Mayor Jenderal Donald Isaac Panjaitan adalah pahlawan revolusi yang menjadi korban Gerakan 30 September di Jakarta pada tahun 1965. Ia merupakan salah satu pemuda yang ikut mendirikan BKR pada awal masa Republik Indonesia dan terlibat aktif dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Pada dini hari 1 Oktober 1965, tujuh perwira tinggi diculik dan dibunuh oleh PKI.
Tujuh perwira tinggi TNI Angkatan Darat yang menjadi korban G30S PKI meliputi Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jenderal Raden Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman, Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan, Brigadir Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, dan Letnan Satu Corps Zeni Pierre Andreas Tendean.
Biografi D.I Panjaitan
Dikutip dari Ensiklopedia Pahlawan Nasional yang diterbitkan Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud, Mayjen D.I. Panjaitan dilahirkan di Balige, Tapanuli, pada 19 Juni 1925. Pada usia enam tahun, ia mulai bersekolah di sekolah dasar milik zending, lalu melanjutkan ke HIS Narumonda dan Christelijke MULO di Tarutung.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada tahun 1937, ibunda D.I. Panjaitan, Dina Napitupulu, meninggal ketika ia masih di kelas 5 HIS. Beberapa tahun kemudian, ayahnya, Herman Panjaitan, juga meninggal dunia saat D.I. Panjaitan berada di kelas terakhir MULO. Pamannya, Raja Johannes, kemudian mengambil peran sebagai pengasuh dan pelindung bagi D.I. Panjaitan dan adik-adiknya. Di tahun yang sama, Jepang memasuki Indonesia, dan saat penjajahan Jepang, D.I. Panjaitan mulai terjun ke dunia militer.
Semua ini dimulai ketika Sekolah Opsir Gyugun di Pekanbaru membuka pendaftaran calon siswa. D.I. Panjaitan kemudian bergabung dengan Gyugun dan ditempatkan di Pekanbaru, Riau. Ia diterima di Sekolah Opsir Gyugun pada 14 Februari 1944. Tak lama setelah itu, Jepang mulai mengalami kekalahan dalam pertempuran dunia dan akhirnya menyerah tanpa syarat kepada sekutu pada 14 Agustus 1945. Sejak saat itu, unit-unit militer pribumi yang dibentuk oleh Jepang dibubarkan, dan Jepang meninggalkan Indonesia. Pada waktu itu, D.I. Panjaitan berpangkat Gyu Shoi, setara dengan Shodancho.
Ketika Jepang meninggalkan Indonesia dan Sukarno-Hatta memproklamirkan kemerdekaan, D.I. Panjaitan ikut berperan dalam pembentukan Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang menjadi cikal bakal TNI. Menanggapi seruan dari pemerintah pusat, D.I. Panjaitan dan rekan-rekannya mengadakan rapat di gedung Sekolah Dasar Batu Satu untuk mendirikan BKR Riau. D.I. Panjaitan ditunjuk sebagai Kepala Latihan karena dianggap memiliki dasar militer dari Gyugun. Sejak saat itu, banyak pemuda yang mendaftar untuk bergabung dengan BKR Riau.
D.I. Panjaitan memiliki karir militer yang cemerlang dan peran signifikan dalam menjaga keutuhan serta keamanan NKRI. Setelah Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia, ia ditugaskan sebagai Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium I/Bukit Barisan di Medan, kemudian ke Palembang sebagai Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium II/Sriwijaya. Ia merancang penyelundupan senjata untuk mendukung perjuangan kemerdekaan dan turut mempertahankan kemerdekaan dari pemberontakan PRRI/PERMESTA. D.I. Panjaitan dikenal sebagai perwira yang mahir berbahasa asing, sehingga sering diberikan tugas ke luar negeri, termasuk sebagai Atase Militer di Bonn, Jerman Barat, dan menjalani pendidikan di Amerika Serikat. Ia juga berperan penting dalam konsolidasi potensi mahasiswa terkait konflik Irian Barat.
Saat konflik tersebut berlangsung, D.I. Panjaitan sedang bertugas di Bonn, Jerman Barat. Melalui pendekatannya kepada mahasiswa Irian Barat yang belajar di Eropa, seperti Frits Kirihio dan Rumainum, keduanya mampu dengan tegas menyatakan bahwa Irian Barat adalah bagian dari Republik Indonesia saat berhadapan dengan pers dan media asing di Eropa.
Brigjen D.I. Panjaitan, yang menjabat sebagai Asisten IV Men/Pang AD untuk logistik, pernah belajar di Amerika Serikat dan dianggap memiliki kedekatan dengan negara tersebut. Ia juga berhasil mengungkap penyelundupan senjata dari Tiongkok, menjadikannya salah satu target dalam Gerakan 30 September (G 30 S).
Pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965, rumah D.I. Panjaitan didatangi oleh prajurit G 30 S. Menurut kesaksian istrinya, pada malam itu pintu pagar terkunci, sehingga para prajurit tersebut harus melompati pagar untuk masuk ke halaman rumah. Setelah itu, mereka menemukan pintu rumah terkunci dan merusaknya dengan menembakkan senjata beberapa kali. Tembakan ini membuat D.I. Panjaitan siaga. Tak lama kemudian, suara tembakan terdengar lagi, kali ini berasal dari arah paviliun tempat Albert Naiborhu, Victor Naiborhu, dan Leleng Panjaitan tidur.
Gerombolan itu berhasil masuk ke rumah dan memerintahkan D. I. Panjaitan untuk ikut dengan gerombolan mereka. D.I. Panjaitan beserta keluarganya terjebak di lantai dua rumah mereka. Gerombolan G 30 S mengancam akan menghabisi seisi rumah bila D.I. Panjaitan tidak ikut dengan mereka. Demi menyelamatkan keluarganya, D.I. Panjaitan setuju untuk ikut dengan gerombolan itu.
D.I. Panjaitan sempat mengganti pakaian dinasnya setelah para penculik mengatakan bahwa ia dijemput untuk bertemu Presiden Sukarno. Ia kemudian turun dari lantai dua dan mengikuti permintaan mereka. Sesampainya di depan garasi, D.I. Panjaitan diperintahkan untuk bersiap, tetapi ia tidak mematuhi perintah itu dan malah berdoa. Saat itulah gerombolan tersebut menembaki kepala dan tubuhnya yang sedang berdoa.
Katherine, anak D.I. Panjaitan yang menyaksikan peristiwa itu, segera berlari ke lokasi kejadian, namun jenazah D.I. Panjaitan sudah tidak ada karena telah dibawa oleh gerombolan G 30 S. Baru pada tanggal 4 Oktober, jenazah D.I. Panjaitan beserta pahlawan revolusi lainnya ditemukan di Lubang Buaya. Saat itu, D.I. Panjaitan yang berpangkat Brigadir Jenderal dianugerahi kenaikan pangkat secara anumerta menjadi Mayor Jenderal dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Artikel ini ditulis Indri Rovelia Lumbanbatu, mahasiswa magang dari UHN Medan di detikcom.
(afb/afb)