Jelang pencoblosan pemilihan kepala daerah (Pilkada) Serentak 2024 yang akan digelar 27 November, ramai dibahas istilah "serangan fajar". Lantas, apa itu serangan fajar?
Dilansir detikHikmah, serangan fajar merupakan praktik politik uang yang kerap muncul pada tahun politik atau saat kampanye menjelang pemilihan umum atau pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Penjelasan soal Serangan Fajar
Menurut Pusat Edukasi Antikorupsi KPK dalam situsnya, serangan fajar adalah pemberian uang, barang, jasa, atau materi lainnya yang bisa dikonversi dengan nilai uang di tahun politik atau saat kampanye menjelang pemilu. Contoh materi lain yang bernilai uang antara lain sembako, voucher pulsa, dan bensin.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam buku Tunaikan Pilkada Serentak 2024 karya A. Junaedi Karso disebutkan, serangan fajar kadang dilakukan pada subuh sebelum pencoblosan atau beberapa hari sebelumnya. Praktik serangan fajar telah dilakukan sejak zaman Orde Baru.
Hukum Serangan Fajar Menurut Fatwa MUI
Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Bidang Fatwa KH Asrorun Niam Sholeh menegaskan bahwa praktik serangan fajar hukumnya haram. Hal itu berlaku baik bagi pelaku maupun penerimanya.
"Orang yang akan dipilih atau yang mencalonkan diri juga tidak boleh menghalalkan segala cara untuk dapat dipilih, seperti menyuap atau dikenal serangan fajar hukumnya haram," kata Kiai Niam di sela-sela Rapat Pimpinan Harian rutin MUI di Aula Buya Hamka, Jakarta pada 13 Februari 2024 lalu, dilansir detikHikmah dari MUI Digital.
Guru Besar Ilmu Fiqih Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta ini menyampaikan hukum pemberian imbalan atau serangan fajar telah ditetapkan melalui Fatwa MUI tentang Hukum Permintaan dan atau Pemberian Imbalan atas Proses Pencalonan Pejabat Publik. Fatwa tersebut ditetapkan dalam Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia di Banjarbaru, Kalimantan Selatan pada 2018.
Adapun dalil yang dijadikan landasan fatwa ini adalah surah Al Baqarah ayat 188, An Nisa' ayat 29, dan Ali 'Imran ayat 161 serta beberapa hadits dan atsar sahabat.
Berikut bunyi fatwanya:
C. Ketentuan Umum
1. Suatu permintaan dan/atau pemberian imbalan dalam bentuk apapun terhadap proses pencalonan seseorang sebagai pejabat publik, padahal diketahui hal itu memang menjadi tugas, tanggung jawab, kekuasaan dan kewenanganya hukumnya haram, karena masuk kategori risywah (suap) atau pembuka jalan risywah.
2. Meminta imbalan kepada seseorang yang akan diusung dan/atau dipilih sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
3. Memberi imbalan kepada seseorang yang akan mengusung sebagai calon anggota legislatif, anggota lembaga negara, kepala pemerintahan, kepala daerah, dan jabatan publik lain, padahal itu diketahui memang menjadi tugas dan tanggung jawab serta kewenangannya, maka hukumnya haram.
4. Imbalan yang diberikan dalam proses pencalonan dan/atau pemilihan suatu jabatan tertentu tersebut dirampas dan digunakan untuk kepentingan kemaslahatan umum.
Baca selengkapnya di sini
(mjy/mjy)