25+ Puisi Hari Ibu 2023 yang Menyentuh Hati untuk 22 Desember

25+ Puisi Hari Ibu 2023 yang Menyentuh Hati untuk 22 Desember

Fria Sumitro - detikSumut
Rabu, 20 Des 2023 13:13 WIB
Ilustrasi Ide Kado Hari Ibu Buatan Sendiri
Kumpulan Puisi Hari Ibu 2023 yang Menyentuh Hati (Foto: iStock)
Medan -

Tanggal 22 Desember diperingati setiap tahun sebagai Hari Ibu. Peringatan ini bertujuan untuk menghargai sekaligus memberikan penghargaan atas peran dan jasa perempuan sebagai ibu.

Selama peringatan Hari Ibu, orang-orang biasanya memberikan hadiah kepada ibu mereka, mulai dari bingkisan kado hingga kartu ucapan. Namun, detikers juga dapat memberikan puisi kepada ibu tercintamu.

Bagi kamu yang sedang mencari puisi tema Hari Ibu untuk 22 Desember nanti, berikut detikSumut sajikan kompilasinya untukmu!

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Kumpulan Puisi untuk Hari Ibu yang Menyentuh Hati dan Penuh Makna

Dikutip dari berbagai sumber, berikut kumpulan puisi Hari Ibu 2023 yang menyentuh hati dan penuh makna:

Puisi 1: Ibu

Karya: Yosi Julia Nanda

ADVERTISEMENT

Doamu langkahku
Nasihatmu petunjukku
Perjuanganmu adalah
Awal keberhasilanku

Ibu
Akan kuterakan pangkat
pada jas dinasku
Sebagai bukti kerja kerasku
Tak akan kusia-siakan
Perjuanganmu Ibu
Senyummu adalah cita-citaku

Ibu
Akan kubawa dirimu Ibu
Ke tempat yang pernah
Kau ceritakan padaku
Kau akan terlihat cantik disana Ibu
Mengenakan baju serba putih
Bergenggaman tangan bersama ayah
Dan mengelilingi Ka'bah

Ibu
Tetaplah di sampingku
Dan akan kujadikan dirimu
Sebagai akhir perjuanganku
Terima kasih Ibu

Puisi 2: Cuma Ibu yang Tahu

Karya: Khofifah Indar Parawansa

Saat Ibu baru saja memejamkan mata
Pecahlah tangisan si kecil dengan nyaringnya
Dalam keadaan mengantuk, anak pun harus digendong sepenuh cinta
Bagaimana rasanya?
Cuma Ibu yang tahu rasanya

Saat lapar melanda, terbayang makanan enak di atas meja,
Ketika suapan pertama, anak pup di celana
Bagaimana rasanya?
Cuma Ibu yang tahu rasanya

Saat badan sudah lelah tak ada tenaga
Ingin segera mandi menghilangkan penat yang ada
Mumpung anak-anak sedang anteng di kamarnya
Belum sempat sabunan, anak sudah nangis berantem rebutan boneka
Kacaulah acara mandi Ibu, langsung handukan walau daki masih menempel di badannya
Bagaimana rasanya?
Cuma Ibu yang tahu rasanya

Saat Ibu ingin beribadah dengan khusyuknya
Anak-anak mulai mencari perhatian
Menarik-narik mukena, mengacak-acak lemari baju mumpung lbu tak berdaya
Loncat sana loncat sini, punggung Ibu jadi pelana
Belum juga beres doa, anak-anak semakin berkuasa
Bagaimana rasanya?
Cuma Ibu yang tahu rasanya

Aaah
Di balik kerepotan itu semua, namun ada jua syurga di dalamnya
Cuma Ibu yang tahu lezatnya makna senyuman anak yang diberikan
Pelukan anak
Ucapan cinta anak yang tampak sederhana di hadapan orang, namun berubah menjadi intan
Permata di mata Ibu
Itulah mengapa?
Saat anak bahagia, Ibu menangis
Anak berprestasi, Ibu menangis
Anak tidur lelap, Ibu menangis
Anak pergi jauh, Ibu menangis
Anak menikah, Ibu menangis
Anak wisuda TK aja, Ibu menangis
Anak tampil dipanggung, Ibu menangis

Aah
Inikah tangis bahagia yang tak akan dapat dimiliki siapapun jua
Jika engkau tak mengalaminya sendiri sebagai Ibu
Mungkinkah ini bagian dari surga milik-Nya yang diberikan kepada seluruh Ibu, sebuah cinta yang begitu lezatnya dirasa?
Dan akhirnya saya percaya di mana ada kerasnya perjuangan Ibu di dalam rumah
Maka di situ akan hadir cahaya surga yang menemani Ibu yang tak kalah indahnya
Jika hari ini engkau menangis karena repotnya mengasuh anak
Maka akan ada hari di mana engkau akan tersenyum paling manis karena kebaikan yang hadir bersamanya

Selamat Hari Ibu

Salam buat seluruh Ibu-Ibu di manapun berada

Puisi 3: Maafkan Aku, Ibu

Karya: David Caniago

Akulah sang pengukir mimpi
Yang menghendaki pergi berasal dari sunyi
Yang hanyut oleh gelisah
Dan ditelan rasa bersalah
Ibu, kaulah matahariku
Terang dalam gelapku

Kau tuntun aku dalam jalan berliku
Yang penuh oleh batu
Ucapanmu bagai kamus hidupku
Aku berteduh dalam naungan doamu
Memohon ampunan darimu

Karena ridho Allah adalah ridhomu
Aku senang memilikimu Ibu
Karena engkau sinar hidupku
Kaulah kunci berasal dari kesuksesanku
Ibu, maafkan aku

Puisi 4: Surat dari Ibu

Karya: Asrul Sani

Pergi ke dunia luas, anakku sayang
Pergi ke hidup bebas
Selama angin masih angin buritan
Dan matahari pagi menyinar daun-daunan
Dalam rimba dan padang hijau.

Pergi ke laut lepas, anakku sayang
Pergi ke alam bebas
Selama hari belum petang
Dan warna senja belum kemerah-merahan
Menutup pintu waktu lampau.

Jika bayang telah pudar
Dan elang laut pulang ke sarang
Angin bertiup ke benua
Tiang-tiang akan kering sendiri
Dan nakhoda sudah tahu pedoman
Boleh engkau datang padaku

Kembali pulang, anakku sayang
kembali ke balik malam
Jika kapalmu telah rapat ke tepi
Kita akan bercerita
"Tentang cinta dan hidupmu pagi hari"

Puisi 5: Ibu Adalah Pahlawan Sejati

Karya: Cucu Hayati

Hari Ibu bukan hanya bulan Desember
Tuluskan hati untuk memberikan penghormatan, kasih sayang, dan kepatuhan kepada Ibunda tercinta.
Setia berbakti dengan tulus ikhlas

Perempuan itu adalah Ibu
Di hatinya ada mata air
Mengalirkan kasih sayang

Perempuan adalah lilin kehidupan
Di matanya ada cahaya
Menyorotkan cinta

Perempuan adalah gunung
Tegak menjulang
Menyiratkan ketabahan

Dengan tangis ia menyapa bulan
Dengan senyum ia menatap matahari
Dengan cinta ia memetik bunga-bunga
Dengan rindu ia melagukan kenangan
Dengan tabah ia menunggu

Ibu, di antara hamparan mutiara
Engkau adalah mutiara paling kemilau

Ibu, di tengah kelap-kelip cahaya
Engkau membawa sinar yang lebih terang

Ibu, bila ada badai dan gelombang
Engkau suguhkan teduh dan tentram

Ibu, bila tanda jasa harus disematkan
Engkau patut menerimanya

Ibu, begitu banyak sudah pahlawan bangsa
Bagi kami engkau adalah pahlawan sejati

Puisi 6: Sajak Ibu

Karya: Wiji Thukul

ibu pernah mengusirku minggat dari rumah
tetapi menangis ketika aku susah
ibu tak bisa memejamkan mata
bila adikku tak bisa tidur karena lapar
ibu akan marah besar
bila kami merebut jatah makan
yang bukan hak kami
ibuku memberi pelajaran keadilan
dengan kasih sayang
ketabahan ibuku
mengubah rasa sayur murah
jadi sedap
ibu menangis ketika aku mendapat susah
ibu menangis ketika aku bahagia
ibu menangis ketika adikku mencuri sepeda
ibu menangis ketika adikku keluar penjara
ibu adalah hati yang rela menerima
selalu disakiti oleh anak-anaknya
penuh maaf dan ampun
kasih sayang ibu
adalah kilau sinar kegaiban tuhan
membangkitkan haru insan
dengan kebajikan
ibu mengenalkan aku kepada tuhan

Puisi 7: Aku Memanggil Namamu

Karya: Dimas Arika Mihardja

Setiap debur rindu, aku memanggil namamu dengan gigil bahasa kalbu:
Ibu Bagaimana bisa aku, bagaimana bisa aku mengubur wajah cerah penuh gairah mencinta?
Ibu, Jika riak menjadi ombak dan ombak menggelombangkan rasa sayang
Kupanggil sepenuh sepenuh gigil hanya namamu. Saat sampan dan perahu melaju
Di tengah cuaca tak menentu engkaulah bandar, tempat nyaman bagai sampan
Bersandar sebab di matamu ada mercusuar berbinar.
Jalan terjal berliku adalah lekuk tubuh ibu yang mengajarkan kesabaran
Rindang pohon di sepanjang tulang mengingatkan hangat dekap di dadamu
Deru lalu lintas jalanan, rambu-rambu dan simpang
Lampu adalah nasihat yang selalu mengobarkan semangat berjihad.
Aku memanggil namamu, Ibu
Sebab waktu tak lelah mengasuh dan membasuh peluh
Aku memanggul namamu, Ibu
Sebab segala lagu, sebab segala lugu mengombak di bibirmu
Aku selalu memanggil dan memanggul namamu:
Ibu!

Puisi 8: Berjuang untuk Ibu

Bau rerumputan
Mengantarkan pagi hening
Hening sangat
Hingga matahari mengeluarkan kekuatannya
Semua sinarnya bebas
Liar...
Jalan panjang ini jadi terasa
Kadang berliku
Kadang curam
Namun aku terus berjuang
Demi masa depan dan ibuku

Puisi 9: Lembut, Sayup, Tua Renta

Karya: Endah Megawati

Kala mata terbuka
Kala hati menitikkan air mata
Kala dunia menghujat dan menghina
Tapi kau akan selalu datang membela
Tak jarang pula aku menyuruhmu tanpa rasa malu
Menambah beban mu yang gak sedikitpun aku bantu
Membentak mu dengan mimik kesal ku
Hanya karena sepasang baju yang belum sempat dilipat untuk sekolahku
Apa harus dengan kehilangan mu aku akan tersadar?
Apa harus dengan membiarkanmu tergeletak di lantai aku akan mengerti?
Apa harus dengan melihat mu tak lagi di sisi aku akan berubah?
Aku tak sanggup lagi, walau hanya mengkhayal sendiri

Puisi 10: Pesan Ibu

Sepertiganya malam kutemui
Dingin mencekam menyelimuti
Sunyi terasa nyata
Dengan beribu doa kupinta
Menatap lekat buah hati yang terlelap dalam mimpi
Untukmu anakku
Sayangi dan cintai aku
Kini, esok dan nanti
Untukmu anakku
Ingatlah kasih dan cintaku
Kini, hingga menutup mata tak akan surut jua

Puisi 11: Ibuku Dehulu

Karya: Amir Hamzah

Ibuku dehulu marah padaku
diam ia tiada berkata aku pun lalu merajuk pilu
tiada peduli apa terjadi matanya terus mengawas daku
walaupun bibirnya tiada bergerak mukanya masam menahan sedan
hatinya pedih kerana lakuku
Terus aku berkesal hati
menurutkan setan, mengkacau-balau
jurang celaka terpandang di muka
kusongsong juga - biar cedera
Bangkit ibu dipegangnya aku
dirangkumnya segera dikecupnya serta dahiku berapi pancaran neraka
sejuk sentosa turun ke kalbu
Demikian engkau;
ibu, bapa, kekasih pula berpadu satu dalam dirimu
mengawas daku dalam dunia.

Puisi 12: Aku Ingin

Jika boleh meminta
Aku tak ingin minta banyak
Hanya ingin ibu bahagia
Dan mau lihat air mata
Basahi pipinya
Agar bisa bikin ibu bangga
Aku akan berusaha
Buku-buku akan kubaca
Supaya bisa jadi juara
Semoga saja terlaksana

Puisi 13: Ketika Ada Tawa Ibu

Tawamu ceria menyinari, Bu
Sepi kini berganti tawa bahagia,
Kaulah sumber cahaya di setiap langkah,
Terima kasih atas segalanya, Bu
Untuk jejak kebaikan dan ketulusanmu,
Panduanku dalam kehidupan yang gelap,
Cintamu adalah cahaya bagiku.

Puisi 14: Surau-Surau yang Kubangun, Ibu

Karya: Hafney Maulana

Surau-surau yang kau bangun Ibu
Mengalir bersama darah dari sungging
Senyum bahagiamu
Dari tempat itu, kukayuh bidukku
Memburu zikir tahmid dan tahlil

Ibu, sebatang alif yang kau suapkan dulu
Ibu, azan dalam suraumu
Jadi tongkat penepis ombak yang menjilat jejak
Jadi palu pemecah matahari yang membakar hari

Ibu, di surau-suraumu
Aku mengutip-ngutip waktu

Puisi 15: Selendang Batik Ibu

Karya: Amalia Najichah

Kala itu, sebagai anakmu
Aku tidak mengerti
Apa saja yang telah kau berikan
Untukku

Kala itu, sebagai anakmu
Aku tidak tabu
Apa yang kau perbuat
Untuk melindungiku

Kala itu, sebagai anakmu
Aku hanya tahu
Ketika aku menangis
Harus kau yang datang
Dengan selendang batikmu
Mendekapku hingga aku
Berhenti terisak

Sekarang, sebagai anakmu
Dari selendang batikmu
Memahamkanku
Betapa luar biasanya dirimu
Terima kasih, Ibuku

Puisi 16: Bunda Air Mata

Karya: Emha Ainun Najib

Kalau engkau menangis
Ibundamu yang meneteskan air mata
Dan Tuhan yang akan mengusapnya
Kalau engkau bersedih
Ibundamu yang kesakitan
Dan Tuhan yang menyiapkan hiburan-hiburan
Menangislah banyak-banyak untuk Ibundamu
Dan jangan bikin satu kali pun untuk membuat Tuhan naik pitam kepada hidupmu
Kalau Ibundamu menangis,
para malaikat menjelma butiran-butiran air matanya
Dan cahaya yang memancar dari airmata ibunda
membuat para malaikat itu silau dan marah kepadamu
Dan kemarahan para malaikat adalah kemarahan suci
sehingga Allah tidak melarang mereka tatkala menutup pintu sorga bagimu

Puisi 17: Ode Buat Ibu

Karya: Aspar Paturusi

perempuan adalah ibu
di hatinya ada mata air
mengalirkan kasih sayang
perempuan adalah lilin kehidupan
di matanya ada cahaya
menyorotkan cinta
perempuan adalah gunung
tegak menjulang
menyiratkan ketabahan
dengan tangis ia menyapa bulan
dengan senyum ia menatap matahari
dengan cinta ia memetik bunga-bunga
dengan rindu ia melagukan kenangan
dengan tabah ia menunggu
ibu, di antara hamparan mutiara
engkau adalah mutiara paling kemilau
ibu, di tengah kelap-kelip cahaya
engkau membawa sinar lebih terang
ibu, bila ada badai dan gelombang
engkau suguhkan teduh dan tenteram
ibu, bila tanda jasa harus disematkan
engkau patut menerimanya
ibu, begitu banyak sudah pahlawan bangsa
bagi kami, engkau adalah pahlawan sejati

Puisi 18: Ibuku

Oh Ibuku engkaulah wanita yang kucinta selama hidupku
Tidak ada kata yang dapat menggantikan pengorbananmu
Ibu mengandung hingga merawatku saat ini
Pengorbananmu sungguh sangat berarti
Engkaulah Ibuku cinta kasihku

Terima kasihku tak kan pernah berhenti
Ibuku engkau bagai matahari yang bersinar
Menerangi seluruh isi bumi begitu juga sayangku kepadamu

Puisi 19: Ibu, Malaikatku

Karya: Elly

Ibu
Di sini kutulis cerita tentangmu
Napas yang tak pernah terjerat dusta
Tekad yang tak koyak oleh masa
Seberapa pun sakitnya kau tetap penuh cinta

Ibu
Tanpa lelah kau layani kami
Dengan segenap rasa bangga di hati
Tak terbesit sejenak pikiran lelahmu
Kau terus berjalan di antara duri

Ibu
Kaulah malaikatku
Penyembuh luka dalam kepedihan
Penghapus dahaga akan kasih sayang
Sampai kapanpun itu
Aku akan tetap mencintaimu

Puisi 20: Surat untuk Ibu

Karya: Joko Pinurbo

Akhir tahun ini saya tak bisa pulang, Bu.
Saya lagi sibuk demo memperjuangkan nasib saya
yang keliru. Nantilah, jika pekerjaan demo
sudah kelar, saya sempatkan pulang sebentar.
Oh ya, Ibu masih ingat Bambang, 'kan?
Itu teman sekolah saya yang dulu sering numpang
makan dan tidur di rumah kita. Saya baru saja
bentrok dengannya gara-gara urusan politik
dan uang. Beginilah Jakarta, Bu, bisa mengubah
kawan menjadi lawan, lawan menjadi kawan.
Semoga Ibu selalu sehat bahagia bersama penyakit
yang menyayangi Ibu. Jangan khawatirkan
keadaan saya. Saya akan normal-normal saja.
Sudah beberapa kali saya mencoba meralat
nasib saya dan syukurlah saya masih dinaungi
kewarasan. Kalaupun saya dilanda sakit
atau bingung, saya tak akan memberi tahu Ibu.
Selamat Natal, Bu. Semoga hatimu yang merdu
berdentang nyaring dan malam damaimu
diberkati hujan. Sungkem buat Bapak di kuburan.

Puisi 21: Malaikat Tak Bersayap

Karya: Angelia Arum Arizana

Bidasan dirgantara menodong sebuah mata tua
Menaruh aksentuasi pada wanita yang memarut muka
Turut larat membeliak dedikasi kepada putra putrinya
Memeras keringat dan senantiasa mengurut dada
Sudah serasa bahara yang teramat biasa bagi dirinya
Durjana dunia telah menyulih resistansi raga
Menguruk cua menjadi kentara derana yang menyatukan kalbu
Melegar profesi menyerak sang pembela barga
Tapa basa basi mencerap sumbu mengggebu-gebu
Dia laksana pelita pada ketaksaan jiwa
Senandungnya abadi merajai hai gembira
Sosoknya mampu members sorotan seluruh pemirsa
Tertawan segala kiprah yang kejat berjibaku
Malaikat tΓ‘k bersayap, kupanggil ia dengan sebutan ibu

Puisi 22: Ibu

Karya:

Kalau aku merantau lalu datang musim kemarau
sumur-sumur kering, daunan pun gugur bersama reranting
hanya mata air air matamu Ibu, yang tetap lancar mengalir
Bila aku merantau
sedap susumu dan ronta kenakalanku
di hati ada mayan siwalan memutikkan sari-sari kerinduan
lantaran hutangku padamu tak kuasa kubayar
Ibu adalah gua pertapaanku
dan ibulah yang meletakkan aku di sini
Saat bunga kembang menyerembak bau sayang
Ibu menunjuk ke langit, kemudian ke bumi
Aku menangguk meskipun kurang mengerti
Bila kasihmu ibarat samudera
sempit lautan teduh
tempatku mandi, mencuci lumut pada diri
tempatku berlayar, menebar pukat dan melempar sauh
lokan-lokan, mutiara dan kembang laut semua bagiku
Kalau aku ikut ujian lalu di tanya tentang pahlawan namamu, Ibu,
yang kusebut paling dahulu
Engkau ibu dan aku anakmu
Bila aku berlayar lalu datang angin sakal
Tuhan yang ibu tunjukkan telah kukenal
Ibulah itu bidadari yang berselendang bianglala
Sesekali datang padaku
Menyuruhku menulis langit biru dengan sajakku.

Puisi 23: Kepada Ibu

Karya: Rafina Yumma Syafiqa

Kata ibu, kami sama-sama
Berpeluk di rahimnya
Saat berada di kedua tangannya
Kami sedang berebut susunya

Kami berburu bintang paling terang
Bersama menyusim anak tangga
Memetik kejora
Kemudian kami letakkan di pangkuan ibu

Duh, ibu mengapa kau teteskan air mata haru?
Entah untukku, kau, atau kami

Puisi 24: Jangan Takut Ibu

Karya: WS Rendra

Matahari musti terbit.
Matahari musti terbenam.
Melewati hari-hari yang fana
Ada kanker payudara, ada encok,
dan ada uban.
Ada Gubernur sarapan bangkai buruh pabrik,
Bupati mengunyah aspal,
Anak-anak sekolah dijadikan bonsai.
Jangan takut, Ibu !
Kita harus bertahan.
Karena ketakutan
meningkatkan penindasan.
Manusia musti lahir.
Manusia musti mati.
Di antara kelahiran dan kematian
bom atom di jatuhkan di Hiroshima dan Nagasaki,
serdadu-serdadu Jepaang memenggal kepala patriot-patriot Asia,
Ku Klux Klan membakar gereja orang Negro,
Teroris Amerika meledakkan bom di Oklahoma
Memanggang orangtua, ibu-ibu dan bayi-bayi,
di Miami turis Eropa dirampok dan dibunuh,
serdadu inggris membantai para pemuda di Irlandia,
orang Irlandia meledakkan bom di London yang tidak aman
Jangan takut, Ibu !
Jangan mau digertak
Jangan mau di ancam
Karena ketakutan meningkatkan penjajahan
Sungai waktu
menghanyutkan keluh-kesah mimpi yang merangas.
Keringat bumi yang menyangga peradaban insan
menjadi uranium dan mercury.
Tetapi jangan takut, Ibu
Bulan bagai alis mata terbit di ulu hati
Rasi Bima Sakti berzikir di dahi
Aku cium tanganmu, Ibu !
Rahim dam susumu adalahpersemaian harapan
Kekuatan ajaib insan
Dari Zaman ke Zaman

Puisi 25: Sajak Ibuku yang Perkasa

Karya: Ariadi Risadi

Seorang ibu tegar menatap arah
Perempuan perkasa ditinggal suami
Tanpa ada tetes air mata mengalir
Perempuan cantik tertakdir berjuang seorang diri
Di tangannya bergelantimgan empat buah hati

Perempuan perkasa berhati baja
Hadir sebagai seorang pahlawan keluarga
Ditempuhnya jalan buram dengan tertatih-tatih
Terseok-seok memburu rupiah demi rupiah
Lewat putaran roda mesin jahit

Perempuan perkasa berhati mulia
Dari jiwanya mengucur embun-embun bening
Air suci bersih tulus dan ikhlas
Tekad di dadanya membara satu
Membesarkan menyekolahkan anak-anak setinggi langit

la tegar menatap arah
Walau fisik dan batin luka arang keranjang
Terus ditempuhnya jalan berliku kadang terjal
Hatinya selembar jarik bercorak sidomukti
Bagi selimut keselamatan empat anak-anaknya

Perempuan perkasa berhati mulia
Telapak kakimu adalah surga bagi kami
Jiwa dan raga rela dikorbankan demi kami
Lewat sajak ini kulangitkan doa untukmu ibu
Tepat di hari ibu yang membahagiakan.

Puisi 26: Ketika Ibu Pergi

Karya: Handry TM

Ketika ibu pergi, seisi rumah sepi
Kami bertemu di ruang tamu, di dapur,
Di kamar tidur, di ruang aku belajar
Selalu ibu bertanya tentang apa
Yang kudapat hari ini

Ibu adalah teman di mana kami
Saling berbagi, saling memberi
Kami adalah anak-anak yang lahir
Oleh waktu yang keliru
Kadang ibu sering bertanya tentang
Siapa yang kelak terlebih dahulu
Meninggalkan rumah ini:
Ayah terlebih dahulu, ibu kemudian
Ataukah anak-anaknya ?

Hanya air mata yang menetes setiap
Mengingat pertanyaan itu
Membayangkan orang tua pergi
Satu persatu

Tapi tidak berarti seperti itu
Tuhan pun boleh saja memanggil
Kami, anak-anak yang belum lama
Tinggal di dunia untuk menghadap-Nya

Dan kini, ketika ibu pergi
Rumah ini memberi pelajaran besar
Tentang arti kehilangan tadi

Ibu, lekaslah pulang
Aku ingin memelukmu

Bagi detikers yang ingin menghadiahkan puisi kepada ibumu pada 22 Desember nanti, kamu bisa memilih salah satu contoh di atas. Semoga bermanfaat, detikers!




(mff/dhm)


Hide Ads