Perjalanan Hidup 10 Pahlawan Revolusi yang Gugur dalam Tragedi G30S PKI

Aprilda Ariana Sianturi - detikSumut
Kamis, 28 Sep 2023 08:00 WIB
Foto: Kemdikbud
Medan -

Pahlawan Revolusi Indonesia merupakan gelar yang diberikan kepada sejumlah perwira militer yang gugur dalam Peristiwa Gerakan 30 September 1965 di Jakarta dan Yogyakarta. Gelar ini diberikan kepada 10 orang yang gugur dalam tragedi tersebut.

Lantas siapa saja kesepuluh orang yang diberikan gelar Pahlawan Revolusi itu dan bagaimana kisah mereka semasa hidup? Berikut detikSumut rangkum informasinya dari berbagai sumber.

10 Pahlawan Revolusi yang Gugur dalam Tragedi G30S PKI

1. Jenderal TNI (Anumerta) Ahmad Yani

Berdasarkan buku Kisah Perjuangan Pahlawan Indonesia karya Lia Nuralia dan Iim Imadudin, Ahmad Yani lahir di Purworejo, Jawa Timur pada 19 Juni 1922. Ia wafat pada 30 September 1965 di Jakarta dan ditetapkan sebagai Pahlawan Revolusi. Ia bersekolah di HIS (Hogere Inlandse School) Bogor sampai tahun 1935.

Kemudian melanjutkan ke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) kelas B Afdeling Bogor sampai tahun 1938 dan masuk AMS (Arhem Meer School) B Afdeling Jakarta. Selanjutnya, Ahmad Yani mengikuti pendidikan militer di Dinas Topografi Militer di Malang dan Bogor.

Pada zaman pendudukan Jepang tahun 1942, ia mengikuti pendidikan Heiho di Magelang dan menjadi anggota Pembela Tanah Air (PETA) di Bogor. Pada masa perang kemerdekaan, Ahmad Yani berhasil melucuti senjata Jepang di Magelang.

Ia diangkat menjadi Komandan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Purwokerto. Ketika Agresi Militer I Belanda, ia bersama pasukannya yang beroperasi di Pingit berhasil menahan serangan Belanda.

Ketika Agresi Militer Belanda II, ia menjadi Komandan Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia mendapat pengakuan kedaulatan, ia berhasil menumpas DI/TII di Jawa Tengah dengan membentuk pasukan khusus Banteng Raiders.

Pada tahun 1955, ia menjadi staf Angkatan Darat dan disekolahkan pada Command and General Staff College di Fort Leaven Worth selama sembilan bulan di Kansas, Amerika. Pada tahun 1956, ia mengikuti pendidikan dua bulan pada Spesial Warfare Course di Inggris.

Tahun 1958, ia berpangkat Komandan Komando Operasi 17 Agustus, berhasil menumpas perlawanan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Pada tahun 1962, ia menjadi Menteri/Pangad menggantian Jenderal AH Nasution dan menjadi Menko Hankam/Kepala Staf Angkatan Bersenjata.

Ketidaksetujuannya terhadap konsep Nasakom Soekarno (Nasionalis/Islam/Komunis) dan selalu berseberangan dengan PKI, tidak mengubah kesetiaannya kepada Soekarno. Hal ini membuat PKI membencinya. Ketika menjabat Men/Pangrad, ia menolak keinginan PKI membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh dan tani.

Pada 1 Oktober 1965, ia diculik dan ditembak oleh G30S PKI di depan kamar tidurnya. Dalam pencarian yang dipimpin oleh Pangkostrad Soeharto, jenazah Jenderal Ahmad Yani ditemukan terkubur di salah satu sumur tua, Lubang Buaya bersama enam jenazah lainnya.

2. Kapten CZI TNI (Anumerta) Pierre Tendean

Pierre Tendean lahir pada 21 Februari 1939 di Jakarta. Ayahnya adalah Dr. AL Tendean berdarah Minahasa dan ibunya Cornel ME yang berasal dari Perancis. Ia wafat pada 1 Oktober 1965 di Jakarta.

Ia menyelesaikan SD di Magelang, SMP bagian B dan SMA bagian B di Semarang. Ayahnya yang berprofesi sebagai dokter mengharapkan dirinya kuliah di fakultas kedokteran. Rupanya panggilan hidup membawanya memasuki dunia militer.

Ia mengikuti pendidikan pada Akademi Teknik Angkatan Darat (ATEKAD) angkatan IV di Bandung pada tahun 1958. Kemudian pada tahun 1962, ia dilantik sebagai Letda CZI. Pada tahun 1963, ia mendapat kesempatan mengikuti pendidikan intelijen dan ditugaskan menyusup ke wilayah Malaysia ketika operasi Dwi Komando Rakyat (Dwikora).

Pada bulan April 1965, Lettu Pierre Tendean diangkat menjadi ajudan Menteri Koordinator Pertahanan Keamanan/Kepala Staf Angkatan Bersenjata, Jenderal AH Nasution. Ketika itu, Jenderal Nasution merupakan salah satu target terpenting penculikan G30S.

Pada dini hari 1 Oktober 1965, Gerakan 30 September berusaha memasuki rumah Pak Nas (AH Nasution). Pierre yang berada di paviliun rumah Pak Nas terbangun begitu terdengar suara gaduh. Ketika keluar, ia disergap Pratu Idris dan Jahurup.

Pierre berusaha menjelaskan bahwa ia adalah ajudan Pak Nas. Namun yang terdengar oleh para penculik, Pierre adalah Pak Nas. Kedua tangannya diikat dan dinaikkan ke dalam truk dan dibawa ke daerah Lubang Buaya. Di sana ia dibunuh dan jenazahnya dimasukkan ke dalam sumur tua bersama para perwira TNI AD lainnya.

3. Kolonel TNI (Anumerta) Sugiyono Mangunwiyoto

Sugiyono Mangunwiyoto lahir di Yogyakarta pada 12 Agustus 1926. Ia wafat di Jakarta pada 1 Oktober 1965. Pada 22 Oktober 1965 jenazahnya ditemukan dan dimakamkan di Taman Pahlawan Semaki, Yogyakarta.

Sugiyono menempuh pendidikan di sekolah guru pertama di Wonosari. Pada masa pendudukan Jepang, ia mengikuti pendidikan Tentara Pembela Tanah Air (PETA). Setelah kemerdekaan, ia bergabung dengan TKR di Yogyakarta dan menjabat sebagai Komandan Seksi. Terakhir, ia menjabat sebagai Kepala Staf Korem 072 Kodam VII Diponegoro di Yogyakarta.

Ketika terjadi Serangan Umum 1 Maret 1949, ia menjadi Ajudan Letnan Kolonel Soeharto. Ia pun turut andil dalam memadamkan Pemberontakan Andi Aziz di Sulawesi Selatan melalui Gerakan Operasi Militer (GOM) III.

Saat menjabat Kepala Staf Korem 072 Kodam Diponegoro, daerah Surakarta dikuasai PKI. Bahkan posisi pemerintahan terendah dari lurah hingga hansip diisi orang-orang PKI. Gerakan 30 September di Jakarta nampaknya akan terjadi di Yogyakarta.

Ketika kembali dari tempat tugasnya di Pekalongan, ia hendak ke markas Korem 072. Sugiyono tidak mengetahui bahwa PKI telah menguasai markas Korem 072. Ia diculik dan dibunuh di Kentungan, sebelah utara Yogyakarta.

4. Letjen (Anumerta) Mas Tirtodarmo Haryono

Mas Tirtodarmo Haryono atau MT Hayono lahir di Surabaya pada 20 Januari 1924. Ia meninggal dunia di Jakarta pada 1 Oktober 1965 setelah diculik dan dibunuh oleh gerombolan Gerakan 30 September 1965. Setelah menamatkan di ELS (setingkat sekolah dasar), Haryono melanjutkan ke HBS (setingkat sekolah menengah umum).

Selanjutnya, ia masuk Ika Dai Gakko (sekolah kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, tetapi tidak ditamatkannya. Setelah proklamasi kemerdekaan, ia menggabungkan diri bersama para pemuda dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dan berpangkat Mayor.

Haryono menjadi Sekretaris Delegasi Militer Indonesia pada saat Konferensi Meja Bundar (KMB). Perannya dalam diplomasi internasional tidak dilepaskan dari kemampuannya berbicara bahasa Inggris, Belanda, dan Jerman. Ia lebih banyak ditempatkan dalam lingkungan staf Angkatan Darat.

Pada masa revolusi fisik, ia sering berpindah-pindah tugas yang antara lain bekerja di kantor penghubung, Sekretaris Delegasi RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda, Sekretaris Dewan Pertahanan Negara, dan Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan Gencatan Senjata.

Pada saat PKI mulai menguasai panggung politik nasional, Haryono menjabat sebagai Deputi III Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad)). Ia menolak ide PKI untuk membentuk Angkatan Kelima.

Ia mengetahui adanya maksud terselubung PKI yang hendak menjadikan ideologi komunis sebagai pengganti Pancasila. Pada 1 Oktober 1965 dini hari bersama enam perwira lainnya, ia diculik dan dibunuh. Jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya.

Baca selengkapnya di halaman berikut...




(dhm/dhm)

Berita Terkait
Berita detikcom Lainnya
Berita Terpopuler

Video

detikNetwork