Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Sumatera Utara tengah menyusun fatwa soal larangan merias pengantin lawan jenis. Rancangan fatwa itu menuai kritik karena dianggap hanya akan menambah angka pengangguran.
Rancangan fatwa itu muncul karena banyaknya perias pengantin lawan jenis di Madina. Dan itu dianggap mengkhawatirkan.
Ketua MUI Madina Muhammad Nasir mengatakan pihaknya telah melakukan muzakarah atau tukar pikiran pada Selasa (16/6). Muzakarah tersebut diadakan oleh Komisi Fatwa bersama Komisi Hukum dan HAM MUI Madina.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Kemarin ada muzakarah tentang merias pengantin lawan jenis, jadi soal laki-laki merias wanita atau wanita merias laki-laki," kata Muhammad Nasir kepada detikSumut, Senin (26/6/2023).
Saat ini, tim pembuat fatwa itu sedang menyusun draf sehingga sesuai SOP pembuatan fatwa di MUI. Draf tersebut akan diserahkan tim ke pengurus MUI Madina pada 28 Juni nanti.
"Setelah kita muzakarahkan, konsep bagaimana model fatwa sudah kita serahkan ke tim, saat ini sedang persiapan fatwanya sesuai dengan SOP yang ada di MUI, insyaallah itu nanti kita terima di tanggal 28 mentahnya udah sama pengurus MUI," ucapnya.
Pengurus MUI Madina akan menelaah kembali sebelum dikirim ke MUI Sumut dan MUI Pusat. Setelah dinilai layak oleh MUI Pusat, maka fatwa tersebut akan dikeluarkan.
"Setelah itu akan kita analisa lagi, ada nggak yang salah, baru kita kirim ke MUI provinsi Sumatera Utara, baru direkomendasikan orang itu ke MUI Pusat, kalau sudah layak nanti baru kita keluarkan fatwa," ujarnya.
Nasir menyebutkan, rancangan fatwa tersebut karena setiap acara pernikahan banyak perias pengantin adalah lawan jenis. Sehingga muncul pertanyaan masyarakat terkait hukum tersebut.
"Sesuai dengan masukan atau pertanyaan dari masyarakat ke kita, karena perhitungan mereka itu dari walimatul ursy atau pesta yang dilaksanakan di Kabupaten Mandailing Natal itu didominasi oleh lawan jenis merias, sehingga bertanya-tanya bagaimana sih hukumnya," sebutnya.
Sehingga MUI Madina melakukan muzakarah untuk membahas hukumnya. Nasir menjelaskan tidak ada dalil yang menyatakan larangan merias lawan jenis.
"Dari situlah kita melakukan acara muzakarah itu, kemarin berdasarkan analisa kita, karena dia tidak ada secara langsung yang menyatakan merias (dilarang)," jelasnya.
Namun, ada dua hal yang mereka gunakan sebagai landasan, yaitu soal melihat aurat lawan jenis dan menyentuh lawan jenis. Sehingga disimpulkan jika merias pengantin lawan jenis dilarang.
"Maka ada dua hal yang perlu diperhatikan, pertama melihat aurat lawan jenis dan menyentuh lawan jenis, itu semua berdasarkan dalil-dalil yang ada baik di Al-Quran, hadis dan pendapat ulama, itu tidak boleh dilakukan, dilarang," ungkapnya.
Di Madina, kata Nasir, pria mendominasi menjadi perias pengantin wanita saat pesta. Hal itu kemudian dianggap lumrah bagi sebagian masyarakat, namun meresahkan bagi sebagian yang lain.
"Tapi yang kita lihat di lapangan, sesungguhnya bukannya nggak ada perias perempuan tapi masyarakat menganggap itu suatu hal yang biasa dan ada juga yang merasa resah," ucapnya.
Nasir mengakui, saat ini perias pengantin wanita di Madina lebih banyak pria, sehingga mereka sudah menyiapkan solusi jika diperlukan saat fatwa ini dikeluarkan. Untuk memperbanyak perempuan menjadi perias pengantin, MUI melalui Komisi Perempuan, Remaja dan Keluarga (KPRK) akan melakukan melakukan pelatihan etika dalam merias.
"Kalau nanti keluar fatwa, otomatis akan ada yang bertanya, itu gimana solusinya? kita kan punya KPRK namanya, itu nanti akan kita buat agenda ke depan bagaimana etika dalam merias, tapi nanti mungkin masih 2024 itu pelatihannya, kalau memang itu dibutuhkan," tutupnya.
Respons DPRD soal Rencana Fatwa di Halaman Berikutnya...
Anggota DPRD Madina, Teguh W Hasahatan Nasution, kurang sepakat dengan rencana fatwa larangan perias pengantin lawan jenis. Karena fatwa itu berpotensi menambah angka pengangguran.
"Kita tidak tahu urgensinya apa, belum ada keterangan secara keseluruhan, tapi yang jelas itu kan lapangan pekerjaan bagi mereka," kata Teguh W Hasahatan Nasution kepada detikSumut, Selasa (27/6/2023).
Teguh mengakui jumlah pria yang menjadi perias pengantin di Madina jumlahnya lebih banyak daripada wanita. Sebab, wanita hanya sedikit yang berminat menjadi perias pengantin.
"Yang berminat ke salon ini kan perempuan, sedangkan perempuan yang mau jadi perias pengantin sedikit di Mandailing Natal ini dan sepengetahuan saya belum ada masalah pelecehan seksual selama pria merias perempuan," ucapnya.
Politisi PDIP tersebut mengaku khawatir angka pengangguran semakin meningkat setelah fatwa tersebut diberlakukan. Sehingga menambah persoalan bagi Pemkab Madina.
"Kita khawatir fatwa itu menambah pengangguran baru yang akhirnya meningkatnya angka kemiskinan, ini menjadi persoalan pemerintah daerah," ujarnya.
Mahasiswa Pascasarjana Hukum Universitas Medan Area itu mengungkapkan jumlah pengangguran saat ini di Madina adalah 40.980 jiwa. Atau sekitar 9,49% dari jumlah penduduk Madina.
Sehingga ia menilai, Pemkab Madina harus mengambil langkah untuk mengantisipasi meningkatnya angka pengangguran di Madina jika fatwa tersebut diberlakukan. Pemkab Madina harus memberikan pelatihan dan lapangan pekerjaan yang baru bagi pria yang selama ini menjadi perias pengantin di Madina.
"Kecuali ada langkah-langkah konkret dari pemerintah untuk alih profesi mereka, pria yang selama ini menjadi perias pengantin menjadi bekerja sesuai dengan profesi yang baru, jadi ada pelatihan dan lapangan pekerjaan gitu," tutupnya.
Bupati Madina Beri Dukungan. Baca Halaman Selanjutnya....
Sukhairi mengaku mengetahui rapat MUI Madina beberapa waktu yang lalu, namun tidak bisa hadir karena sedang berada di luar kota. Sukhairi berharap MUI mengeluarkan fatwa tersebut jika memiliki dalil yang kuat.
"Tentu majelis ulama mengeluarkan fatwa itu barangkali tentang hukum (Islam) mereka lebih paham, saya berharap kalau dalilnya kuat, ya kenapa tidak," katanya.
Sebab perlu menyampaikan bagaimana hukum tentang merias lawan jenis, apalagi bukan mahram. Terlepas apakah nantinya fatwa tersebut akan dipatuhi atau tidak.
"Karena satu sisi kan bukan mahram, satu sisi yang sudah biasa yang selama ini salah kita pikir tidak salah, persoalan dipatuhi atau tidak tentu kembali ke masing-masing pihak," ucapnya.
Secara hukum negara, kata Ja'far, tidak ada larangan soal merias itu. Namun secara hukum agama, menyentuh yang bukan mahram dan melihat auratnya dilarang.
"Kalau kita lari ke hukum pidana, kan tidak ada yang mengatur itu kan, namun kembali ke hukum agama ya di mana pun itu (menyentuh dan melihat aurat) tidak boleh," ujarnya.
Simak Video "Video: Kesal Tak Diberi Uang, Pemuda di Mandailing Natal Bakar Rumah Ortu"
[Gambas:Video 20detik]
(astj/astj)