Aceh
Mahar dalam pernikahan di Aceh memiliki makna mendalam yang lebih dari sekadar pemberian materi. Tradisi ini mencerminkan beberapa nilai penting, di antaranya:
- Keseriusan dan Kesungguhan: Mahar menjadi bukti keseriusan seorang pria dalam membangun rumah tangga.
- Simbol Kehormatan: Dalam adat Aceh, semakin tinggi nilai mahar, semakin menunjukkan penghargaan kepada mempelai wanita dan keluarganya.
- Nilai Religius: Mahar yang berupa hafalan Al-Qur'an atau perlengkapan ibadah menekankan pentingnya nilai-nilai keislaman dalam pernikahan.
- Keunikan Budaya: Penggunaan mayam sebagai satuan emas dan variasi bentuk mahar menunjukkan kearifan lokal yang tetap terjaga hingga kini.
Tradisi mahar di Aceh bukan sekadar formalitas dalam pernikahan, tetapi juga memiliki makna mendalam yang mencerminkan nilai budaya, sosial, dan religius. Dengan keberagaman bentuk mahar, penggunaan emas dalam satuan mayam, hingga tradisi unik seperti mahar hafalan Al-Qur'an, pernikahan di Aceh menjadi sebuah prosesi yang sarat makna. Meski nilai mahar bisa bervariasi, prinsip utama dalam tradisi ini tetaplah keseimbangan antara adat dan syariat, serta kesepakatan yang tidak membebani salah satu pihak.
Artikel ditulis oleh Muhammad Raffi, Mahasiswa Magang Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara di detikcom.
(nkm/nkm)