20 Ceramah Ramadan Berbagai Tema, Bisa untuk Kultum Tarawih

20 Ceramah Ramadan Berbagai Tema, Bisa untuk Kultum Tarawih

Fria Sumitro - detikSumut
Rabu, 13 Mar 2024 17:10 WIB
Ilustrasi Ceramah Agama.
Kumpulan Ceramah Ramadan (Foto: Raka Dwi Wicaksana/Unsplash)
Medan -

Bulan suci Ramadan telah tiba. Ini saatnya untuk memperbanyak ibadah kepada Allah SWT, mulai dari berpuasa, salat, hingga membaca Al-Qur'an.

Di samping itu, ada banyak keutamaan lain dari Ramadan. Perihal ini, khatib atau imam salat dapat mengingatkan kaum muslimin lewat khotbah Jumat ataupun kultum tarawih.

Dikutip dari laman NU Online, buku Kumpulan Kultum Terlengkap & Terbaik Sepanjang Tahun oleh Ulum (2020), Kumpulan Kultum Terlengkap Sepanjang Tahun oleh Dr. Hasan el-Qudsy, dan sumber lainnya, berikut ini merupakan sederet contoh ceramah Ramadan singkat berbagai topik. Simak, yuk!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ceramah Ramadan #1: Enam Adab Berpuasa


الحَمْدُ ِللهِ الَّذِي أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ الْإِيْمَانِ وَالْإِسْلَامِ. وَنُصَلِّي وَنُسَلِّمُ عَلَى خَيْرِ الْأَنَامِ سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ
أَمَّا بَعْدُ


Jamaah yang berbahagia ...

ADVERTISEMENT

Ibadah puasa tidak hanya memiliki ketentuan hukum yang menentukan sah tidaknya, tetapi juga memiliki adab tertentu yang berpengaruh terhadap pahala yang diterima oleh seseorang. Artinya, adab berpuasa sangat penting untuk diperhatikan karena menentukan kualitas ibadah ini di hadapan Allah sebagaimana nasihat Imam al-Ghazali dalam risalahnya berjudul al-Adab fid Din dalam Majmu'ah Rasail al-Imam al- Ghazali halaman 439, sebagai berikut:

آدَابُ الصِّيَامِ: طَيِّبُ الغِذاءِ، وَتَرْكُ المِرَاءِ، وَمُجَانَبَةُ الغِيْبَةِ، وَرَفْضُ الكَذِبِ، وَتَرْكُ الْآذَى ، وَصَوْنُ الْجَوَارِحِ عَنِ القَبَائِحِ

"Adab berpuasa, yakni: mengonsumsi makanan yang baik, menghindari perselisihan, menjauhi gibah (menggunjing orang lain), menolak dusta, tidak menyakiti orang lain, menjaga anggota badan dari segala perbuatan buruk."

Muslimin yang dicintai Allah ...

Keenam adab sebagaimana disebutkan di atas akan diuraikan satu per satu berikut ini:

Pertama,

Mengonsumsi makanan yang baik. Selama berpuasa, khususnya pada bulan Ramadhan, makanan yang sebaiknya kita konsumsi adalah makanan yang baik atau halalan thayyiban. Beberapa makanan yang baik kita konsumsi selama Ramadhan, di samping makanan pokok seperti nasi atau lainnya, adalah kurma, madu, sayuran, daging, ikan, dan sebagainya. Intinya adalah makanan yang secara kesehatan baik untuk dikonsumsi dan juga halal secara syar'i. Syukur- syukur makanan itu ada tuntunannya di dalam agama, baik berdasarkan al-Quran atau hadis Nabi, seperti madu dan kurma sebagaimana telah disebutkan di atas.

Kedua,

Menghindari perselisihan. Pertengkaran atau perselisihan bisa terjadi kapan saja. Tetapi, orang-orang berpuasa sangat dianjurkan menjaga kesucian bulan Ramadhan dengan tidak melakukan pertengkaran. Untuk itu, diperlukan kesadaran penuh untuk menahan diri dari emosi yang dapat menjurus pada pertengkaran. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulul- lah yang dirawayatkan oleh Bukhari berikut ini:

وَإِنِ امْرُؤٌ قَاتَلَهُ أَوْ شَاتَمَهُ فَلْيَقُلْ: إِنِّي صَائِمُ مَرَّتَيْنِ

"Dan jika seseorang mengajak bertengkar atau mencela maka katakanlah, 'Sesungguhnya aku sedang berpuasa"." (Ucapkan hal ini dua kali)

Jadi, ungkapan "Aku sedang berpuasa" sebagaimana dimaksudkan dalam hadis di atas adalah untuk menyatakan ketidaksanggupan kita untuk berselisih atau bertengkar dengan pihak lain pada bulan Ramadhan. Intinya, kita sangat dianjurkan untuk bisa menjaga perdamaian dan kerukunan bersama pada saat kita sedang berpuasa.

Hadirin yang dirahmati Allah ...

Ketiga,

Menjauhi gibah/menggunjing orang lain. Menggunjing orang lain di luar bulan Ramadhan saja tidak baik, apalagi selama puasa pada bulan suci ini. Tentu dosanya lebih besar dan dapat menghilangkan pahala berpuasa itu sendiri. Oleh karena itu, setiap orang yang berpuasa perlu menyadari hal ini, sehingga bisa bersikap hati-hati dalam menjaga lisannya. Semakin baik kita menjaga lisan, semakin banyak keselamatan kita dapatkan. Hal ini sejalan dengan hadis Rasulullah yang diriwayatkan Imam Bukhari sebagai berikut:

سَلَامَةُ الْإِنْسَانِ فِي حِفْظِ اللسَانِ

"Keselamatan manusia bergantung pada kemampuannya menjaga lisan."

Keempat,

Menolak dusta. Menolak berkata dusta merupakan hal penting, sebab skali berdusta kita akan cenderung berdusta lagi untuk menutupi dusta sebelumnya. Pada saat puasa, kita harus mampu menghindari berkata dusta, karena dusta dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala berpuasa. Juga, kita harus mampu menahan diri dari melakukan sumpah palsu, sebab hal ini juga dapat merusak kualitas ibadah puasa kita. Tentu saja tidak hanya kualitas ibadah puasa kita menjadi menurun akibat dusta dan bersumpah palsu, tetapi juga kita akan mendapatkan dosa yang lebih besar.

Hal tersebut sebagaimana disinggung Rasulullah dalam hadisnya sebagaimana diriwayatkan oleh ath-Thabrani,

فَاتَّقُوا شَهْرَ رَمَضَانَ فَإِنَّ الْحَسَنَاتِ تُضَاعَفُ فِيهِ وَكَذَلِكَ السَّيِّئَات

"Takutlah kalian terhadap bulan Ramadhan, karena pada bulan ini kebaikan dilipatkan sebagaimana dosa juga dilipat-gandakan."

Hadirin hafizhakumullah ...

Kelima,

Tidak menyakiti orang lain. Menyakiti orang lain baik secara fisik maupun verbal merupakan perbuatan tercela. Setiap perbuatan tercela berdampak langsung terhadap kualitas ibadah puasa kita. Oleh sebab itu, betapa pentingnya selalu mengingat bahwa di dalam bulan Ramadhan kita benar-benar harus dapat menjaga lisan agar tidak sekali-kali menggunakannya untuk menyakiti orang lain seperti memfitnah, menghina, dan sebagainya.

Keenam,

Menjaga anggota badan dari segala macam perbuatan buruk. Pada bulan Ramadhan khususnya, hendaklah kita dapat menjaga tangan kita agar tidak kita gunakan untuk maksiat seperti memukul orang lain ataupun mencuri, dan sebagainya. Kaki juga harus kita jaga sebaik mungkin dengan tidak menggunakannya untuk pergi ke tempat-tempat tertentu untuk berbuat maksiat dan sebagainya. Demikian pula mata dan telinga kita, hendaklah selalu kita jaga sebaik-baiknya, sehingga tidak kita gunakan untuk melakukan perbuatan maksiat yang dosanya dilipatkan dalam bulan suci ini.

Ringkasnya, jangan sampai kita berpuasa sepanjang hari, tetapi tidak mendapatkan apa-apa, selain haus dan dahaga saja. Sebab, kita banyak melanggar adab berpuasa se- bagaimana dikhawatirkan oleh Rasululllah dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad,

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوعُ وَالعَطَسُ

"Banyak orang yang berpuasa, namun mereka tidak mendapatkan apa pun selain dari pada lapar dan dahaga."

Hadirin yang dimuliakan Allah...

Semoga kita semua termasuk orang-orang yang mendapat rahmat dan pertolongan dari Allah, sehingga ibadah puasa tahun ini akan dapat kita laksanakan dengan sebaik-baiknya tanpa melanggar ketentuan hukum dan adab berpuasa. Dengan cara ini insya Allah puasa kita akan diterima oleh Allah dan mendapatkan ampunan Allah yang sebesar-besarnya. Aamiin ya rabbal alamin.

Ceramah Ramadan #2: Melatih Anak Berpuasa sejak Dini

الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي بِنِعْمَتِهِ تَتِمُّ الصَّالِحَاتُ، وَبِفَضْلِهِ تَتَنَزَّلُ
الْخَيْرَاتُ وَالْبَرَكَاتُ، وَبِتَوْفِيقِهِ تَتَحَقَّقُ الْمَقَاصِدُ وَالْغَايَاتُ. أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ اللَّهُمَّ صَلَّ وَسَلَّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا
مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ الْمُجَاهِدِينَ الظَّاهِرِيْنَ. أَمَّا بَعْدُ


Jamaah yang dimuliakan Allah...

Dalam surah at-Tahrim ayat 6 Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا قُوا أَنفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَاراً ... (1)

"Wahai orang-orang yang beriman, lindungilah diri kalian dan keluarga kalian dari neraka...."

Ayat ini menjadi dalil bahwa orangtua memiliki tanggung jawab di hadapan Allah untuk mendidik anaknya sesuai dengan ajaran Islam. Di antara bagian pendidikan Islam bagi anak adalah membiasakan mereka untuk melakukan amal saleh, terutama amal wajib, seperti shalat atau puasa Ramadhan. Oleh karena itu, Nabi memerintahkan para orangtua agar menyuruh anaknya untuk shalat ketika berusia 7 tahun dan memukul mereka (jika menolak shalat) ketika berusia 10 tahun, sebagaimana disebutkan hadis yang diriwayatkan Ahmad serta Abu Dawud.

Hadirin yang berbahagia...

Generasi salaf adalah generasi teladan. Muslim maupun muslimahnya, orang dewasa maupun anak kecilnya, sangat rajin dalam perkara ibadah maupun hal muamalah. Di antara bentuk keteladanan generasi salaf adalah memerintah dan melatih anak-anak kecil yang belum mukalaf untuk turut beribadah bersama kaum Muslimin. Salah satu ibadah tersebut adalah puasa Ramadhan. Ternyata sudah ada contoh dari para sahabat pada masa silam untuk mendidik anak-anak mereka hingga bepuasa penuh sampai waktu berbuka.

Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa,

عَنِ الرُّبَيَّعِ بِنْتِ مُعَوِّذٍ قَالَتْ أَرْسَلَ النَّبِيُّ - صلى الله عليه وسلم - غَدَاةَ عَاشُورَاءَ إِلَى قُرَى الْأَنْصَارِ « مَنْ أَصْبَحَ مُفْطِرًا فَلْيُتِمَّ بَقِيَّةَ يَوْمِهِ ، وَمَنْ أَصْبَحَ صَائِمًا فَلْيَصُمْ » . قَالَتْ فَكُنَّا نَصُومُهُ بَعْدُ ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا ، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ
، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ ، حَتَّى يَكُونَ
عِنْدَ الإِفْطَارِ

"Dari ar-Rubayyi' binti Mu'awwidz, ia berkata, 'Nabi pernah mengutus seseorang ke salah satu suku Anshar pada pagi hari Asyura.' Beliau bersabda, 'Siapa yang pada pagi hari dalam keadaan tidak berpuasa, hendaklah ia berpuasa. Siapa yang pada pagi harinya berpuasa, hendaklah berpuasa.' Ar-Rubayyi' mengatakan, 'Kami berpuasa setelah itu. Lalu anak-anak kami pun turut berpuasa. Kami sengaja membuatkan mereka mainan dari bulu. Jika salah seorang dari mereka menangis, merengek- rengek minta makan, kami memberi mainan padanya. Akhirnya pun mereka bisa turut berpuasa hingga waktu berbuka"."

Dalam hadis di atas anak-anak mereka diberi hiburan mainan, sehingga terlena bermain lantas mereka menyempurnakan puasanya.

Dalam kitab Syarh al-Bukhari li Ibni Batthal juz 7 halaman 125, Ibnu Batthal memaparkan bahwa para ulama sepakat, ibadah dan kewajiban barulah dikenakan ketika telah baligh (dewasa). Namun, kebanyakan ulama sudah menyunnahkan (menganjurkan) mendidik anak untuk berpuasa sejak kecil, begitu pula untuk ibadah lainnya. Hal ini untuk keberkahannya dan agar membuat mereka terbiasa sejak kecil, sehingga semakin mudah mereka lakukan ketika telah diwajibkan.

Sementara itu, Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim juz 8 halaman 15 mengatakan, "Hadis di atas menunjukkan perintah untuk melatih anak dalam melakukan ketaatan dan mendidik mereka untuk beribadah. Akan tetapi, mereka tetap masih belum terbebani syariat atau belum mukalaf. Sedangkan, al-Qadhi mengatakan bahwa telah terdapat riwayat dari Urwah, ketika telah mampu puasa, anak sudah wajib puasa. Namun pernyataan jelas keliru karena bertentangan dengan hadis shahih yang menyatakan, 'Pena diangkat dari tiga orang (di antaranya), dari anak kecil hingga ia ihtilam (baligh).' Wallahu a'lam."

Meski anak-anak tersebut masih kecil, ternyata masih ada orang besar yang kalah dari mereka. Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahih-nya bab "Shaum ash-Shibyan" no. 1690 disebutkan bahwa, "Umar r.a. berkata kepada orang yang mabuk-mabukan pada siang hari bulan Ramadhan, 'Celaka kamu! Anak-anak kami yang masih kecil saja berpuasa!' Kemudian beliau memukulnya."

Hadirin yang dimuliakan Allah ...

Setiap anak dikaruniai kemampuan jasmani maupun rohani yang berbeda. Oleh sebab itu, orangtua hendaklah mampu menyadari seberapa siapkah anak mereka untuk dilatih berpuasa. Tidak menutup kemungkinan seorang anak berusia 3 tahun sudah mampu menahan lapar dan dahaga sejak terbit fajar hingga matahari terbenam. Sebaliknya, boleh jadi ada anak berusia 6 tahun yang hanya mampu berpuasa "beduk" (latihan berpuasa sampai waktu Zuhur).

Selain itu, perlu disadari betul bahwa dunia anak itu berwarna-warni, bagai pelangi.

Niat orangtua untuk meraih ridha Allah pasti akan dibuktikan dengan usaha keras, cerdas, dan ikhlas tanpa emosi yang kembang-kempis. Kita tengok generasi salaf; mereka buatkan mainan penghibur hati bagi si buah hati yang bertujuan untuk mengalihkan perhatian si kecil dari makanan dan minuman. Untuk itu, pandai-pandailah melihat kecenderungan anak. Pada zaman sahabat, mainan wol mungkin sudah termanis dan dapat menyenangkan si buah hati.

Adapun pada zaman sekarang, sesuaikan dengan keadaan. Misalnya, jika anak kita senang ikut memasak dengan kita, izinkan dia ikut serta bersama kita di dapur. Apabila anak suka dibacakan buku cerita atau dongeng, luangkan waktu sejenak untuk menemaninya dan menghiburnya. Pastinya perlu kita ingat selalu, penghibur bagi anak (mainan) mestilah sesuatu yang tidak melanggar batasan syariat Allah dan mengandung manfaat di dalamnya. Jangan sampai membiarkan anak-anak kita sibuk dengan gawai yang dapat melalaikannya dari ibadah dan membuatnya malas-malasan seharian.

Hadirin yang dirahmati Allah ...

Upaya lain yang bisa dicoba adalah mengajak anak makan sahur bersama keluarga agar memiliki energi untuk berpuasa. Seimbangkan menu sahur dan buka puasanya: nasi dan lauk pauk (sayur, ikan, tempe, tahu, ayam, atau daging), susu, kurma, serta pilihan makanan dan minuman sehat bernutrisi lainnya. Jangan asal enak, tapi tak sehat. Jangan pula asal kenyang, tapi miskin kandungan gizi.

Kalau mereka sudah mau berpuasa, berilah pada mereka motivasi dan penghargaan, apalagi bila sudah berhasil berpuasa satu hari penuh. Penghargaan tidak harus berupa tambahan uang saku, tapi bisa juga dengan memberinya menu spesial kesukaan anak saat berbuka (iftar). Apabila sudah demikian, insya Allah raga anak akan siap berpuasa seharian, dan anak tak akan sengsara. Bahkan, bisa saja badannya malah jadi lebih bugar karena waktu makannya yang lebih teratur (sahur dan berbuka). Apalagi, bila ditambahkan dengan camilan sehat secukupnya pada malam hari, misalnya buah segar atau bubur kacang hijau.

Muslimin hafizhakumullah ...

Berpuasa memerlukan kesiapan fisik dan mental. Jika ingin melatih anak kecil berpuasa, lakukan secara bertahap:

  • Jika orangtua berpuasa Senin dan Kamis, anak bisa diajak serta.
  • Uji coba dengan puasa "beduk". Jika anak masih kuat, lanjutkan puasanya hingga sehari penuh sampai Magrib.
  • Lebih kerap memberi kalimat motivasi.
  • Sajikan hidangan kegemaran anak sebagai menu berbuka untuknya.
  • Ketika berbuka, motivasi anak dengan nikmatnya berbuka setelah berjuang berpuasa sehari penuh.

Kesimpulannya adalah bahwa anak kecil diperintahkan untuk melakukan beragam bentuk ketaatan, termasuk berpuasa pada bulan Ramadhan adalah supaya mereka terbiasa melakukannya sebelum usianya dewasa. Sehingga, ketika mereka telah tumbuh dewasa akan mudah baginya untuk melakukan beragam ketaatan-ketaatan tersebut. Segala kemudahan datang dari Allah. Tiada daya dan upaya melainkan atas pertolongan dan rahmat-Nya. semoga Allah mendidik anak-anak kita menjadi anak yang saleh dan salihah.

Ceramah Ramadan #3: Hakikat Ibadah Puasa

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Innalhamdalillah washolatu wasalamu ala rosulillah sayyidina Muhammad ibni abdilah waala alihi wasohbihi wamawalah (amma ba'du).

Jemaah masjid yang semoga Allah muliakan dunia dan akhirat.

Alhamdulillah, dengan izin Allah kita bisa berkumpul di masjid ini untuk menjalankan perintah-Nya. Mudah-mudahan kita dapat meraih pahala dan pengampunan dari Allah SWT di bulan penuh rahmat ini.

Jamaah yang dirahmati Allah SWT,

Ibadah puasa disyariatkan kepada umat Nabi Muhammad saw. Ibadah puasa diwajibkan bagi umat Islam selama bulan Ramadhan pada setiap tahunnya. Ibadah puasa sejatinya bukan syariat baru. Ibadah puasa telah disyariatkan kepada umat-umat terdahulu sebelum umat Nabi Muhammad saw.

Ibadah puasa mengandung banyak manfaat dan keutamaan bagi umat manusia baik secara jasmani maupun secara rohani. Oleh karena itu, ibadah puasa tidak hanya disyariatkan kepada umat terdahulu, tetapi juga umat Nabi Muhammad saw, umat akhir zaman.

Ibadah puasa sendiri cukup unik. Ibadah puasa berbeda dari jenis ibadah lainnya. Pada ibadah puasa, umat Islam diperintahkan untuk menahan dan meninggalkan sesuatu (takhalli), bukan diperintahkan untuk melakukan sesuatu. Karena sifatnya yang takhalli, ibadah puasa tidak terlihat secara kasat mata. Sifat takhalli ini menempatkan ibadah puasa menjadi istimewa.

Imam Al-Ghazali menjelaskan keistimewaan ibadah puasa. Imam Al-Ghazali dalam karyanya yang terkenal Ihya Ulumiddin menjelaskan hakikat puasa. Imam Al-Ghazali menyebut secara singkat dan tepat perihal hakikat puasa sebagaimana berikut:

أن الصوم كف وترك وهو في نفسه سر ليس فيه عمل يشاهد وجميع أعمال الطاعات بمشهد من الخلق ومرأى والصوم لا يراه إلا الله عز و جل فإنه عمل في الباطن بالصبر المجرد

Artinya: "Puasa itu menahan diri dan meninggalkan (larangan puasa). Puasa pada hakikatnya sebuah rahasia. Tidak ada amal yang tampak padanya. Kalau semua ibadah disaksikan dan dilihat oleh makhluk, ibadah puasa hanya dilihat oleh Allah saw. Puasa adalah amal batin, murni kesabaran," (Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Beirut, Darul Fikr: 2018 M/1439-1440 H], juz I, halaman 293).

Dari penjelasan ini, kita dapat mengerti bahwa keutamaan dan inti ibadah puasa adalah kesabaran dengan ganjaran tiada tara. Kita dapat mengerti mengapa hadits qudsi selalu mengatakan, "Ibadah puasa (dipersembahkan) untuk-Ku. Aku sendiri yang akan membalasnya."

Puasa mengambil seperempat bagian dari keseluruhan keimanan karena "Puasa itu setengah dari kesabaran," (HR At-Tirmidzi). Sedangkan, "Kesabaran mengambil setengah bagian dari keimanan," (HR Abu Nu'aim dan Al-Khatib).

Adapun manfaat dari puasa adalah menurunkan keinginan-keinginan syahwat yang menjadi lahan subur setan. Dengan lapar dan haus puasa, lahan subur dan medan pacu setan menyempit dan terbatas.

Ibadah puasa bermanfaat untuk menaklukkan setan karena syahwat-syahwat itu merupakan jalan masuk setan, "musuh" Allah. Sedangkan syahwat pada manusia itu menguat oleh sebab makan dan minum.

Dari sini kemudian, ibadah puasa menjadi pintu ibadah dan tameng atau perisai bagi mereka yang berpuasa. Ibadah puasa mempersempit ruang gerak setan di dalam tubuh orang yang berpuasa.

قال صلى الله عليه وسلم إِنَّ الشَّيْطَانَ لَيَجْرِي مِنِ ابْنِ آدَمَ مَجْرَى الدَّمِ فَضَيِّقُوْا مَجَارِيَهُ بِالجُوْعِ

Artinya, "Rasulullah saw bersabda, 'Sungguh, setan itu berjalan pada anak Adam melalui aliran darah. Oleh karena itu, hendaklah kalian mempersempit aliran darah itu dengan rasa lapar,' (HR. Muttafaq alaihi)," (Al-Ghazali, 2018 M: I/293).

Ketika puasa membatasi, mempersempit ruang gerak, dan menutup jalan bagi setan, maka orang yang berpuasa layak diistimewakan oleh Allah dengan ganjaran yang tak terduga baik kuantitas maupun kualitasnya. Wallahu a'lam.

Demikianlah ceramah yang dapat saya sampaikan, lebih dan kurangnya mohon dimaafkan. Saya akhiri dengan ucapan wabillahi taufik wal hidayah wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ceramah Ramadan #4: Cahaya Ramadan

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

إِنَّ الْحَمدُ لِلَّهِ نَحمده ونستعينه ونستغفره ونستهديه ونعوذ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهدها الله وہ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له. أشهد أن لا إله إلا الله وأَشْهَدُ أَنَّ محمدا عبده ورسوله. اللهم صلِ وسلم وَبَارِكْ عَلَى سيدنا محمد وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهَدَاهُ إلى يوم الْقِيَامَةِ أَمَّا بعد

Bapak ibu yang saya hormati, segala puji kita panjatkan kepada Allah. Kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan, dan petunjuk hanya kepada-Nya.

Oleh sebab itu, mari kita selalu bersyukur atas apa telah dikaruniakan kepada kita semua.

Selanjutnya, semoga rahmat dan keselamatan senantiasa tercurah limpah kepada Nabi Muhammad Saw., beserta keluarga, sahabat. Kita senantiasa mengharap-harapkan syafaatnya kelak di yaumul akhir.

Bapak ibu dan hadirin yang saya hormati. Saat ini kita berada di bulan suci Ramadhan. Mari kita siapkan jiwa dan badan, mencari suri teladan, perbanyak wirid dan kezuhudan, sebab kita berada di zaman yang edan.

Bulan Ramadhan memang sangat istimewa. Di dalamnya terdapat berbagai peristiwa penting, penuh ampunan, dan keberkahan. Berbagai amalan mendapatkan ganjaran yang berlipat ganda. Bahkan, tidur saja diganjar.

Di sisi lain, pintu pintu langit dibuka dan pintu-pintu neraka ditutup. Itu pun masih ditambah dengan Lailatul Qadar yang menambah nilai ibadah kita seribu tahun lebih baik daripada malam-malam lainnya.

Itulah sebagian dari cahaya-cahaya Ramadhan. Mengapa kita sebut cahaya? Ada yang tahu sifat cahaya? Sifat cahaya itu bergerak cepat, menyinari seluruh ruang bahkan mampu menembus celah-celah.

Ia menyinari kegelapan, memberi penglihatan kepada kita sehingga dapat menemukan apa kita cari dan menerangi setiap jalan kita.

Begitu pula dengan Ramadhan. Ramadhan begitu cepat, hanya satu bulan di antara 12 bulan, hanya 30 hari diantara 360 hari. Waktu yang relatif singkat ini sebaiknya dapat kita manfaatkan dengan sebaik-baiknya.

Ramadan menyinari kita dari kegelapan yang kita lakukan sepanjang tahun. Maka tidak heran jika kita melihat banyak orang berubah menjadi shaleh dan shalehah ketika Ramadhan. Tidak perlu kita bully. Itu bukan karena orangnya, melainkan sifat dari Ramadhan yang menerangi.

Dengan cahaya yang dimiliki Ramadhan, kita jadi terbuka dan dapat melihat, mana saja amalan baik yang dapat kita kerjakan sehingga dilipatgandakan. Pada akhirnya, kita dapat memilih jalan yang baik bagi kita sendiri.

Baik bapak ibu saudara sekalian, demikian ceramah yang dapat saya sampaikan. Semoga kita selalu dalam lindungan Allah dan mendapatkan cahaya Ramadhan sepenuhnya. Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Ceramah Ramadan #5: Perbanyak Dzikir di Bulan Ramadhan

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pertama-tama marilah kita sampaikan rasa puji dan syukur kita kehadirat Allah SWT sehingga kita dapat berkumpul dalam kondisi sehat walafiat.

Shalawat serta salam senantiasa tidak lupa kita haturkan kepada junjungan kita, Nabi Besar Muhammad SAW.

Hadirin sekalian yang saya hormati dan cintai,

Bulan Ramadhan adalah bulan yang penuh dengan kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Salah satu cara yang bisa kita lakukan adalah dengan memperbanyak dzikir.

Dzikir adalah suatu amalan berupa ucapan yang dilakukan oleh seorang muslim untuk mengingat Allah SWT.

Dalam Al-Quran, Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Ahzab ayat 41-42, yang artinya: "Hai orang-orang yang beriman, berdzikirlah (dengan menyebut nama) Allah dzikiran yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya di waktu pagi dan petang."

Dari ayat tersebut, kita dapat memahami bahwa Allah SWT sangat mengutamakan amalan dzikir bagi hamba-Nya yang beriman. Dzikir bisa dilakukan kapan saja dan di mana saja, baik saat sedang duduk, berdiri, atau bahkan saat sedang melakukan aktivitas lainnya.

Di bulan Ramadhan, kita memiliki kesempatan yang sangat baik untuk memperbanyak dzikir. Kita bisa memulainya dengan membaca istighfar, membaca kalimat tauhid, atau membaca ayat-ayat suci Al-Quran.

Selain itu, kita juga bisa mengikuti majelis-majelis dzikir di masjid atau di lingkungan sekitar kita.

Dengan memperbanyak dzikir di bulan Ramadhan, Insya Allah kita bisa mendapatkan banyak manfaat, seperti merasa lebih tenang, lebih dekat dengan Allah SWT, dan mendapatkan pahala yang besar dari-Nya.

Jadi, marilah kita manfaatkan kesempatan yang ada di bulan Ramadhan ini untuk memperbanyak dzikir dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Demikian ceramah singkat tentang berdzikir di bulan Ramadhan. Kurang dan lebihnya mohon dimaafkan, Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ceramah Ramadan #6: Taqwa, Pembebas Kekafiran Diri

Bismillahirrahmanirrahim.

Assalamu'alaikum, Warahmatullahi Wabarakatuh.

Kaum muslimin muslimat Rahimakumullah, marilah kita tidak henti-hentinya memanjatkan puji syukur kepada Allah.

Karena dengan nikmat-Nya, Allah masih memberikan kita kesempatan untuk kembali bertemu dengan bulan paling mulia, bulan penuh pengampunan, yakni bulan Ramadhan.

Puji syukur pula atas kehendak Allah SWT saya diberi kesempatan untuk berbagi ilmu melalui ceramah Ramadhan yang berjudul "Taqwa, Pembebas Kekafiran Diri".

Kaum muslimin muslimat Rahimakumullah,

Sebulan dalam satu tahun kalender Hijriah, kita mendapat kesempatan untuk menziarahi diri, menepi sejenak dari keriuhan, menata kembali alur kehidupan, atau mendekonstruksi spiritualitas melalui laku puasa. Surat Al Baqarah ayat 183 menjadi dasar dan ruh dalam menjalankan ibadah tersebut.

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَۙ

Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa "

Ayat ini merupakan dasar naqli kita menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Ayat yang kerap dibaca mubaligh di atas mimbar kultum atau ceramah sepanjang Ramadhan itu, juga menjadi landasan pengharapan seorang hamba agar menjadi pribadi yang bertakwa.

Lalu, siapa "si takwa" itu?. Dalam pandangan awam, kerapkali takwa diimajinasikan sebagai sebuah predikat atau gelar laiknya orang mendapatkan ijazah.

Tafsir yang lebih umum dan klasik kita dengar, takwa berarti takut kepada Allah dengan menjalankan segala perintahNya dan menjauhi segala larangan-Nya. Pemaknaan ini ada kesan bahwa ruang lingkup penghayatan takwa terbatas pada pengamalan syariat ibadah. Ia merupakan jelmaan dari rasa takut. Sehingga yang muncul adalah kesalehan individu, ritual-ritual ibadah sebagai wujudnya.

Dampak dari pencerapan seperti itu tak sedikit yang merasa benar sendiri. Membusungkan "keakuan" dalam beragama. Orang lain yang ibadahnya tidak serajin "aku" perlu diingatkan, bahkan, bila perlu dengan cara-cara yang keras.

Kemudian, pemahaman takwa yang lebih mendalam dapat kita jumpai dalam sebuah catatan Muhammad Asad. Orang yang bertakwa adalah mereka yang sadar akan kehadiran Tuhan.

Penafsiran seperti ini membebarkan pengertian takwa yang lebih esoteris. Sikap religius yang ditampilkan oleh seorang hamba bukanlah sebab ketakutan semata, melampaui itu, sikap demikian tampak sebagai keniscayaan karena Tuhan selalu hadir dalam setiap langkah hidup kita.

Dengan demikian, rasa "aku" dalam beragama mampu dikikis habis hingga yang ada hanyalah Sang Khalik. Karena kehadiran-Nya, tidak pantas kita menghukumi orang lain sebagai ahli bid'ah atau kafir. Sebab bukan kita yang berhak memberi penilaian akhir. Ada Tuhan di sisi kita, yang punya kuasa penghakiman.

Sikap yang yang tidak menonjolkan "aku" juga merupakan jalan dakwah yang menghadirkan kelembutan. Amar ma'ruf atau ajakan kebaikan lebih didahulukan ketimbang menghajar kemungkaran.

Alhasil, pemaknaan takwa sebagai kesadaran akan hadirnya Tuhan lebih hakiki (dimensi esoterik) ketimbang sekadar rasa takut yang syariat (dimensi eksoterik).

Hadirin yang dirahmati oleh Allah,

Penggalian makna takwa bisa juga berpijak dari kata takwa itu sendiri. Dalam kamus bahasa Arab, jika kita mencari definisi kata taqwa (ta-qof-wau-ya), maka kita akan dirujuk ke kata dzulum. Bahwa, dzulum adalah lawan kata dari takwa. Dzulum sendiri mempunyai arti melampaui batas atau berlebih-lebihan.

Berarti, takwa bermakna tidak melampaui batas atau proporsional. Arti kata ini bahkan, lebih implementatif. Praktik hidup proporsional menjadi salah satu ciri orang bertakwa.

Perilaku proporsional ini jika diterapkan sungguh-sungguh dalam kehidupan sehari-hari, sebagai contoh, tak akan ada banjir karena orang tidak membuang sampah sembarangan. Tak pernah ada perselisihan sebab orang menjaga hatinya. Bahkan, tak perlu ada kerusuhan gegara kalah dalam pemilu karena orang tidak melampaui batas dalam memperjuangkan haknya.

Muara dari sikap takwa adalah agar kita menjadi hamba yang dikehendaki Allah dalam surat Al Baqarah, sebagai insan yang patut mendapatkan petunjuk dalam Al-Qur'an.

Setiap individu bisa saja membaca Al Qur'an. Tetapi, hanya orang-orang yang memiliki syarat rohani tertentu yang bisa menjadikan Al-Qur'an sebagai sumber petunjuk, adalah mereka yang bertakwa, yaitu, mempunyai kesadaran tentang kehadiran Tuhan terus-menerus dalam dirinya dan dihiasi sikap asketis.

Alhasil, dalam pandangan saya takwa tak bermakna pasif sebagai gelar spiritualitas. Melebihi itu, takwa haruslah menjadi pembebas dari kekafiran diri alih-alih dikapitalisasi atau malah pembenar bagi laku kekerasan terhadap liyan. Maka menjadi pribadi yang bertakwa dalam waktu yang bersamaan adalah menerima keberadaan orang lain. Pribadi semacam inilah yang layak mendapatkan kedudukan paling mulia di sisi Allah SWT. Wallahu a'lam bishawab.

Itulah tadi ceramah singkat yang dapat saya sampaikan pada kesempatan hari ini. Saya akhiri dengan ucapan waffaqaniallahu wa iyyakum ilaa thoriqil khaer, tsumma wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ceramah Ramadan #7: Tiga Orang yang Terhalang Kebaikan di Bulan Ramadhan

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan anugerah dan karunia yang sangat besar kepada kita. Sehingga kita bisa hadir dalam masjid yang mulia ini untuk melaksanakan shalat fardhu Isya dan Tarawih secara berjamaah.

Shalawat dan salam kita kirimkan kepada nabi junjungan kita, Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Nabi yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang seperti yang kita rasakan saat ini.

Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah

Pada malam hari ini, izinkanlah saya menyampaikan sebuah ceramah singkat yang berjudul "3 orang yang terhalang kebaikan di bulan Ramadhan."

Kaum muslimin yang dirahmati oleh Allah

Bulan Ramadhan adalah bulan mulia dengan seluruh keutamaan dan keistimewaan di dalamnya. Semua orang Islam di manapun berlomba-lomba untuk memperoleh keutamaannya dengan meningkatkan intensitas ibadah dibanding bulan-bulan lainnya. Sekalipun demikian, ada tiga orang atau golongan yang terhalang memperoleh semua itu. Mereka adalah orang-orang yang merugi. Lalu siapa mereka?

Syekh Sayyid Abdullah bin Muhammad bin As-Shiddiq Al-Ghumari (wafat 1992 M) seorang ulama hadits kenamaan asal Maroko. dalam salah satu kitabnya, Ghayatul Ihsan, menyebutkan hadits yang diriwayatkan dari dari Ka'ab bin 'Ajrah dalam kitabnya. Ia lalu memberi judul hadits ini, Al-Mahrum man hurrima khira Ramadhan, artinya Orang yang terhalang adalah orang yang terhalang dari kebaikan Ramadhan".

عَنْ كَعْبِ بْنِ عَجْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : احْضَرُوا الْمِنْبَرَ. فَحَضَرْنَا. فَلَمَّا ارْتَقَى دَرَجَةً، قَالَ: آمِينَ، فَلَمَّا ارْتَقَى الدَّرَجَةَ الثَّانِيَةَ قَالَ: آمِينَ. فَلَمَّا ارْتَقَى الدَّرَجَةَ الثَّالِثَةَ قَالَ: آمِينَ. فَلَمَّا نَزَلَ قُلْنَا: يَا رَسُولَ اللَّهِ لَقَدْ سَمِعْنَا مِنْكَ الْيَوْمَ شَيْئًا مَا كُنَّا نَسْمَعُهُ قَالَ: إِنَّ جِبْرِيلَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَرَضَ لِي، فَقَالَ: بُعِدَ لِمَنْ أَدْرَكَ رَمَضَانَ فَلَمْ يَغْفَرْ لَهُ. قُلْتُ: آمِينَ. فَلَمَّا رَقِيتُ الثَّانِيَةَ قَالَ: بُعِدَ لِمَنْ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيْكَ قُلْتُ: آمِينَ. فَلَمَّا رَقِيتُ الثَّالِثَةَ قَالَ: بُعِدَ لِمَنْ أَدْرَكَ أَبَوَاهُ الْكِبَرُ عِنْدَهُ أَوْ أَحَدُهُمَا فَلَمْ يُدْخِلَاهُ الْجَنَّةَ. قُلْتُ: آمِينَ

Artinya: Dari Ka'ab bin 'Ajrah, ia berkata: "Rasulullah Saw berkata: "Hadirlah kamu semua ke mimbar." Maka kami pun hadir. Ketika Rasulullah saw naik ke anak tangga pertama, beliau katakan: "Amin." Ketika naik ke anak tangga kedua, beliau katakan: "Amin". Ketika naik ke anak tangga ketiga, beliau katakan lagi: "Amin." Ketika beliau turun, kami bertanya mengklarifikasi: "Wahai Rasulullah, hari ini kami telah mendengar sesuatu yang tidak pernah kami dengar". Rasulullah saw kemudian bersabda: "Sesungguhnya Jibril mengajukan kepadaku, ia berkata: "Dilaknat orang yang bertemu dengan Ramadhan, akan tetapi ia tidak diampuni. Maka aku katakan: "Amin." Ketika aku naik ke anak tangga kedua, ia berkata: "Dilaknat orang yang ketika namamu disebut, ia tidak bershalawat kepadamu". Aku katakan: "Amin." Ketika aku naik ke anak tangga ketiga, ia berkata: "Dilaknat orang yang kedua orang tuanya sampai usia lanjut bersamanya, atau salah satu dari mereka, akan tetapi itu tidak membuatnya masuk surga."Maka aku katakan: "Amin.

Imam Al-Hakim menilai shahih hadits ini. Hadits ini mempunyai banyak jalur periwayatan dan redaksi. Makna dari بعد adalah ابعده الله "Allah melaknatnya." Makna ini sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang lain. Dan barangsiapa yang Allah melaknatnya, maka ia akan dimasukan kedalam neraka.

Makna redaksi hadits أدرك رمضان فلم يغفر له (orang yang bertemu dengan Ramadhan, akan tetapi ia tidak diampuni), karena ia lalai di bulan ini. Yakni dengan melakukan perbuatan-perbuatan yang menyimpang (maksiat) dan ia tidak mendapatkan ilham untuk bertaubat sehingga sampai bulan Ramadhan habis, ia tidak mendapatkan pengampunan.

Redaksi hadits: بعد من ذكرت عنده فلم يصل عليك. Disebutkan dalam redaksi hadits yang lain: ومن ذكرت عنده فلم يصل عليك فأبعده الله. Artinya, "Orang yang ketika namamu disebut di sampingnya, ia tidak bershalawat kepadamu maka Allah melaknatnya."

Hal ini menunjukan kewajiban bershalawat kepada Nabi ketika namanya disebut. Jika namanya disebut berulang-ulang kali dalam satu majlis maka cukup dengan bacaan shalawat pada kali pertamanya saja.

Redaksi hadits: ... بعد من أدرك أبويه الكبر. Maknanya adalah karena ia melalaikan hak kedua orang tuanya dan ia tidak berbakti kepadanya sehingga ia berhak mendapatkan laknat dan masuk neraka.

Dari hadits tadi, dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga orang yang terhalang kebaikan Ramadhan yakni yang pertama, Orang yang menemui bulan Ramadhan namun tidak mendapatkan maghfirah atau ampunan. Sebab, ia lalai dengan melakukan kemaksiatan dan tidak bertaubat hingga Ramadhan berlalu.

Yang kedua, Orang yang ketika nama Nabi Muhammad SAW disebut, ia tidak bershalawat kepadanya. Yang ketiga, orang yang masih menemui kedua atau salah satu orang tuanya, namun ia menyia-nyiakannya dengan tidak berbakti dan melalaikan hak-haknya. Naudzubillah min dzalik. Semoga kita tidak termasuk dari ketiganya. Amin. Wallahu a'lam bishawab.

Demikianlah ceramah singkat yang dapat saya sampaikan, lebih dan kurangnya mohon dimaafkan. Wabillahi taufik wal hidayah wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Contoh ceramah Ramadan yang lain ada di halaman selanjutnya...

Ceramah Ramadan #8: Puasa dan Pendidikan Saleh Sosial

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pertama-tama marilah kita sampaikan rasa puji dan syukur kita kehadirat Allah SWT sehingga kita dapat berkumpul dalam kondisi sehat walafiat.

Shalawat serta salam kita kirimkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Nabi yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.

Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah

Kita semua sepakat bahwa tujuan utama manusia diciptakan adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Sebab itu, ibadah dalam Islam dirumuskan sedemikian rupa agar bisa selalu diamalkan oleh seorang muslim. Dalam kasus shalat misalnya, jika tidak bisa dilakukan dengan berdiri maka boleh dengan duduk, jika masih tidak mampu bisa dengan posisi tidur menyamping menghadap kiblat, dan seterusnya. Tanggung jawab dasar ini sudah Allah tegaskan dalam firman-Nya,

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ

Artinya, "Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku." (QS Adz-Dzariyat: 56).

Ayat ini menegaskan bahwa tujuan penciptaan jin dan manusia adalah untuk beribadah kepada Allah swt. Namun perlu digarisbawahi, sebagaimana dikemukakan Ibnu Katsir dalam tafsirnya, kewajiban ibadah ini bukan karena Allah butuh pada ibadah tersebut, tapi justru jin dan manusianyalah yang memerlukannya. (Ibnu Katsir, Tafsīr Al-Qur'ānil 'Azhīm, [2018], juz IV, halaman 261).

Namun penting dicatat, bukan berarti karena kebutuhan ibadah ini menjadikan seorang Muslim hanya sibuk mementingkan kepuasan spiritual pribadi, tapi di sisi lain mengabaikan kepekaan sosial terhadap sesama manusia. Tidak sedikit dijumpai orang berlomba berburu pahala dengan melaksanakan ritual keagamaan sebanyak dan sebaik mungkin, tapi ia masih 'buta' secara sosial.

Sebab itu, Allah swt menegaskan bahwa ibadah yang baik adalah yang mampu memberikan dampak positif secara sosial bagi pelakunya. Dalam Al-Qur'an disebutkan,

اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ

Artinya, "Bacalah Kitab (Al-Qur'an) yang telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan laksanakanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar. Dan (ketahuilah) mengingat Allah (salat) itu lebih besar (keutamaannya dari ibadah yang lain). Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan." (QS Al-Ankabut: 45).

Jika kita amati, ayat di atas memiliki pesan untuk menciptakan keseimbangan antara saleh ritual (shalat) dan saleh sosial (mengendalikan diri dari perilaku buruk). Shalat yang merupakan praktik ritual keagamaan paling pokok dalam Islam belum sempurna jika belum bisa memberikan dampak sosial positif bagi pelakunya. Maka, Nabi saw pernah menegaskan bahwa shalat yang tidak memiliki dampak moral justru akan menjadikan pelakunya semakin jauh dari Allah. Beliau bersabda,

مَنْ لَمْ تَنْهَهِ صَلاَتُهُ عَنِ اْلفَحْشَاءِ وَاْلمُنْكَرِ، لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللهِ إِلاَّ بُعْدًا

Artinya, "Orang yang shalatnya tidak dapat mencegah dari melakukan perbuatan keji dan munkar, niscaya dia hanya semakin jauh dari Allah." (HR At-Thabrani).

Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri adalah setiap ritual ibadah yang diajarkan dalam Islam pasti memiliki korelasi dengan kebaikan-kebaikan sosial. Selain shalat sebagaimana telah penulis kemukakan, puasa di bulan Ramadhan merupakan contoh konkrit yang bisa kita amati. Momen Ramadhan yang menjadi gudang amal ibadah untuk meraih limpahan pahala dan mendekatkan diri kepada Allah ini ternyata sarat dengan nilai-nilai sosial.

Dalam konteks sedekah misalnya. Pahala bersedekah saat bulan Ramadhan dinilai sebagai sedekah terbaik. Artinya, bukan saja ibadah-ibadah ritual seperti shalat sunnah dan bertadarus Al-Qur'an yang mendapat apresiasi pelipatgandaan pahala, tetapi juga kebaikan-kebaikan yang memiliki dampak sosial. Dalam satu riwayat disebutkan,

عَنْ اَنَسٍ قِيْلَ يَارَسُولَ اللهِ اَيُّ الصَّدَقَةِ اَفْضَلُ؟ قَالَ: صَدَقَةٌ فِى رَمَضَانَ

Artinya, "Dari Anas ra, sahabat bertanya, 'Wahai Rasulullah, sedekah apa yang paling utama?' Rasulullah saw menjawab, 'Sedekah di bulan Ramadhan,'" (HR At-Tirmidzi).

Pada kesempatan lain Rasul bersabda,

مَنْ اَفْطَرَ صَائِمًا فَلَهُ اَجْرُ صَائِمٍ وَلَا يَنْقُصُ مِنْ اَجْرِ الصَّائِمِ شَيْءٌ

Artinya, "Siapa yang memberi makanan kepada orang yang berpuasa untuk berbuka, maka baginya pahala seperti orang puasa tanpa mengurangi sedikit pun dari pahala orang puasa tersebut." (HR At-Tirmidzi).

Secara emosional, sebagaimana disampaikan Syekh 'Izzuddin bin 'Abdissalam, puasa sendiri mampu menumbuhkan rasa empati pada diri setiap Muslim. Menahan lapar seharian penuh saat selama bulan Ramadhan akan membuat seseorang ikut merasakan rasa lapar dan dahaga sehingga ia sadar betul beginilah selama ini yang dirasakan orang-orang berkekurangan. Dari pengalaman spiritual ini harapannya dia lebih terdorong lagi untuk berbagi kepada sesama.

Lebih jauh, berkaitan dengan sedekah di bulan Ramadhan, Syekh 'Izzuddin membuat kalkulasi cermat. Dia menjelaskan dalam kitabnya Maqāshidush Shaum,

فَمَنْ فَطَّرَ سِتَّةً وَ ثَلَاثِيْنَ صَائِمًا فِي كُلِّ سَنَةٍ فَكَاَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ وَ مَنْ كَثُرَ بِفِطْرِ الصَّائِمِيْنَ عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ كَتَبَ اللهُ لَهُ صَوْمَ عُصُوْرٍ وَ دُهُوْرٍ

Artinya, "Barang siapa memberi makanan pada 36 orang yang berpuasa setiap tahun, maka seakan-akan ia puasa satu tahun (karena kebaikan dilipatgandakan pahalanya sepuluh kali). Dan barang siapa memperbanyak memberi takjil atau makan dan minum untuk orang-orang yang berpuasa atas dasar niat ini, Allah mencatat baginya puasa berabad-abad dan bertahun-tahun." (Izzuddin bin Abdissalam, Maqāshidush Shaum, [Damaskus: Darul Fikr, 1992], halaman 18).

Kalkulasi pahala ini berdasarkan rumus setiap satu amal kebaikan akan dibalas 10 kali lipat. Sehingga, memberi makan berbuka untuk 36 orang akan mendapat balasan pahala 360. Setara dengan jumlah hari dalam satu tahun. Meski dalam satu tahun ada 365 hari.

Sebab itu, sangat disayangkan jika ada sebagian Muslim yang terlalu semangat beribadah di bulan Ramadhan, namun ia mengabaikan kepekaan sosial. Contoh paling real yang sering dijumpai saat Ramadhan adalah penggunaan pengeras suara untuk tadarus Al-Qur'an. Terkadang volumenya terlalu keras, kadang pula sudah larut malam tapi volumenya tidak disesuaikan sehingga mengganggu kenyamanan publik.

Sayyid Abdurrahman Al-Ba'alawi dalam Bughyatul Mustarsyidīn menjelaskan, membaca Al-Qur'an atau bacaan lain seperti dzikir dan shalawat dengan volume suara terlalu tinggi, jika sampai mengganggu kenyamanan publik maka hukumnya makruh. Bahkan jika gangguannya lebih besar bisa sampai haram. (Abdurrahman Al-Ba'alawi, Bughyatul Mustarsyidīn, [1952], halaman 66).

Hadirin yang berbahagia,

Untuk itu, mari jadikan ibadah-ibadah yang kita lakukan memiliki dampak positif sosial bagi publik. Jangan sampai kita berlomba-lomba menjadi pribadi yang saleh secara ritual, tapi buruk secara sosial. Wallahu a'lam.

Demikianlah ceramah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga ada manfaatnya bagi kita semua.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ceramah Ramadan #9: Puasa sebagai Tips untuk Jomblo yang Belum Menikah

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pertama-tama marilah kita sampaikan rasa puji dan syukur kita kehadirat Allah SWT sehingga kita dapat berkumpul dalam kondisi sehat walafiat.

Shalawat serta salam kita kirimkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Nabi yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.

Hadirin yang saya hormati

Puasa merupakan ibadah yang menjadi rahasia antara seorang hamba dan Tuhannya. Dalam praktiknya, puasa tak hanya sekedar menahan makan dan minum serta hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa.

Puasa juga merupakan sarana dalam untuk meredam hawa nafsu yang menyebabkan kriminalitas terutama kriminal yang berhubungan dengan seksualitas.Sebab yang menjadi sumber dari syahwat sendiri adalah makanan dan minuman yang dikonsumsi oleh manusia sebagai sumber energi. Dalam hal ini puasa dapat dijadikan media untuk mengendalikannya, sebagaimana Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin menjelaskan sebagai berikut:

أنه قهر لعدو الله عز وجل, فإن وسيلة الشيطان لعنه الله الشهوات, وإنما تقوى الشهوات بالأكل والشرب, ولذالك قال صم: "إن الشيطان ليجري من ابن أدم مجرى الدم, فضيقوا مجاريه بالجوع, ولذلك قال صم لعائشة رضي الله عنها: "داومي قرع باب الجنة", قالت: بماذا؟ قال صم: "بالجوع"

Artinya: "Puasa dapat menundukkan musuh Allah, sebab media yang digunakan oleh setan ialah syahwat; dan syahwat menjadi kuat dengan makan dan minum. Karenanya Rasulullah saw bersabda: "Sungguh setan mengalir pada diri anak Adam dalam aliran darahnya, maka persempitlah tempat alirannya dengan lapar (puasa)". Rasulullah saw juga berkata pada Siti Aisyah ra: "Perbanyaklah mengetuk pintu surga". Aisyah bertanya: "Dengan apa?". "Dengan rasa lapar (puasa)". (Al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, [Jeddah, Darul Minhaj, 2011 M], juz II, halaman 101).

Puasa juga dalam hal ini dapat menjadi alternatif sarana para pemuda jomblo yang belum mampu untuk menikah. Nabi Muhammad saw sudah jauh-jauh hari memberi tips kepada pemuda jomblo yang belum mampu untuk menikah karena belum adanya biaya dengan cara mendawamkan puasa.

Berikut adalah hadits yang diriwayatkan Imam Al-Bukhari dalam Kitab Shahih-nya:

حدثنا عبدان عن أبي حمزة عن الأعمش عن إبراهيم عن علقمة قال: بينا أنا أمشي مع عبد الله رضي الله عنه فقال: كنا مع النبي صم فقال: من استطاع الباءة فليتزوج فإنه أغض للبصر, وأحصن للفرج. ومن لم يستطع فعليه بالصوم, فإنه له وجاء

Artinya: "Menceritakan kepada kami Abdan (Abdullah bin Utsman) dari Abi Hamzah dari Al-A'masyh dari Ibrahim dari Alqamah, ia berkata: "Ketika aku berjalan bersama Abdullah ra ia berkata: "Aku bersama Nabi saw, kemudian Nabi bersabda: "Barangsiapa mampu untuk menikah, maka menikahlah karena dapat menjaga pandangan mata dan menjaga kelamin. Barangsiapa belum mampu maka baginya berpuasa, karena puasa ialah perisai baginya". (Al-Bukhari).

Hadirin sekalian,

Selain sebagai sarana bagi pemuda jomblo untuk belajar mengendalikan syahwatnya, puasa juga dapat menjadi sarana untuk mengendalikan nafsu ghadabiyah (amarah) pada diri manusia. Karena puasa tidak hanya menuntut seseorang untuk menahan makan, minum dan syahwat seksual saja, melainkan juga menuntut untuk menjaga seseorang untuk tidak mencela, memusuhi orang lain serta mengendalikan amarah ketika ada yang mencela kita. Nabi Muhammad saw bersabda:

والصيام جنة, وإذا كان يوم صوم أحدكم فلا يرفث ولا يصخب. وإن سابه أحد أو قاتله فليقل: إني امرؤ صائم

Artinya: "Puasa adalah perisai, jika pada hari puasa salah satu dari kalian maka hendaknya ia tidak berkata kotor dan tidak memusuhi. Jika ada seseorang yang mencela atau memusuhinya hendaknya ia berkata: "Aku dalam keadaan berpuasa.". (HR Al-Bukhari).

Jamaah sholat Isya dan tarawih rahimakumullah,

Akhir kata, semoga puasa yang kita laksanakan tidak hanya mendapatkan lapar dan haus saja melainkan mendapatkan keberkahan karenanya. Serta menjadikan kita setelahnya terbiasa untuk mengendalikan diri baik dari jeratan syahwat dan amarah. Aamiin ya Rabbal alamiin. Wallahu a'alam.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ceramah Ramadan #10: Tips Ngabuburit Islami

Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh,

Pertama-tama marilah kita sampaikan rasa puji dan syukur kita kehadirat Allah SWT sehingga kita dapat berkumpul dalam kondisi sehat walafiat.

Shalawat serta salam kita kirimkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. Nabi yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang.

Hadirin yang saya hormati

Menjelang waktu berbuka puasa, umat muslimin di Indonesia biasanya menghabiskan waktu untuk melakukan aktivitas santai dengan menikmati suasana sore Ramadhan yang khas. tradisi ini kita kenal dengan sebutan ngabuburit.

Hanya saja, terkadang kita terlalu larut menikmati sore menjelang Magrib ini. Tidak jarang pula yang menggunakannya sebatas untuk nongkrong di pinggir jalan, menonton reels video di media sosial, atau sebatas tidur-tiduran sambil mengamati jarum jam yang terus berputar menuju waktu berbuka, dan banyak lainnya.

Padahal, waktu ngabuburit bisa kita gunakan untuk melakukan hal-hal positif yang bernilai ibadah. Tentu, sebagai momen panen pahala kita ingin kesempatan emas yang datang satu bulan sekali dalam setahun ini bisa dimanfaatkan dengan baik. Sayang sekali jika ngabuburit hanya dihabiskan untuk hal-hal kurang berfaedah atau bahkan berpotensi memicu maksiat. Alih-alih dapat pahala justru puasa berlalu tanpa makna. Ingat, Rasulullah pernah bersabda,

رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلاَّ الْجُوعُ

Artinya, "Betapa banyak orang yang berpuasa, ia tidak mendapat apa-apa kecuali rasa lapar." (HR Ibnu Majah)

Sebab itu, berikut penulis bagikan sejumlah tips agar ngabuburit kita memiliki nilai positif lebih dan menghasilkan pahala yang melimpah.

Yang pertama, Tadarus Al-Quran

Bulan Ramadhan dikenal dengan syahrul quran (bulan Al-Quran). Selain karena kitab suci umat Muslim turun pada bulan ini, Rasulullah saw juga menjadikan momen Ramadhan untuk memberikan perhatian lebih kepada Al-Quran. Ibnu Rajab Al-Hambali dalam Bughyatul Insān fī Wadzā'ifi Ramadhān saat menjelaskan anjuran perbanyak tadarus Al-Quran di bulan puasa mengutip hadits berikut,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدَ النَّاسِ وَكَانَ أَجْوَدُ مَا يَكُونُ فِي رَمَضَانَ حِينَ يَلْقَاهُ جِبْرِيلُ وَكَانَ يَلْقَاهُ فِي كُلِّ لَيْلَةٍ مِنْ رَمَضَانَ فَيُدَارِسُهُ الْقُرْآنَ فَلَرَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَجْوَدُ بِالْخَيْرِ مِنْ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ

Artinya, "Dari Ibnu Abbas berkata, "Rasulullah saw adalah manusia yang paling lembut terutama pada bulan Ramadhan ketika malaikat Jibril as menemuinya, dan adalah Jibril mendatanginya setiap malam di bulan Ramadhan, dimana Jibril mengajarkannya Al-Quran. Sungguh Rasulullah saw orang yang paling lembut daripada angin yang berhembus." (HR Al-Bukhari).

Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah saw menjadikan Ramadhan untuk lebih intens membaca Al-Quran. Para ulama sejak dulu pun demikian, bahkan ada juga yang bisa mengkhatamkan satu sampai dua kali dalam satu hari selama Ramadhan.

Yang kedua, Berbagi Takjil

Istilah takjil barangkali tidak asing lagi bagi umat Muslim saat bulan puasa. Takjil merupakan makanan atau minuman untuk mengawali buka puasa. Biasanya berupa yang manis-manis seperti sirup, es buah, buah-buahan, dan sebagainya. Kita bisa menjadikan waktu ngabuburit untuk bersedekah takjil kepada saudara sesama Muslim. Bersyukur, tampaknya berbagi takjil sudah menjadi tradisi di Indonesia. Kita bisa banyak menjumpainya saat sore hari di sejumlah jalan dan masjid atau mushala. Terkait keutamaan sedekah di bulan Ramadhan, Rasulullah bersabda,

مَنْ فَطَّرَ صَائِمًا كَانَ لَهُ مِثْلُ أَجْرِهِ غَيْرَ أَنَّهُ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الصَّائِمِ شَيْئًا

Artinya, "Barangsiapa memberi makan orang yang berpuasa, maka ia akan memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga." (HR At-Tirmidzi).

Dalam kesempatan lain, Syekh 'Izzuddin bin Abdissalam dalam Maqāshidush Shaum mengatakan,

فَمَنْ فَطَّرَ سِتَّةً وَ ثَلَاثِيْنَ صَائِمًا فِي كُلِّ سَنَةٍ فَكَاَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ وَ مَنْ كَثُرَ بِفِطْرِ الصَّائِمِيْنَ عَلَى هَذِهِ النِّيَّةِ كَتَبَ اللهُ لَهُ صَوْمَ عُصُوْرٍ وَ دُهُوْرٍ

Artinya, "Barang siapa memberi makanan pada 36 orang yang berpuasa setiap tahun, maka seakan-akan ia puasa satu tahun (karena kebaikan dilipatgandakan pahalanya sepuluh kali), dan barangsiapa memperbanyak memberi takjil atau makan dan minum untuk orang-orang yang berpuasa atas dasar niat ini, Allah mencatat baginya puasa berabad-abad dan bertahun-tahun." (('Izzuddin bin Abdissalam, Maqāshidush Shaum [Damaskus: Darul Fikr, 1992], h. 18)

Kalkulasi pahala ini berdasarkan rumus setiap satu amal kebaikan akan dibalas 10 kali lipat. Sehingga, memberi makan berbuka untuk 36 orang akan mendapat balasan pahala 360. Setara dengan jumlah hari dalam satu tahun. Meski dalam satu tahun ada 365 hari.

Yang ketiga, I'tikaf di Masjid

Menghabiskan waktu ngabuburit dengan beri'tikaf di masjid juga memiliki nilai pahala yang cukup tinggi. I'tikaf dilakukan dengan berdiam diri di dalam masjid sambil memperbanyak ibadah seperti shalat sunah, dzikir, dan membaca Al-Qur'an. Hal ini sudah biasa dilakukan oleh Rasulullah saw. Dalam satu hadits disebutkan,

كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

Artinya, "Rasulullah saw melaksanakan i'tikaf pada sepuluh (malam) terakhir dari bulan Ramadhan sampai beliau wafat, lalu (dilanjutkan) istri-istrinya yang i'tikaf sepeninggalnya." (HR Al-Bukhari).

Hadits di atas menjelaskan bahwa Rasulullah saw menjadikan sepuluh hari terakhir pada bulan Ramadhan untuk banyak beri'tikaf di masjid. Sebab, waktu-waktu tersebut merupakan momen potensial terjadinya Lailatul Qadar. Meski demikian, tidak ada salahnya jika kita beri'tikaf selama satu bulan penuh, sebab waktu terjadinya Lailatul Qadar juga berpotensi di selain sepuluh hari terakhir.

Yang keempat, Menuntut Ilmu

Mendengarkan kajian Ramadhan juga bisa menjadi pilihan tepat untuk mengisi waktu ngabuburit. Di era digital seperti sekarang, kita bisa banyak menjumpai kajian-kajian keislaman di media sosial. Banyak para pendakwah milenial membuat konten islami yang bisa kita akses. Selain itu, tidak sedikit pula kiai-kiai pesantren yang melakukan live streaming pengajian dari pesantren masing-masing. Ada banyak ayat Al-Qur'an dan hadits yang menyinggung soal keutamaan dan pahala menuntut ilmu. Salah satunya sabda Rasulullah saw,

وَإِنَّ فَضْلَ الْعَالِمِ على الْعَابِدِ كَفَضْلِ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ عَلَى سَائِرِ الْكَوَاكِبِ

Artinya, "Sesungguhnya keutamaan orang yang berilmu dibanding ahli ibadah seperti keutamaan bulan di malam purnama dibanding seluruh bintang- bintang." (HR Abu Dawud).

Nah, itulah ceramah singkat yang dapat saya sampaikan. Mari jadikan momen Ramadhan tahun ini lebih maksimal lagi dalam beribadah dan meraih pahala sebanyak mungkin. Selamat menjalankan ibadah puasa.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ceramah Ramadan #11: Puasa Mata

Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,

Mata adalah salah satu kenikmatan Allah yang sangat agung. Dengan mata, kita dapat melakukan berbagai aktivitas. Mata juga bisa memasukkan kita ke surga atau menjerumuskan ke neraka. Semua tergantung bentuk aktivitas yang dilakukan oleh mata. Salah satu hal yang harus dihindari oleh mata adalah menghindari pandangan yang tidak halal baginya. Apalagi kita sedang berpuasa, maka puasa mata menjadi sebuah ajang pelatihan yang berat untuk mendidik jiwa yang bertakwa. Karena tujuan puasa adalah untuk mencapai tingkatan mutaqin.

Jamaah yang berbahagia,

Puasa mata sungguh lebih sulit di era modern ini, karena manusia diciptakan untuk tertarik kepada lawan jenis. Di era modern ini, mayoritas wanita sudah kehilangan rasa malunya. Mereka keluar rumah dengan mengenakan pakaian yang membuka aurat. Mereka ada di mana-mana; di TV, di internet, koran, majalah, di kendaraan umum, sekolah, kampus, papan iklan, terlebih lagi di jalanan atau pusat perbelanjaan (mal). Seolah-olah di dunia ini tidak tersisa lagi tempat yang tidak ada wanita yang mengumbar aurat, memamerkan kemolekan dan kecantikan tubuhnya. Bahkan di tempat pengajian dan masjid sekalipun, ada saja wanita yang tidak sungkan mempertontonkan bentuk tubuhnya dengan jilbab modis, pakaian yang memperlihatkan lekuk tubuh, dan parfumnya yang mencolok. Tentu kondisi semacam ini menjadi tantangan yang berat bagi seorang muslim yang ingin mempertahankan kesempurnaan puasanya.

Oleh karena itu, selain dituntut untuk menjaga aurat dan cara berpakaian yang syar'i, laki-laki atau wanita dituntut juga untuk bisa menahan pandangannya dari hal-hal yang diharamkan oleh Allah. Sebagaimana Allah jelaskan dalam surat an-Nûr, ayat 30-31: "Katakanlah kepada orang laki-laki "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan memelihara yang beriman: kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat." Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya."

Menahan pandangan bukan berarti menutup atau memejamkan mata hingga tidak melihat sama sekali atau menundukkan pandangan ke tanah saja, karena bukan ini yang dimaksudkan, selain tentunya tidak akan mampu dilaksanakan. Tetapi yang dimaksud adalah menjaganya dan tidak melepas kendalinya hingga menjadi liar, mengamati, dan menikmati kecantikan atau kegantengan seseorang. Rasulullah bersabda, "Pandangan adalah panah beracun dari panah-panah Iblis. Barangsiapa yang menundukkan pandangannya dari keelokan wanita yang cantik karena Allah, maka Allah akan memasukkan ke dalam hatinya manisnya iman sampai hari kiamat." (HR.Ahmad).

Kaum muslimin wal muslimat yang dimuliakan Allah,

Pandangan mata itu perlu dijaga, karena banyak sekali akibat negatif yang ditimbulkannya. Seorang penyair Arab bertutur, "Semua bencana itu bersumber dari pandangan, sebagaimana api yang besar itu bersumber dari percikan bunga api. Betapa banyak pandangan yang menancap ke dalam hati seseorang, seperti panah yang terlepas dari busurnya. Berasal dari matalah semua marabahaya. Mudah beban melakukannya, dilihat pun tak berbahaya. Tapi, jangan ucapkan selamat datang kepada kesenangan sesaat yang kembali dengan membawa bencana." Adapun menurut Ibnul Qayyim, pandangan mata yang haram akan melahirkan lintasan pikiran, sedang lintasan pikiran melahirkan ide, lalu ide memunculkan nafsu. Nafsu akan melahirkan kehendak, kemudian kehendak itu menguat hingga menjadi tekad yang kuat dan biasanya diwujudkan dalam amal perbuatan zina. Salah seorang penyair berkata, "Bermula dari pandangan, senyuman, lalu salam, kemudian bercakap-cakap, membuat janji, akhirnya bertemu." Di samping itu, menurut Hudzaifah, pandangan maksiat dapat merusak amal. Beliau berkata, "Barang siapa membayangkan bentuk tubuh perempuan di balik bajunya, berarti ia telah membatalkan puasanya."

Oleh karena itu, tidak ada cara lain untuk menjaga mata kecuali dengan selalu mengingat kehadiran Allah dan menjauhi penyebab mengumbar pandangan. Segera palingkan pandangan ketika tanpa sengaja melihat sesuatu yang haram.

Ceramah Ramadan #12: Keutamaan Bulan Ramadan

Kaum muslimin yang dimuliakan Allah,

Adalah hak Allah pribadi untuk memuliakan suatu waktu atas waktu lain, suatu hari atas hari lain, atau suatu bulan atas bulan lain. Misalnya, Allah memuliakan bulan Ramadhan atas bulan- bulan lain. Tentu ketika Allah memuliakan sesuatu itu karena di dalamnya terdapat kemuliaan dan keistimewaan yang tidak dimiliki oleh lainnya. Dengan memiliki pemahaman demikian, kita akan mampu meningkatkan kepekaan diri untuk menggapai berbagai keutamaan yang ada dalam bulan Ramadhan ini.

Dalam bulan Ramadhan ini, Allah telah menebarkan berbagai keutamaan dan karunia kepada hamba-hamba-Nya yang beriman. Di antara keutamaan tersebut adalah dibukanya pintu- pintu surga, ditutupnya pintu-pintu neraka, serta dibelenggunya setan-setan. Sebagaimana disabdakan oleh Rasulullah, "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa di dalamnya; pada bulan ini pintu-pintu surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan dibelenggu." (HR. Ahmad dan an-Nasa'i).

Hadis ini memberikan pengertian bahwa dengan datang- nya bulan Ramadhan, berbagai pintu amal kebaikan terbuka lebar. Semua orang beriman mempunyai kesempatan untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadahnya. Karena selain pintu kebaikan terbuka, Allah pun menolong hamba-Nya dengan memenjarakan para penggoda utama, yaitu setan. Kalau di luar Ramadhan setan dapat dengan leluasa melancarkan serangannya dengan berbagai godaan dan tipu daya, maka di bulan yang suci ini gerakan setan tertahan dengan izin Allah. Kalaupun pada bulan ini masih ada yang berbuat maksiat, bisa saja itu muncul dari hawa nafsu manusia itu sendiri. Karena hawa nafsu jika tidak dikendalikan dengan landasan keimanan dan kejernihan hati, maka ia cenderung mendorong manusia kepada perbuatan yang buruk. (QS. asy-Syams: 8-10).

Ma'âsyiral muslimîn rahimakumullâh,

Keutamaan lain yang hanya ada di bulan Ramadhan adalah adanya lima keutamaan khusus untuk umat Muhammad sebagaimana sabda Rasulullah, "Umatku pada bulan Ramadhan diberi lima keutamaan yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya, yaitu: bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah daripada aroma kasturi, para malaikat memohonkan ampunan bagi mereka sampai mereka berbuka, Allah 'azza wa jalla setiap hari menghiasi surga-Nya lalu berkalam (kepada surga), "Hampir tiba saatnya para hamba-Ku yang saleh dibebaskan dari beban dan derita mereka menuju kepadamu," pada bulan ini para jin yang jahat diikat sehingga mereka tidak bebas bergerak seperti pada bulan lainnya, dan diberikan ampunan untuk umatku pada akhir malam." Beliau ditanya, "Wahai Rasulullah, apakah itu pada Lailatul Qadar?" Jawab beliau, "Tidak, namun orang yang beramal tentu diberi balasannya jika menyelesaikan amalnya." (HR. Ahmad) Isnad hadis tersebut dhaif, dan di antara bagiannya ada nas-nas lain yang memperkuatnya.

Jamaah yang dimuliakan Allah,

Yang terakhir dan ini sudah sangat populer, yaitu keutamaan malam lailatul qadar yang kebaikannya sama dengan seribu bulan. Sebagaimana Allah sebutkan dalam surat al-Qadr: 3, "Malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan." Seribu bulan ini kalau kita hitung, kurang lebih setara dengan 83 tahun. Itu merupakan jangka waktu yang belum tentu kita semua bisa mendapatkannya. Karena rata-rata umur umat Muhammad adalah antara 60-70 tahun.

Melihat berbagai keutamaan yang Allah janjikan pada bulan Ramadhan, maka sudah sepatutnya sebagai umat Nabi Muhammad yang masih diberi kesempatan umur sampai bulan Ramadhan ini, mampu bersyukur dengan memaksimalkan seluruh kesempatan yang ada untuk menumpuk inventasi amal di akhirat. Dari mulai berzikir, sedekah, iktikaf, menolong sesama dan qiyamul lail. Semua itu dilakukan untuk mencari ridha Allah. Sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah bersabda, "Barangsiapa berpuasa pada bulan Ramadhan karena iman dan mencari keridhaan Allah, maka diampunilah dosa-dosanya yang telah lalu." (HR. Bukhari)

Ceramah Ramadan #13: Cara Berpuasa yang Benar

Hadirin dan hadirat yang dimuliakan Allah 35, Allah berkalam dalam Al-Qur'an, surat al-Baqarah,ayat 183:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُون

"Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa."

Dalam ayat ini, Allah menegaskan kewajiban puasa Ramadhan bagi umat Islam. Maka barang siapa mengingkari kewajiban puasa Ramadhan, berarti dia telah murtad dan kafir, harus disuruh bertobat. Puasa Ramadhan diwajibkan mulai pada tahun kedua hijriah. Puasa Ramadhan wajib bagi setiap muslim yang telah akil balig dan berakal sehat.

Selain syarat kewajiban di atas, puasa dianggap sah jika memenuhi dua hal yang dikenal dengan rukun puasa. Pertama, niat mengerjakan puasa yang ditetapkan pada setiap malam bulan Ramadhan (untuk puasa wajib), atau hari yang hendak berpuasa (puasa sunat). Sebagian ulama (di antaranya mazhab Maliki) tidak mewajibkan niat di setiap malam bulan Ramadhan. Tetapi cukup di awal malam bulan Ramadhan, dengan niat akan melakukan puasa sebulan penuh di bulan Ramadhan. Waktu berniat adalah mulai dari terbenamnya matahari hingga terbit fajar. Niat ini tidak perlu disuarakan dengan keras, karena niat tempatnya dalam hati. Selain itu, niat yang dilafalkan dengan suara keras juga tidak pernah diajarkan oleh Rasulullah.

Kedua, meninggalkan segala hal yang membatalkan puasa, mulai terbit fajar sehingga terbenamnya matahari. Hal- hal yang membatalkan puasa seperti makan, minum, merokok, memasukkan sesuatu ke dalam rongga badan, muntah dengan sengaja, dan bersetubuh atau mengeluarkan mani dengan sengaja, kedatangan haid atau nifas, melahirkan anak atau keguguran, gila walaupun sekejap, mabuk ataupun pingsan sepanjang hari, dan murtad atau keluar dari agama Islam. Adapun apabila makan dan minum tidak dengan sengaja, maka hal itu tidak membatalkan puasa. Hal ini tercantum dalam sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim, dari Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, "Apabila (seorang di antaramu) lupa lalu ia makan dan minum (padahal ia sedang berpuasa), maka hendaklah ia teruskan puasanya karena Allahlah yang telah memberinya makan dan minum." (HR. Bukhari dan Muslim).

Jamaah yang dimuliakan Allah,

Di samping hal-hal yang telah disebutkan di atas, ada beberapa sunnah puasa yang perlu dijaga ketika berpuasa, di antaranya adalah

  • Makan sahur, Rasulullah bersabda, "Makan sahurlah kalian, karena sesungguhnya dalam makan sahur itu terdapat keberkahan." (HR. Bukhari-Muslim).
  • Mengakhirkan makan sahur, sekitar setengah jam sebelum masuk waktu subuh. Ini tersebut dalam riwayat Anas, bahwa Zaid bin Tsåbit bercerita kepadanya, "Kami pernah makan sahur bersama Rasulullah Kemudian kami melaksanakan salat." Kemudian saya (Anas) bertanya, "Berapa lamakah waktu antara keduanya (antara makan sahur dengan salat)?" Zaid menjawab, "Sekira bacaan lima puluh ayat." (HR. Bukhari).
  • Menyegerakan berbuka, sebagaimana sabda Rasulullah "Orang-orang akan tetap dalam kebaikan selama mereka menyegerakan berbuka." (HR. Bukhari Muslim).
  • Berbuka dengan kurma, kalau tidak ada dengan air putih. Salah satu hikmah berbuka dengan kurma, dikarenakan kurma mengandung banyak glukosa yang sangat dibutuhkan tubuh yang baru saja berpuasa. Dalam sebuah riwayat diterangkan, "Hendaknya ia berbuka dengan kurma. Jika tidak mendapatkannya, hendaknya ia berbuka dengan air, karena air itu suci." (HR. Bukhari Muslim).
  • Berdoa sehabis berbuka, karena saat tersebut termasuk waktu di mana doa mudah dikabulkan. "Sesungguhnya bagi orang yang berpuasa ketika saat berbuka ada doa yang tidak ditolak" (HR. Ibnu Majah). Salah satu doa yang diajarkan Rasulullah adalah:

ذَهَبَ الظَّمَأُ وَ ابْتَلَتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الْأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى

"Telah hilang dahaga dan telah basah urat-urat, dan telah ditetapkan pahala Insya Allah." (HR. Abu Dawud, an-Nasâ'i dan dihasankan oleh asy-Syaikh al-Albâni).

Semoga kita semua diberikan kekuatan untuk menjalakan ibadah puasa dengan benar.

Ceramah Ramadan #14: Membangun Kesalehan Lingkungan

Pemuka agama, terutama mubaligh dan penceramah, sudah cukup sukses mempopulerkan kesalehan personal-individual yang ditandai dengan intensitas perilaku seseorang pada ibadah mahdhah atau ibadah murni yang kaitannya dengan Allah, misalnya dengan ibadah sunah yang sangat beragam.

Pemuka agama juga cukup sukses memopulerkan kesalehan sosial yang ditandai dengan kebaikan seseorang dalam bidang muamalah atau segala interaksi sosial dalam bentuk akad atau transaksi ekonomi, kepedulian sosial, toleransi, dan sikap ramah terhadap sesama.

Tetapi pemuka agama mulai hari ini perlu memopulerkan kesalehan lingkungan atau kesalehan ekologis, yaitu sebuah nilai yang menandai kesalehan individu dari sikap ramah terhadap lingkungan. Padahal kita mengetahui bahwa kita telah merasakan sendiri dampak kerusakan lingkungan dengan berbagai indikatornya, yaitu pemanasan global; pencemaran pada tanah, udara, dan air; banjir; gempa; rob, krisis air bersih; punahnya ragam hayati; dan juga kerusakan pada dasar laut.

Kesalehan lingkungan dapat diwujudkan oleh seorang muslim dengan melakukan penghijauhan, membuang sampah pada tempatnya, mengurangi emisi karbon dengan menggunakan transportasi publik, meminimalisasi penggunaan plastik dengan membawa tumbler pada sebuah acara atau goodybag saat berbelanja, menggunakan listrik secara hemat dengan mematikan alat elektronik yang tidak terpakai, dan berhemat menggunakan air.

Kecuali itu, kesalehan lingkungan dapat diwujudkan dengan menghindari pembukaan lahan dengan cara pembakaran hutan, penangkapan ikan dengan alat berat, pengusiran hama dengan pestisida atau zat berbahaya lainnya, alih fungsi lahan dari lahan hijau menjadi lahan perumahan atau lahan industri, ekstraksi besar-besaran sumber daya alam, dan tindakan mafsadah atau tindakan lain yang merusak alam.

Islam sendiri menitipkan amanah penciptaan manusia sebagai khalifah yang menjaga kelestarian alam dan keberlanjutan bumi. Surat Al-Baqarah ayat 30 mengisahkan rencana Allah terkait penciptaan manusia kepada malaikat.

وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ

Artinya, "Ingatlah ketika Tuhanmu berkata kepada malaikat, 'Aku berencana menciptakan khalifah di muka bumi. malaikat menjawab, 'Apakah Kau akan menciptakan makhluk yang merusak dan bertikai menumpahkan darah di dalamnya?'" (Surat Al-Baqarah ayat 30).

Dari ayat ini kita mendapatkan isyarat bahwa manusia diciptakan untuk merawat bumi, tidak merusak, dan menumpahkan darah. Ulama dulu bersepakat bahwa tindakan merusak adalah berbuat maksiat yang hari ini tidak hanya diartikan sebagai maksiat personal-individual, maksiat sosial, tetapi juga maksiat ekologis atau dosa lingkungan karena berdampak pada mafsadah atau kerusakan alam.

Kita perlu menginternalisasi nilai-nilai kesalehan lingkungan sehingga tertanam di dalam diri kita sebuah dosa menurut syariat ketika kita melakukan mafsadat atau tindakan kerusakan terhadap alam atau lingkungan. Sebaliknya, kita akan mendapatkan pahala atau kebaikan menurut syariat bila melakukan tindakan ramah lingkungan. Allah berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا

Artinya, "Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik," (Al-A'raf ayat 56).

Sementara kita mengetahui kaidah ushuliyah yang mengatakan, "An-Nahyu yadullu 'ala fasadil manhiyyi 'anhu," atau "Larangan agama menunjukkan mafsadat atau kerusakan menurut syariat pada tindakan tersebut," dalam konteks ini berbuat kerusakan di muka bumi.

Oleh ulama tafsir zaman dahulu (Abad Pertengahan), mafsadah pada ayat ini dipahami sebagai perbuatan dosa atau maksiat yang bersifat personal-individual. Hal ini dapat dimaklumi karena masalah lingkungan belum menjadi masalah manusia pada zaman tersebut. Sedangkan krisis lingkungan menjadi ancaman umat manusia abad ini yang terus mengalami eskalasi pasca-revolusi industri dan perkembangan teknologi.

Hari ini arti mafsadah pada Surat Al-Araf ayat 56 dapat diperluas sebagai perbuatan dosa atau maksiat ekologis atau dosa lingkungan. Dengan demikian ada kesadaran ekologis pada diri umat Islam sehingga mereka juga menjadikan nilai-nilai kesalehan lingkungan yang syar'i sebagai tolok ukur atas perbuatan sehari-hari mereka.

Kita pun menyadari bahwa kesalehan ekologis atau kesalehan lingkungan demikian juga dosa lingkungan atau maksiat ekologis memerlukan sosialisasi, dakwah, dan ceramah dalam jangka waktu agak panjang untuk menginternalisasikan nilai-nilai kesalehan ekologis di masyarakat. Pasalnya, kajian Islam dan lingkungan terbilang kajian yang jauh lebih muda dibandingkan dengan kajian Islam lainnya, seperti relasi Islam dan perempuan atau Islam dan sains itu sendiri.

Penulis kira, krisis lingkungan atau perubahan iklim merupakan bahaya dan ancaman di depan mata umat manusia hari ini. Inilah saatnya bagi kita umat beragama untuk berkontribusi melestarikan lingkungan, menjaga keasrian bumi, dan merawat alam semesta baik laut, hutan, gunung, daratan, dan juga udara yang menjadi ruang hidup kita bersama. Ini saatnya kita memulai gerakan penyadaran pada bentuk kesalehan baru. Kalau bukan sekarang kapan lagi. Wallahu a'lam.

Contoh ceramah Ramadan yang lain ada di halaman selanjutnya...

Ceramah Ramadan #15: Tiga Hal yang Membatalkan Pahala Puasa

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Alhamdulillahi robbil alamin

Puji syukur atas kehadiran Allah SWT atas segala nikmat yang diberikan sehingga kita semua berkumpul di sini dalam keadaan sehat wal afiat. Tak lupa shalawat serta salam sentiasa kita peruntukkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW.

Hadirin yang senantiasa dalam lindungan Allah SWT

Alhamdulillah kita telah memasuki hari ketiga puasa Ramadhan. Tentu banyak hal yang telah dilakukan selama puasa berjalan sejak hari pertama. Dan yang perlu mendapat perhatian adalah terkait hal yang membatalkan pahala puasa. Sehingga puasa tidak semata menggugurkan kewajiban.

Karena ujung dari diwajibkannya puasa adalah melahirkan insan bertaqwa, maka sudah selayaknya harus menjadi sebuah momentum untuk meninggalkan maksiat. Sehingga jangan sampai puasa hanya mendapatkan haus dan lapar. Hal ini sebagaimana hadits Rasulullah:

كَمْ مِنْ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْع وَالْعَطْش

Artinya: Betapa banyak orang yang berpuasa namun dia tidak mendapatkan sesuatu dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga. (HR An-Nasa'i).

Hadits di atas secara jelas memberikan suatu pengertian bahwa betapa banyak orang melakukan puasa dan sukses mencegah dirinya dari hal-hal yang membatalkan puasa, hanya saja tidak mendapatkan pahala. Lantas apa saja penyebab yang bisa menghilangkan pahala puasa?

Dalam kitab Al-Fawaidul Mukhtarah li Saliki Tariqil Akhirah memberikan tiga penafsiran terkait hadits di atas.

1. Tetap Melakukan Tindakan Buruk

Orang berpuasa tapi tidak meninggalkan pekerjaan-pekerjaan yang bisa menghilangkan pahala puasa, seperti, menggunjing orang lain, mengadu domba, dan berbohong. Alasan ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits:

خمسٌ يُفطِرن الصّائِم: الغِيبةُ، والنّمِيمةُ، والكذِبُ، والنّظرُ بِالشّهوةِ، واليمِينُ الكاذِبةُ

Artinya: "Lima hal yang bisa membatalkan pahala orang berpuasa: Membicarakan orang lain, mengadu domba, berbohong, melihat dengan syahwat, dan sumpah palsu." (HR Ad-Dailami).

2. Ingin Dipuji

Dalam hati orang yang berpuasa ada sifat riya' (ingin dipuji oleh orang lain) atau merasa bahwa dirinya lebih baik dari yang lain. Karena ini juga dapat menghilangkan pahala puasa.

Untuk poin ini, Habib Zain bin Smith menyampaikan suatu hikayat. Pada suatu hari ada seseorang yang menghadiri majelis Syekh Abdul Qadir al-Jailani, kemudian dihidangkan di hadapannya suatu makanan. Syekh Abdul Qadir berkata: "Makanlah!" "Saya puasa," jawab orang tersebut. "Makanlah! Saya akan menjamin pahalamu satu hari penuh dan diterima di hadapan Allah Subhanahu Wata'ala," lanjut Syekh Abdul Qadir.

Ternyata orang tersebut tidak mau. "Makanlah! Saya akan menjamin pahalamu satu bulan penuh dan diterima di hadapan Allah subhanahu wata'ala," tegas Syekh Abdul Qadir. Namun, lagi-lagi orang tersebut tidak mau. Syekh Abdul Qadir kembali mengatakan: "Makanlah! Saya akan menjamin pahalamu satu tahun penuh dan diterima di hadapan Allah subhanahu wata'ala." Namun, sikap seperti pertama saat ia datang tidak kunjung berubah, dan tidak mau makan apa yang dihidangkan di hadapannya. Dengan itulah, akhirnya Syekh Abdul Qadir mengatakan: "Tinggalkanlah, engkau telah hina di hadapan Allah subhanahu wata'ala." Dan setelah kejadian itu orang tersebut menjadi Nasrani bahkan mati dalam keadaan kafir, naudzubillah.

Kisah ini berlaku dalam konteks puasa sunnah, tidak dalam puasa fardhu. Sebab, dalam puasa fardhu seseorang tidak boleh berbuka sepanjang tidak ada alasan yang bisa dibenarkan. Membatalkan puasa wajib hanya karena menjadi tamu tidak diperkenankan, kecuali dalam kasus puasa sunah.

3. Berbuka dengan yang Haram

Termasuk sesuatu yang bisa menghilangkan pahala puasa adalah berbuka puasa dengan sesuatu yang haram. Di samping bisa menghilangkan pahala puasa, lebih dari itu berbuka dengan sesuatu yang haram juga bisa membuat seseorang merasa berat untuk melakukan suatu ibadah, sehingga akan sangat mudah meninggalkannya. Dengan kata lain, berbuka puasa dengan makanan haram bisa membuat diri seseorang yang puasa malas beribadah.

Harus disadari bahwa ketiga hal tadi sangat berdampak negatif bagi orang yang melakukan puasa. Karena, jika tetap melakukannya, orang yang berpuasa hanya bisa melakukan puasa tanpa mendapatkan pahalanya.

Demikianlah ceramah yang dapat saya sampaikan, lebih dan kurangnya mohon dimaafkan. Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ceramah Ramadan #16: Meraih Dua Manfaat Shalat Tarawih

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

الحمدُ لِلَّهِ الَّذِي كَانَ بِعِبَادِهِ خَبِيرًا بَصِيرًا، تَبَارَكَ الَّذِي جَعَلَ فِي السَّمَاءِ بُرُوجًا وَجَعَلَ فِيهَا سِرَاجًا وَقَمرًا مُنِيرًا. أشهد اَنْ لاَ إِلَهَ إِلا اللهُ وأشهد أن محمدا عبده ورسوله الَّذِي بَعَثَهُ بِالْحَقِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا، وَدَاعِيَا إِلَى الْحَقِّ بِإِذْنِهِ وسِرَاجًا منيرا . اللهم صل عليه وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا . أما بعد.

Segala puji bagi Allah, Maha Mengetahui, Maha Melihat, Maha suci Allah. Dialah yang menciptakan bintang-bintang di langit, menjadi penerang malam berteman cahaya bulan. Dan kita pun bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah, dan kita bersaksi bahwa Nabi Muhammad adalah hamba-Nya dan Rasul-Nya, yang diutus dengan kebenaran. Oleh sebab itu, mari kita senantiasa membaca shalawat untuknya.

Ma'asyiral Muslimin rahimakumullah,

Saat ini kita semua berada di bulan yang sangat berkah, yaitu bulan Ramadhan, dimana semua amal ibadah dan kebajikan dilipatgandakan oleh Allah, pintu-pintu-pintu surga terbuka lebar, pintu-pintu neraka tertutup rapat. Maka, sangat rugi orang-orang yang tidak bisa meraih manfaat dan keberkahan di dalamnya. Karenanya, mari kita semua berlomba-lomba untuk bisa mendapatkan semua keberkahan dan manfaat tersebut.

Salah satu ibadah yang sangat banyak faedah dan manfaatnya untuk kita semua di bulan Ramadhan ini adalah menunaikan shalat sunnah Tarawih dengan istiqamah di setiap malam Ramadhan. Sebab, shalat sunnah yang satu ini hanya dianjurkan di bulan ini saja. Karena itu, mari kita jaga, kita tunaikan, dan lestarikan dengan istiqomah.

Anjuran shalat Tarawih pada malam bulan Ramadhan berdasarkan hadits Nabi Muhammad yang diriwayatkan oleh sahabat Abu Hurairah, dan dinilai sahih oleh dua ahli hadits terkemuka, yaitu Imam Al-Bukhari dan Muslim, bahwa Nabi saw bersabda:

مَنْ قَامَ رَمَضَانَ وَصَامَهُ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

Artinya, "Barangsiapa beribadah (pada malam hari) bulan Ramadhan dan berpuasa karena iman dan mengharap pahala (dari Allah), maka diampuni dosa-dosanya yang telah berlalu." (Muttafaq Alaih).

Imam Abu Zakaria Yahya bin Syaraf an-Nawawi dalam kitab Syarhun Nawawi 'ala Muslim, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan beribadah pada malam hari bulan Ramadhan adalah dengan mengerjakan shalat sunnah Tarawih. Karena itu, mari kita jaga ibadah puasa kita di bulan ini, dan juga kita maksimalkan ibadah shalat Tarawih, agar bisa mendapatkan ampunan dari Allah SWT sebagaimana hadits tersebut.

Ma'asyiral Muslimin rahimakumullah

Terdapat dua manfaat yang sangat besar bagi orang-orang yang mengerjakan shalat sunnah Tarawih, yaitu (1) manfaat rohani; dan (2) manfaat jasmani. Manfaat rohani adalah diampuninya segala dosa-dosa yang pernah kita lakukan oleh Allah SWT, sebagaimana dijelaskan pada hadits di atas, dan tentu juga mendapatkan banyak pahala dari-Nya.

Dosa-dosa yang diampuni oleh Allah disebabkan shalat Tarawih adalah dosa-dosa kecil yang pernah kita lakukan selama ini. Hanya saja, bukan tidak mungkin Allah mengampuni dosa-dosa besar yang pernah kita lakukan. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Imam Abu Thayyib ketika menjelaskan hadits di atas, ia mengatakan dalam kitabnya 'Aunul Ma'bud Syarhu Sunan Abi Dawud:

أَيْ مِنَ الصَّغَائِرِ وَيُرْجَى غُفْرَانُ الْكَبَائِرِ

Artinya: "Yaitu, mulai dari dosa-dosa kecil, dan diharapkan ampunan dosa-dosa besar."

Sedangkan manfaat jasmani dari shalat Tarawih adalah untuk kesehatan tubuh, serta terhindar dari penyakit-penyakit makanan yang dikonsumsi ketika berbuka puasa. Hal ini sebagaimana ditegaskan oleh Syekh Muhyiddin Mistu dalam kitabnya, As-Shaumu Fiqhuhu wa Asraruhu, halaman 111, ia mengatakan:

صَلَاةُ التَّرَاوِيْحِ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ لِلرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ وَهِيَ عِشْرُوْنَ رَكْعَةً وَتُفِيْدُ هَضْمَ الطَّعَامِ وَتَنْشِيْطَ الْجِسْمِ وَمَغْفِرَةَ الذُّنُوْبِ

Artinya: "Shalat tarawih sangat dianjurkan bagi laki-laki dan perempuan, yaitu terdiri dari 20 rakaat, dan berfaedah menghancurkan makanan (dalam perut), membangkitkan semangat ibadah, dan ampunan dosa-dosa."

Ma'asyiral Muslimin rahimakumullah

Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa shalat Tarawih memiliki manfaat dan keutamaan yang sangat luar biasa. Karenanya, mari kita kita maksimalkan dan kita istiqomah-kan shalat sunnah yang satu ini, guna meraih dua manfaat tersebut, yaitu ampunan dari Allah atas semua dosa-dosa dan kesehatan badan.

Demikian ceramah perihal keutamaan dan manfaat dari shalat Tarawih. Semoga bermanfaat dan membawa berkah bagi kita semua, serta bisa menjadi penyebab untuk meningkatkan ibadah, kebajikan, ketakwaan, keimanan, dan menjauhi segala larangan. Semoga kita termasuk orang-orang yang bisa meraih manfaat dan keberkahan dalam bulan Ramadhan, amin.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Ceramah Ramadan #17: Puasa Mulut

Jamaah yang dimuliakan Allah

Orang yang berpuasa tidak hanya sekedar menahan dirinya dari lapar dan dahaga, namun ia juga harus menjaga seluruh tubuhnya dari perbuatan dosa. Di antara anggota tubuh yang harus dijaga dan diajak berpuasa adalah lisan dan mulut kita. Mulut adalah jalan kebaikan dan juga jalan keburukan. Apabila orang mampu menjaga mulutnya dari menyakiti orang lain dan digunakan untuk kebaikan, maka mulut akan mengantarkan kepada keselamatan di dunia maupun di akhirat. Namun sebaliknya, apabila mulut diumbar untuk menyakiti orang dan berbuat berbagai kemungkaran, maka mulut akan menjerumuskan kepada kehancuran serta kehinaan dunia dan akhirat. Suatu ketika, Rasulullah memberikan wasiat kepada Mu'adz untuk menjaga mulutnya. Mu'adz kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah kami akan disiksa karena ucapan kami?" Rasulullah menjawab,

"Celaka ibumu, hai Mu'adz, manusia tidaklah ditelungkupkan di atas wajah mereka ke dalam api neraka kecuali karena hasil panenan lidah mereka." (HR. Ahmad). Dalam riwayat lain, Rasulullah bersabda, "Barang siapa bisa memberikan jaminan kepadaku (untuk menjaga) apa yang ada di antara dua janggutnya dan dua kakinya, maka kuberikan kepadanya jaminan masuk surga." (HR. al-Bukhari). Yang dimaksud dengan apa yang ada di antara dua janggutnya adalah mulut, sedangkan apa yang ada di antara kedua kakinya adalah kemaluan.

Kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia,

Kemampuan seseorang dalam menjaga mulutnya menunjukkan ketinggian budi pekertinya. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa, ada seorang laki-laki yang bertanya kepada Rasulullah, "Siapakah orang muslim yang paling baik?" Beliau menjawab, "Seseorang yang orang-orang muslim yang lain selamat dari gangguan lisan dan tangannya." Oleh karena itu, kesadaran para salafus saleh tentang pentingnya puasa mulut ini, menjadikan mereka sangat hati-hati dalam berbicara. Mereka tahu betul konsekuensi dari apa yang diucapkan. Mereka berpikir sebelum mengucapkan perkataan. Kalaupun harus berkata, maka secukupnya saja. Suatu ketika, Abu Bakar pernah memegang lidahnya sembari menangis dan berkata, "Ini yang telah mendatangkan banyak hal padaku." Ibnu Mas'ud berkata, "Demi Allah, tidak ada di dunia ini yang lebih berhak dijaga lebih lama daripada lidah."

Jamaah yang dimuliakan Allah Swt

Di bulan puasa ini, kita dididik untuk mampu menjaga lisan kita. Jangan sampai lisan kita mengucapkan sesuatu yang bertentangan dengan tujuan puasa. Orang yang berpuasa harus mampu menjaga lisan dari berdusta, menggunjing, mengadu domba, mengolok-olok, melaknat, mencela, bersaksi palsu, merendahkan orang lain, berkata mengada-ada, dan lain-lain. Karena semua itu bisa menyia-nyiakan ibadah puasa. Sebagaimana Rasulullah bersabda, "Barang siapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum." (HR. al-Bukhari).

Termasuk dalam menjaga mulut adalah meninggalkan segala perbuatan yang bisa keluar dari mulut. Misalnya cepat marah dan emosi hanya karena sebab sepele. Dalam kondisi semacam itu, seseorang harus segera sadar bahwa ia sedang puasa. Jika Anda diuji dengan seorang yang jahil atau pengumpat, jangan membalas dia dengan perbuatan serupa. Menasihati dan tolaklah ia dengan cara yang lebih baik. Nabi bersabda, "Puasa adalah perisai. Bila suatu hari seseorang dari kalian berpuasa, hendaknya ia tidak berkata buruk dan berteriak-teriak. Bila seseorang menghina atau mencacinya, hendaknya ia berkata, 'Sesungguhnya aku sedang puasa." (HR. Muslim).

Imam Abu Hâtim Ibnu Hibbân al-Busti berkata, "Orang yang berakal selayaknya lebih banyak diam daripada bicara. Karena betapa banyak orang yang menyesal lantaran bicara, dan sedikit yang menyesal karena diam. Orang yang paling celaka dan paling besar mendapat bagian musibah adalah orang yang lisannya senantiasa berbicara, sedangkan pikirannya tidak mau jalan."

Kalau dalam bahasa kita, sebagian orang mengistilahkan, "Mulutmu adalah harimaumu." Semoga kita semua mampu menahan mulut kita dari segala ucapan yang tidak diridhai Allah, baik selama bulan Ramadhan ataupun di luar Ramadhan. Amin.

Ceramah Ramadan #18: Ramadhan sebagai Madrasah Sabar

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah yang telah memberikan anugerah dan karunia yang sangat besar kepada kita. Sehingga kita bisa hadir dalam masjid yang mulia ini untuk melaksanakan shalat fardhu Isya dan Tarawih secara berjamaah.

Shalawat dan salam kita kirimkan kepada nabi junjungan kita, Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Nabi yang telah membawa kita dari alam kegelapan menuju alam yang terang benderang seperti yang kita rasakan saat ini.

Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah

Pada malam hari ini, izinkanlah saya menyampaikan sebuah ceramah singkat yang berjudul "Ramadhan sebagai Madrasah Sabar"

Kita patut bersyukur karena telah diberi sebuah karunia agung yakni kesempatan untuk bertemu kembali dengan Ramadhan. Salah satu hal yang dapat diraih selama Ramadhan adalah bagaimana umat Islam yang berpuasa bisa mengambil hikmah sabar.

Imam Ibnu Rajab al-Hanbali (w. 795 H) menyebut Ramadhan sebagai bulan kesabaran, dan puasa adalah bagian dari sabar, atau pelatihan kesabaran. Ia mengutip hadits Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wasallam (HR. Imam at-Tirmidzi):

الصومُ نِصْفُ الصَّبْرِ

Artinya: Puasa itu separuh (dari) sabar.

Sebelumnya, di kitab yang sama, Imam Ibnu Rajab al-Hanbali mengatakan bahwa pahala berpuasa di bulan Ramadhan berlipat ganda, dan kelipatannya tidak terbatas di angka tertentu (adl'âfan katsîratan bi ghairi hashr 'adad). Hal ini terkait dengan predikat Ramadhan sebagai bulan kesabaran.

Dalam Al-Qur'an, pahala orang-orang yang bersabar tidak dibatasi di bilangan tertentu. Allah berfirman (QS. Az-Zumar: 10):

إِنَّمَا يُوَفَّى الصَّابِرُونَ أَجْرَهُمْ بِغَيْرِ حِسَابٍ

Artinya: Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.

Riwayat lain yang mengatakan Ramadhan sebagai bulan kesabaran adalah riwayat Imam Ahmad bin Hanbal. Rasulullah bersabda:

صَوْمُ شَهْرِ الصَّبْرِ وَثَلَاثَةِ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ صَوْمُ الدَّهْرِ

Artinya: Berpuasa (di) bulan kesabaran (Ramadhan) dan (berpuasa) tiga hari dari tiap-tiap bulan adalah (seperti) puasa satu tahun.

Itu artinya, Ramadhan adalah momen yang tepat untuk menyadarkan kembali kesabaran kita, agar kita bisa mendapatkan pahala berlipat sekaligus menjadi pribadi yang lebih baik setelah bulan Ramadhan berlalu. Untuk itu, kita perlu memahami 'apa itu sabar' terlebih dahulu.

Menurut Imam Majduddin Muhammad al-Fairuzzabadi, sabar secara bahasa berarti 'al-habsu' (menahan/mencegah), atau 'al-kaffu fî dlayyiqi' (bertahan dalam keadaan sempit/susah). Sedangkan secara istilah, dia mengatakan:

فالصبر حبس النفس عن الجزع والسخط، وحبس اللسان عن الشكوي، وحبس الجوارح عن التشويش

Artinya: Sabar adalah menahan diri dari ketidaksabaran (cemas) dan ketidakpuasan, menahan lisan dari mengeluh (komplain), dan menahan (seluruh) anggota tubuh dari mengacau.

Ma'asyiral muslimin wal muslimat rahimakumullah

Sabar adalah perilaku aktif. Membutuhkan inisiatif dari pelakunya. Sebagaimana yang diuraikan Imam Majduddin al-Fairuz Abadi, bahwa sabar adalah aktivitas menahan diri, lisan, dan seluruh anggota tubuh dari ketidakpuasan, komplain, dan berbuat kekacauan.

'Menahan' (al-habsu) adalah perilaku aktif, yaitu upaya menahan diri dari gejolak alami yang ada di jiwa manusia, seperti kecemasan, ketidakpuasan, keluhan dan lain sebagainya. Bahkan, di titik tertentu, ketidakpuasan dan semacamnya bisa mengarah pada kekacauan bil fi'li (kekacauan yang dilakukan tubuh).

Karena itu, Ramadhan menjadi momen yang tepat untuk menjalankan proses pendidikan 'al-habsu' (menahan), sehingga 'sabar' yang sebenarnya telah terinstal di diri kita semakin kuat dan berkembang.

Menyengaja untuk lapar dan haus, karena menaati perintah Allah, menghindari larangan, dan bersiap diri untuk merasakan kesusahannya, merupakan tindakan yang dapat mempertajam kesabaran manusia. Dengan kata lain, kita menyengaja untuk menguji diri kita sendiri, dengan menahan lapar, haus dan syahwat di sekian waktu. Hal-hal yang biasanya mudah kita dapatkan, kita sengaja menghindarinya, meski hal-hal tersebut ada di sekitar kita. Apalagi, penyengajaan ini berpengaruh langsung kepada ketahanan fisik kita seperti lapar dan haus.

Oleh karena itu, penyengajaan ini harus disadari sebagai proses pendidikan kesabaran. Menguatkan kesabaran kita dengan menyengaja untuk lapar dan haus. Dan Ramadhan, seperti yang telah dikatakan sebelumnya, adalah bulan kesabaran, madrasah untuk menguatkan kesabaran kita, sehingga, setiap kali Ramadhan selesai, kita menjadi orang yang lebih sabar dari sebelumnya. Pertanyaannya, sudahkah kita di jalan itu?

Demikianlah ceramah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan kali ini. Semoga Ramadhan kali ini, kita dapat meraih hakikat sabar yang memang menjadi bagian tidak terpisahkan selama Ramadhan. Jangan sampai Ramadhan pergi, namun tanpa memberikan hasil yang optimal, terutama dalam merengkuh sabar tersebut.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ceramah Ramadan #19: Ramadhan sebagai Bulan Jihad

Assalamu'alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

إِنَّ الْحَمدُ لِلَّهِ نَحمده ونستعينه ونستغفره ونستهديه ونعوذ بِاللهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا، مَنْ يَهدها الله وہ فلا مضل له ومن يضلل فلا هادي له. أشهد أن لا إله إلا الله وأَشْهَدُ أَنَّ محمدا عبده ورسوله. اللهم صلِ وسلم وَبَارِكْ عَلَى سيدنا محمد وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنِ اهْتَدَى بِهَدَاهُ إلى يوم الْقِيَامَةِ أَمَّا بعد

Bapak ibu yang saya hormati, segala puji kita panjatkan kepada Allah. Kita memuji-Nya dan meminta pertolongan, pengampunan, dan petunjuk hanya kepada-Nya.

Pada kesempatan yang mulia ini al-faqir mengingatkan diri sendiri dan mengajak kepada jamaah sekalian untuk senantiasa meningkatkan kualitas ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata'ala. Ketakwaan yang tidak sekadar menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya tetapi juga yang mengandung kesadaran bahwa semua itu sebagai bagian dari kebutuhan hidup, bukan tugas formal semata.

Alhamdulillah, kita hingga detik ini masih dikaruniai umur untuk berjumpa dengan Ramadhan tahun ini serta kemampuan melaksanakan kewajiban puasa dan ibadah-ibadah lainnya. Ini bukan hanya anugerah semata, tetapi juga sekaligus tantangan yang sangat berat.

Tantangan berat tersebut tampak sejak dari redaksi kalimat yang dipilih Allah ketika mewajibkan puasa:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُوْنَ

Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa," (QS al-Baqarah: 183).

Pertama, pada ayat tersebut Allah menyapa orang beriman. Ini menandakan bahwa puasa meniscayakan iman yang kuat sebelum betul-betul sanggup menunaikan kewajiban ini. Kedua, Allah menggunakan kalimat pasif (fi'il mabni majhul), yakni "kutiba" (diwajibkan), dan bukan kalimat aktif "kataba" (mewajibkan). Tafsir asy-Sya'rawi menyebut redaksi semacam ini bermakna kata kerja yang memberatkan (fi'lun taklîfiyyun) sebagaimana perintah berperang dalam QS al-Baqarah ayat 216 yang juga menggunakan kalimat "kutiba".

Hadirin yang dirahmati Allah,

Inti dari puasa adalah menahan, sebagaimana arti shaum secara bahasa adalah imsâk (menahan). Dalam fiqih, puasa dimaknai sebagai menahan dari makan, minum, dan hal-hal yang membatalkan puasa mulai dari terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Jika mengacu pada definisi ini, tampaknya kesan berat dari puasa belum tergambar utuh, apalagi di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, yang sebagian besar penduduknya berpuasa dan menghormati orang puasa. Kondisi lingkungan semacam ini tentu sangat mendukung untuk melalui lapar dan dahaga dengan relatif ringan.

Kesannya menjadi lain ketika kita geser makna "menahan" tersebut pada pengertian yang lebih hakiki, yakni menahan diri dari nafsu untuk berbuat buruk. Artinya, puasa tidak hanya berhubungan masalah perut dan kelamin tapi juga jiwa manusia untuk selalu terhindar dari perbuatan tercela (al-akhlaq al-madzmumah). Karena itu, yang dijaga bukan satu atau dua anggota badan, melainkan seluruh anggota tubuh agar berlaku sesuai tuntunan syariat-Nya.

Konsekuensi dari itu semua adalah tuntutan untuk tidak hanya menjaga mulut dari makanan tetapi juga dari perkataan kotor, ucapan yang menyakiti orang lain, bohong, obrolan sia-sia, ghibah, fitnah, adu domba, dan ungkapan-ungkapan yang bisa merusak hubungan sosial. Tidak cuma menahan kaki dan tangan dari perjalanan menuju restoran di siang bolong melainkan juga dari perbuatan maksiat dan menzalimi orang lain. Bukan sekadar mencegah telinga dari masuknya benda-benda, tetapi juga dari masuknya gosip, informasi yang tidak berguna, dan seterusnya.

Bukankah menahan anggota tubuh agar tidak terseret kepada perbuatan tercela itu lebih sulit dan berat ketimbang menahan lapar dan dahaga? Sebab, musuh utamanya bukan lagi semata godaan makan dan minum, melainkan pula ego dan nafsu dari dalam dirinya sendiri. Melawan diri sendiri tentu lebih susah daripada melawan musuh di luar diri.

Rasulullah menyebut perang melawan hawa nafsu ini dengan sebutan jihad akbar (jihad terbesar), lebih dahsyat ketimbang perang fisik yang beliau istilahkan sebagai jihad ashghar (jihad kecil). Sepulang dari perang Badar, Rasulullah berkata di hadapan para sahabatnya:

رَجَعْتُمْ مِنَ اْلجِهَادِ اْلأَصْغَرِ إِلَى الجِهَادِ الأَكْبَرِ فَقِيْلَ وَمَا جِهَادُ الأَكْبَر يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ جِهَادُ النَّفْسِ

Artinya: "Kalian telah pulang dari sebuah peperangan kecil menuju peperangan akbar. Lalu sahabat bertanya, 'Apakah peperangan akbar (yang lebih besar), itu wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab, "jihad (memerangi) hawa nafsu."

Hadirin yang dirahmati Allah,

Uraian tersebut selaras dengan penjelasan Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin yang membagi puasa kepada tiga derajat. Pertama, puasa umum (shaumul umum), yakni puasa yang hanya sampai pada level menahan perut dan kelamin untuk melampiaskan keinginan-keinginannya. Ini merupakan puasa standar minimum, yang jangkauannya baru sampai pada kemampuan bertahan dari lapar dan dahaga saja.

Kedua, puasa spesial (shaumul khusus), yaitu puasa yang sudah beranjak dari standar minimum, dengan menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki, dan seluruh organ jasmani dari perbuatan dosa.

Ketiga, puasa super-spesial (shaumu khususil khusus). Ini level yang lebih tinggi dari dua level sebelumnya. Pada derajat ini, seseorang bukan hanya menahan godaan konsumsi, syahwat, dan praktik maksiat, melainkan sudah mampu menahan diri dari keinginan yang rendah, larut memikirkan dunia, dan berpaling ke selain Allah. Puasa dengan standar ini dianggap "batal" bila pikiran masih melayang-layang kepada selain Allah dan akhirat. Menurut sudut pandang puasa super-spesial ini, memikirkan dunia boleh sejauh itu untuk kepentingan agama. Al-Ghazali juga menyebut praktik puasa jenis ketiga ini sebagai "shaumul qalb" (puasa hati).

Hadirin yang dirahmati Allah,

Dari penjelasan tersebut menjadi jelas bahwa masing-masing memiliki tingkat beban tersendiri, mulai dari ringan, cukup berat, dan sangat berat. Masing-masing berbanding lurus dengan kualitas puasa orang yang menjalaninya. Puasa umum hanya dilakukan oleh orang-orang awam yang hanya melakukan puasa secara ala kadarnya. Puasa spesial biasanya dilakukan orang-orang saleh yang selalu berhati-hati dan menghindar dari perbuatan dosa meski kecil. Sedangkan puasa super-spesial dilakukan oleh orang-orang tertentu yang hatinya selalu terpaut kepada Allah, bukan kepada yang lain.

Dengan demikian, jihad yang betul-betul akbar ada pada derajat puasa kedua dan ketiga. Musuh yang diperangi pada derajat ini bersifat tersembunyi, penuh tipu daya, dan tak jarang digandrungi. Godaannya superberat sebab di mana-mana melepas sesuatu yang dibenci nafsu selalu lebih gampang ketimbang melepas sesuatu yang disukainya. Nafsu senantiasa memoles hal-hal terlarang tampak indah meskipun semu.

Hadirin, Imam al-Ghazali hanya mengaitkan tiga derajat puasa tersebut dengan kemampuan menahan, bukan seberapa besar kuantitas ritual ibadah seseorang selama Ramadhan. Artinya, tidak ada jaminan orang yang rajin shalat tarawih saban malam, rutin mengkhatamkan Al-Qur'an tiap pekan, atau giat berdzikir sudah pasti berada pada derajat puasa orang-orang khusus. Ibadah-ibadah tersebut tentu sangat dianjurkan, tetapi menjadi rusak ketika seseorang ternyata ia masih gemar menggunjing, bertengkar dengan tetangga, menyimpan dendam, menyebar kabar bohong di media sosial, memprovokasi permusuhan, atau perilaku tercela lainnya.

Puasa ini memang berat dijalankan ketika dilihat dari sudut pandang rohani. Namun, seberat apa pun al-faqir mengajak kepada diri sendiri dan kepada jamaah semua untuk mencapai kualitas puasa yang setinggi-tingginya. Mungkin tidak bisa diraih secara instan, tetapi ikhtiar dan belajar kita secara tahap demi tahap insyaAllah akan mendatangkan petunjuk dan kepekaan batin, sehingga kita mampu mencapai derajat puasa orang-orang khusus.

Semoga kesucian Ramadhan tahun ini meningkatkan kesucian hati dan pikiran kita, membersihkan perangai-perangai buruk yang melekat dalam diri kita, dan menghempaskan seluruh godaan berat yang membuat diri kita durhaka dan kufur. Amin.

Itulah tadi ceramah singkat yang dapat saya sampaikan pada kesempatan kali ini. Jika ada salah kata yang tidak berkenan di hati jamaah sekalian, mohon dimaafkan.

Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh

Ceramah Ramadan #20: Puasa dan Persatuan Umat

Jamaah yang dimuliakan Allah,

Di bulan puasa seperti ini, rasa kebersamaan dan persatuan umat begitu terasa. Semua berpuasa di siang harinya, berbuka ketika azan magrib, dan bertarawih ketika malam. Suasana semacam itu, seharusnya mendorong umat Islam untuk selalu mengedepankan kebersamaan dan persatuan. Karena kalau dicari antara faktor kesamaan dan perbedaan, sungguh faktor kesamaan jauh lebih banyak daripada perbedaan. Di samping itu, perlu dipahami seluruh umat bahwa kewajiban mewujudkan persatuan umat, sama dengan kewajiban menjalankan puasa Ramadhan. Kalau kewajiban puasa Ramadhan disebutkan dalam surah al-Baqarah: 183, maka kewajiban untuk mewujudkan persatuan, Allah jelaskan dalam surat Ali Imran: 103. Dalam ayat ini, secara tegas Allah sebutkan perintah persatuan dan melarang perpecahan. "Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai..."

Ma'asyiral muslimin rahimakumullah,

Kalau kita perhatikan, sebelum memerintahkan umat untuk bersatu, Allah lebih dulu memanggil orang beriman untuk bertakwa (Ali Imran: 102). Ini sama persis ketika Allah memerintahkan umat berpuasa, Allah pun mengawalinya dengan memanggil orang beriman untuk berpuasa yang tujuannya adalah mencapai ketakwaan. Dengan terwujudnya nilai ketakwaan yang diperoleh dalam puasa pada setiap tahun, diharapkan mampu memberikan hasil riil. Di antaranya adalah terwujudnya persatuan di tengah umat. Dengan kata lain, orang yang berhasil meraih ketakwaan di bulan Ramadhan harus mampu menjadi unsur pemersatu umat. Apabila hal i belum tercapai, maka ketakwaaan seseorang masih dipertanyakan.

Nilai puasa semacam ini yang seharusnya dipahami oleh umat Islam. Jadi bukan hanya sekedar bersama dalam suasana puasa dan buka, yang lebih cenderung mengarah kepada persatuan simbolis, bukan esensi. Ini terbukti ketika menjelang dan berakhirnya bulan Ramadhan. Sebuah ibadah yang seharusnya menjadi alat pemersatu umat, malah menjadi pemicu perseteruan umat. Perbedaan pandangan dalam hal penentuan kapan memulai puasa di bulan Ramadhan dan kapan mengakhirinya dengan perayaan Idul Fitri, tidak jarang menimbulkan perselisihan di antara kelompok umat Islam. Masing-masing pihak mempunyai cara sendiri untuk menentukan jadwal yang mereka anggap tepat, dan mereka bersikap teguh dengan pendiriannya. Belum lagi pandangan luar umat Islam yang negatif terhadap fenomena perbedaan semacam ini.

Kaum muslimin dan muslimat yang berbahagia,

Bila orang Eropa yang sebagian besar non muslim telah mampu membuktikan diri untuk bersatu dengan wujud pasar bersama dan parlemen bersama Uni Eropa, padahal mereka terdiri dari berbagai bangsa dan golongan yang berbeda, maka mengapa kita tidak sanggup mewujudkan hal serupa? Bukankah unsur kesamaan antar umat Islam jauh lebih banyak dari pada unsur perbedaannya? Bukankah landasan umat Islam itu sama? Bukankah perbedaan yang ada hanyalah sebatas masalah cabang (furu') yang tidak prinsip, namun dianggap prinsip bagi sebagian kelompok? Semua pertanyaan ini tidak mungkin terjawab dengan benar, apabila kesadaran dan kedewasaan antar umat tidak ada. Selama masih ada ego kelompok, fanatisme mazhab, kepentingan politik, dan kedangkalan berpikir, maka persatuan dan kesatuan umat akan tetap menjadi mimpi belaka.

Oleh karena itu, kehadiran bulan Ramadhan seharusnya menjadi momen penting umat Islam untuk mengatur dan merapatkan kembali barisannya. Perbedaan harus segera dicari solusinya, dan setiap kelompok harus mampu bersikap dewasa untuk melepas pendapatnya demi keutuhan dan kemaslahatan umat secara umum. Makna semacam inilah yang Rasulullah inginkan. Sebagaimana dalam sabdanya, "Puasa adalah hari di mana kalian berpuasa, Al-Fithr adalah hari di mana kalian berbuka, sedang al-Adha adalah hari di mana kalian menyembelih kurban." (HR. at-Tirmidzi, dan dia menilai, "Hadis ini gharib hasan.").

Dalam hadis ini, Rasulullah menegaskan pentingnya persatuan dan kebersamaan. Itu terlihat salah satunya dalam kebersamaan pelaksanaan ibadah seperti puasa dan hari raya. Semoga kita semua diberi kekuatan oleh Allah untuk mampu melahirkan persatuan dan kesatuan di antara umat. Wallahul muwaffiq.

Halaman 2 dari 3


Simak Video "Keajaiban Berjamaah"
[Gambas:Video 20detik]
(mjy/nkm)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 


Hide Ads