Kisah Tuanku Imam Bonjol dalam Mempertahankan Nilai Islam di Minangkabau

Sumatera Barat

Kisah Tuanku Imam Bonjol dalam Mempertahankan Nilai Islam di Minangkabau

Aprilda Ariana Sianturi - detikSumut
Senin, 01 Jan 2024 07:00 WIB
Gambar pahlawan Imam Bonjol dalam pecahan uang Rp 5.000
Foto: Ari Saputra
Medan -

Salah satu tokoh pahlawan yang terkenal dari Sumatera Barat adalah Tuanku Imam Bonjol. Dilansir dari buku Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler yang ditulis oleh Amir Hendarsah, Tuanku Imam Bonjol memiliki nama kecil Muhammad Syahab dan lahir di Tanjung Bunga pada tahun 1772.

Tuanku Imam Bonjol terkenal dengan kepemimpinannya atas kaum Padri untuk menyebarkan agama Islam serta untuk mengusir kependudukan Belanda di Sumatera Barat pada masa itu. Untuk mengenang kisah Tuanku Imam Bonjol, berikut detikSumut rangkum perjuangan-perjuangan yang pernah dilakukan oleh Tuanku Imam Bonjol.

Melansir dari buku Tuanku Imam Bonjol yang ditulis oleh Drs. Mardjani Martamin, berikut ulasan mengenai Tuanku Imam Bonjol.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tuanku Imam Bonjol Semasa Kecil

Sejak kecil, Tuanku Imam Bonjol telah mendapat pendidikan mengenai agama Islam dari orang tuanya. Ayahnya yang bernama Khatib Rajamuddin atau yang juga dikenal dengan Buya Nuddin mengajari Tuanku Imam Bonjol untuk melakukan sembahyang sebanyak lima kali dalam sehari semalam secara terus menerus. Selain itu, ia juga diajarkan mengenai Sunnah Nabi Muhammad oleh sang ayah.

Ayahnya meninggal pada tahun 1779 dan neneknya yang bernama Tuanku Bandaharo melanjutkan untuk mengajari Tuanku Imam Bonjol. Saat itu, Tuanku Imam Bonjol masih berusia 7 tahun dan namanya berubah dari Muhammad Syahab menjadi Peto Syarif.

ADVERTISEMENT

Selain mempelajari agama Islam, Tuanku Imam Bonjol juga mempelajari tentang pandai besi, silat, pertambangan, dan keterampilan lainnya yang harus dimiliki oleh seorang pemuda Minangkabau pada waktu itu.

Kehidupan Masyarakat Minangkabau Saat Itu

Agama Islam sudah berkembang pada abad ke-16 dan 17 di Minangkabau terutama di daerah-daerah pantai barat. Namun, agama Islam berbenturan dengan adat Minangkabau yang diwariskan oleh Datuk Ketamanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang di daerah pedalaman. Adat ini sangat kuat keberadaannya di masyarakat.

Dalam kehidupan bermasyarakat, kekuasaan di daerah itu dipegang oleh para penghulu yang biasanya diputuskan secara adat. Sedangkan, seorang iman, khatib, atau malin tidak diperhitungkan suaranya walaupun mereka membawa nilai-nilai agama islam. Oleh karena itu, ajaran agama Islam semakin lama semakin merosot di masyarakat.

Sekitar abad ke-18 sampai akhir, masyarakat pada saat itu memiliki kebiasaan yang sangat buruk, seperti berjudi, minum tuak, mengadu ayam, dan kebiasaan buruk lainnya yang sudah mendarah daging. Laki-laki Minangkabau hanya duduk berdiam saja, sedangkan kaum wanita harus mengerjakan sawah atau ladang maupun berdagang agar dapat memperoleh uang.

Gerakan Padri

Gerakan Padri pada dasarnya memiliki tujuan untuk menentang para penghulu yang pada saat itu memegang kekuasaan di nagari-nagari Minangkabau. Gerakan kaum Padri menghilangkan kewibawaan para penghulu tersebut di hadapan masyarakat.

Gerakan ini ditujukan untuk mengembalikan masyarakat Minangkabau pada hukum Islam yang terdapat dalam Al Quran dan Hadis Nabi. Jadi, gerakan Padri tidaklah bertentangan antara kaum agama Islam dengan kaum adat, tetapi merupakan suatu gerakan yang melakukan pembersihan terhadap praktek-praktek penyelewengan agama Islam oleh para pemeluk-pemeluknya.

Pembangunan Benteng Bonjol

Dibangunlah sebuah benteng di sebelah timur Alahan Panjang, di kaki sebuah bukit yang bernama Bukit Tajadi. Benteng ini dibangun di bawah kaki bukit supaya mudah dan kuat pertahanannya, karena musuh hanya memiliki satu jalan untuk dapat menyerang.

Benteng yang akan dibangun rencananya akan didirikan pula masjid dan rumah-rumah tempat tinggal di dalamnya. Dengan bantuan rakyat Alahan Panjang, didirikanlah benteng yang memiliki panjang sekitar 45 m yang di dalamnya terdapat pula sebua masjid beserta 6 rumah tempat tinggal.

Setelah selesai dibangun, dinamailah benteng itu sebagai benteng Bonjol. Nama Bonjol adalah sebagai suatu pertanda bahwa benteng itu dibangun untuk memelihara kebenaran ajaran agama Islam, sebagai peringatan terhadap kebiasaan buruk agar dapat dihentikan serta agar dapat melaksanakan perintah Tuhan.

Tuanku Imam Bonjol kemudian ditunjuk menjadi kepala benteng itu. Selama memimpin, ia memerintah dengan bijaksana. Peraturan yang dibuat seluruhnya berdasarkan Al Quran dan Sunnah Nabi dan keputusannya adil untuk semua rakyat.

Dilakukan renovasi pada benteng Bonjol, yang dulunya hanya berukuran 45 m namun sekarang sudah memiliki panjang keliling 800 meter serta luas 90 hektar. Temboknya memiliki tinggi 4 m serta tebal 3 m. Sekelilingnya ditanami pagar aur berduri serta diperkuat dengan batuu tertutup tanah setebal 6 m.

Di tengah-tengah benteng, terdapat sebuah masjid besar yang megah. Terdapat rumah-rumah, kandang kuda, lembu, serta gudang-gudang untuk menyimpan perbekalan di sekitar masjid.

Tuanku Imam Bonjol Melawan Belanda

Dilansir dari buku Kisah Heroik Pahlawan Nasional Terpopuler yang ditulis oleh Amir Hendarsah, Tuanku Imam Bonjol dan kaum Padri diserang oleh bala tentara Belanda pada tahun 1821. Tuanku Imam Bonjol memimpin pertempuran dengan sangat hebat sehingga membuat Belanda kewalahan hingga pada akhirnya terpaksa harus mengeluarkan perjanjian Masang pada tahun 1824. Namun, Belanda ingkar terhadap perjanjian tersebut.

Bagian demi bagian wilayah kaum Padri telah dirampas oleh Belada. Pada tahun 1832, Belanda pada akhirnya menduduki daerah kekuasaan Tuanku Imam Bonjol. Namun kaum Padri dapat merebut kembali wilayah mereka.

Pada tahun 1837, Belanda mengajak Tuanku Imam Bonjol untuk berunding. Namun, hal itu adalah taktik Belanda untuk menangkap Tuanku Imam Bonjol dan Belanda berhasil menculiknya.

Tuanku Imam Bonjol kemudian dibuang ke Cianjur, lalu ke Ambon, dan berakhir di Lotan dekat Manado. Ia kemudian menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 8 November 1864 dan dimakamkan di Manado.

Demikianlah ulasan mengenai kisah Tuanku Imam Bonjol dalam mempertahankan agama Islam serta perjuangannya melawan Belanda. Semoga bermanfaat ya detikers.

Artikel ini ditulis oleh Aprilda Ariana Sianturi, peserta program Magang Bersertifikat Kampus Merdeka di detikcom.




(afb/afb)


Hide Ads