Setiap tanggal 1 Januari, pergantian tahun baru Masehi dirayakan dengan meriah di berbagai penjuru dunia. Tradisi ini sering ditunggu-tunggu karena menjadi momen untuk berkumpul bersama keluarga, menyaksikan kembang api, hingga mengadakan acara spesial.
Namun, bagaimana sebenarnya hukum merayakan tahun baru Masehi menurut pandangan Islam?
Tradisi Tahun Baru Masehi
Berdasarkan buku Hari-hari Penting Internasional karya Nina Rahmawati, tahun baru Masehi dirayakan pada 1 Januari setiap tahun. Perayaan ini biasanya diisi dengan acara hiburan, pesta, hingga pertunjukan seni.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Meskipun begitu, banyak umat Islam yang bertanya-tanya mengenai hukum merayakan tahun baru Masehi dalam Islam.
Pendapat Ulama: Bolehkah Merayakan Tahun Baru Masehi?
1. Pendapat yang Mengharamkan
Sebagian ulama menganggap bahwa merayakan tahun baru Masehi adalah haram. Hal ini karena perayaan tersebut dianggap sebagai bagian dari tasyabbuh atau menyerupai tradisi orang non-Muslim.
Dalam buku Tanya Jawab Islam: Piss KTB karya PISS KTB dan TIM Dakwah Pesantren, disebutkan bahwa mengikuti perayaan tahun baru selain Islam dilarang karena mencerminkan perilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Lebih lanjut, dalam buku Dewan Fatwa Al Washliyah: Sejarah dan Fatwa-fatwa karya Ja'far, disebutkan bahwa tidak hanya partisipasi, tetapi juga memfasilitasi atau menjual sesuatu yang mendukung perayaan tersebut adalah haram. Pendapat ini menegaskan bahwa perayaan tahun baru sering kali diisi dengan kegiatan yang tidak mencerminkan nilai-nilai Islam, seperti pesta pora dan hura-hura.
Sebagai tambahan, hadits Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik menyebutkan:
"Orang-orang jahiliyah dahulu memiliki dua hari raya yaitu hari Nairuz dan Mihrojan. Namun, ketika Nabi SAW tiba di Madinah, beliau bersabda: 'Allah telah menggantikan untuk kalian dua hari yang lebih baik, yakni Idul Fitri dan Idul Adha.'"
Hadits ini sering dijadikan rujukan untuk menegaskan bahwa umat Islam sebaiknya hanya merayakan hari raya yang ditetapkan oleh syariat.
2. Pendapat yang Memperbolehkan
Sebagian ulama lainnya memperbolehkan merayakan tahun baru Masehi asalkan tidak melibatkan perbuatan maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam. Dalam pandangan Majelis Ulama Indonesia (MUI), menyambut tahun baru Masehi dapat dilakukan seperti menyambut hari-hari biasa, tanpa mengkhususkan kegiatan tertentu yang melanggar norma agama.
Pendapat ini didasarkan pada penanggalan Masehi yang bersifat Syamsiah (berdasarkan peredaran matahari), berbeda dengan Hijriah yang berdasarkan peredaran bulan (Qamariyah). Allah SWT berfirman dalam Surat Yasin ayat 38-39:
"(Suatu tanda juga atas kekuasaan Allah bagi mereka adalah) matahari yang berjalan di tempat peredarannya. Demikianlah ketetapan (Allah) Yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. (Begitu juga) bulan, Kami tetapkan bagi(-nya) tempat-tempat peredaran sehingga (setelah ia sampai ke tempat peredaran yang terakhir,) kembalilah ia seperti bentuk tandan yang tua."
Dalam tradisi Nahdlatul Ulama, perayaan atau kegiatan yang bersifat tradisional dianggap boleh selama tidak bertentangan dengan akidah Islam dan tidak mengandung unsur maksiat. Guru Besar Al-Azhar, Syekh Athiyyah Shaqr, juga menegaskan bahwa bersenang-senang sebagai bentuk syukur atas kehidupan adalah diperbolehkan, selama sesuai dengan tuntunan agama.
Di dalam kitabnya, Syekh Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki turut menyampaikan pandangan mengenai peringatan-peringatan yang dilakukan oleh seorang muslim. Disampaikan bahwa:
جَرَتْ عَادَاتُنَا أَنْ نَجْتَمِعَ لإِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ الْمُنَاسَبَاتِ التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ وَذِكْرَى الْإِسْرَاءِ وَالْمِعْرَاجِ وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ وَالْهِجْرَةِ النَّبَوِيَّةِ وَذِكْرَى نُزُوْلِ الْقُرْآنِ وَذِكْرَى غَزْوَةِ بَدْرٍ وَفِى اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا الْأَمْرَ عَادِيٌّ لَا صِلَةَ لَهُ بِالدِّيْنِ فَلَا يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْ سُنَّةٌ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا لِأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ لأَنَّ الْخَطَرَ هُوَ فِى اعْتِقَادِ مَشْرُوْعِيَّةِ شَيْءٍ لَيْسَ بِمَشْرُوْعٍ
Artinya: "Sudah menjadi tradisi bagi kita berkumpul untuk menghidupkan berbagai momentum bersejarah, seperti halnya maulid nabi, peringatan isra mi'raj, malam Nisfu Sya'ban, tahun baru Hijriyah, Nuzulul Quran dan peringatan Perang Badar. Menurut pandanganku, peringatan-peringatan seperti ini merupakan bagian daripada tradisi, yang tidak terdapat korelasinya dengan agama, sehingga tidak bisa dikategorikan sebagai sesuatu yang disyariatkan ataupun disunahkan. Kendati demikian, juga tidak berseberangan dengan dasar-dasar agama, sebab yang justru mengkhawatirkan ialah timbulnya keyakinan terhadap disyariatkannya sesuatu yang tidak disyariatkan."
Apa yang Sebaiknya Dilakukan Umat Islam?
Untuk umat Islam yang ingin menyambut pergantian tahun baru, ada beberapa amalan yang dapat dilakukan, seperti memperbanyak zikir, doa, dan syukur kepada Allah SWT. Sebagaimana firman Allah dalam Surat Al-Furqan ayat 62:
"Dia (pula) yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau ingin bersyukur."
Pendekatan ini memungkinkan umat Islam untuk tetap menjaga nilai-nilai agama sambil mengambil hikmah dari pergantian tahun.
Nah itulah penjelasan beberapa ulama tentang merayakan pergantian tahun. Semoga bermanfaat, ya!
(mjy/mjy)