Presiden Palestina Mahmoud Abbas memecat hampir semua gubernur yang ada di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza. Apa yang menjadi dasar dari pemecatan itu?
Mengutip detikNews yang melansir Middle East Monitor dan Associated Press, Jumat (11/8/2023), pemecatan besar-besaran itu untuk merespons tuntutan lama agar dilakukannya perombakan politik di tengah frustasi yang meluas terhadap otoritas Palestina.
Proses pemecatan itu dilakukan melalui dekrit kepresidenan yang dikeluarkan oleh Abbas pada Kamis (10/8) waktu setempat. Isi dari dekrit itu yakni memberhentikan gubernur di wilayah Tepi Barat dan Jalur Gaza sebanyak 12 orang.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Di Jalur Gaza, Gubernur Gaza Utara, Gubernur Gaza, Gubernur Khan Yunis dan Gubernur Rafah diberhentikan berdasarkan dekrit kepresidenan," demikian laporan kantor berita resmi Palestina, WAFA.
Untuk wilayah Tepi Barat, Abbas memerintahkan pemberhentian gubernur delapan provinsi, yakni Gubernur Jenin, Gubernur Nablus, Gubernur Qalqilya, Gubernur Tulkarem, Gubernur Bethlehem, Gubernur Hebron, Gubernur Tubas dan Gubernur Jericho.
Artinya, di Tepi Barat hanya ada tiga wilayah termasuk Ramallah yang menjadi pusat Otoritas Palestina, yang tetap mempertahankan gubernur mereka.
Kantor berita WAFA menerangkan, Abbas juga merilis dekrit kepresidenan untuk membentuk sebuah komite yang berhak memilih calon gubernur yang bersangkutan dan merekomendasikan para calon gubernur itu kepada Presiden Palestina untuk keputusan akhir.
Gelombang Kekerasan oleh Militansi
Pemberhentian para gubernur ini terjadi setelah pergolakan terjadi di beberapa wilayah, seperti Nablus, Jenin dan Tulkarum, yang baru-baru ini dilanda gelombang kekerasan oleh militansi Palestina yang merusak kepemimpinan Otoritas Palestina.
Meskipun para gubernur wilayah Palestina mengatakan mereka telah memperkirakan adanya perombakan selama bertahun-tahun karena tuntutan perubahan yang meningkat, namun masih banyak yang menyebut dekrit pada Kamis (10/8) itu mengejutkan mereka.
Meskipun demikian, tidak ada yang menyatakan ketidaksetujuan dengan keputusan Presiden Palestina itu, yang pemerintahannya menjadi semakin otokratis dalam beberapa tahun terakhir.
"Saya bisa memahami betapa pentingnya 'darah segara'. Ini merupakan keputusan presiden dan bahkan jika kami tidak memahami semua alasannya, kami akan mematuhinya," ucap Gubernur Jerico dan Lembah Yordani, Jihad Abu al-Assal dalam tanggapannya.
Perombakan politik ini dilakukan ketika Partai Fatah yang beraliran nasionalis sekuler, yang menjalankan Otoritas Palestina yang diakui secara internasional, menghadapi kritis yang semakin meningkat, baik internal maupun eksternal.
Sementara rakyat Palestina sendiri tidak memiliki kesempatan untuk memberikan suara mereka dalam pemilu nasional sejak tahun 2006. Masa jabatan empat tahun yang dipegang Abbas secara teknis berakhir pada tahun 2009 lalu.
(afb/afb)