Ketua Majelis Tinggi Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengutarakan soal adanya dugaan upaya agar Pilpres 2024 hanya akan diikuti oleh dua pasangan capres-cawapres yang dikehendaki. PDIP pun memberikan bantahan terkait hal itu.
Dilansir dari detikNews, Minggu (18/9/2022), Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto awalnya menanggapi soal SBY yang akan turun gunung menangani dugaan adanya ketidakadilan dan ketidakjujuran pada Pemilu 2024. Hasto menekankan PDIP akan naik gunung dan mengawasi langkah SBY.
"Setahu saya, Beliau tidak pernah lagi naik gunung. Jadi turun gunungnya Pak SBY sudah lama dan berulang kali. Monggo turun gunung. Tetapi kalau turun gunungnya itu mau menyebarkan fitnah kepada Pak Jokowi, maka PDI Perjuangan akan naik gunung agar bisa melihat dengan jelas apa yang akan dilakukan oleh Pak SBY," kata Hasto dalam keterangannya, Sabtu (17/9).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hasto kemudian menegaskan informasi yang diterima SBY soal Pilpres itu tidaklah tepat. Dia mengingatkan SBY agar hati-hati mengganggu Jokowi.
"Sebab informasi yang diterima Pak SBY sangat tidak tepat. Jadi hati-hati kalau mau ganggu Pak Jokowi," ucapnya.
Hasto kemudian menyinggung soal anak dari SBY yang juga Ketum Partai Demokrat Agus Harimurti Yudhoyono (AHY). Hasto meminta agar pencalonan AHY di Pilpres tidak dijadikan indikator penilaian.
"Bisa tidaknya Demokrat bisa mencalonkan AHY dalam Pilpres jangan dijadikan indikator sebagaimana tuduhan adanya skenario Pemerintahan Pak Jokowi untuk berbuat jahat dalam Pemilu. Pak Jokowi tidak pernah punya pikiran batil sebagaimana dituduhkan Pak SBY. Pak Jokowi juga tidak menginjak-injak hak rakyat. Dengan blusukan Pak Jokowi mengangkat martabat rakyat," sebut Hasto.
Hasto juga menilai pernyataan SBY mengenai hal itu tidak bijak. Menurutnya, kecurangan Pemilu paling besar terjadi pada tahun 2009.
"Mohon maaf Pak SBY tidak bijak. Dalam catatan kualitas Pemilu, tahun 2009 justru menjadi puncak kecurangan yang terjadi dalam sejarah demokrasi, dan hal tersebut Pak SBY yang bertanggung jawab. Jaman Pak Harto saja tidak ada manipulasi DPT. Jaman Pak SBY manipulasi DPT bersifat masif, salah satu buktinya ada di Pacitan," jelasnya.
"Selain itu Anas Urbaningrum dan Andi Nurpati, yang seharusnya menjadi wasit dalam Pemilu, ternyata kemudian direkrut menjadi pengurus teras Partai Demokrat. Diluar itu, data-data hasil Pemilu kemudian dimusnahkan. Berbagai bentuk tim senyap dibentuk. Selain itu, menurut penelitian, SBY menggunakan dana hasil kenaikan BBM untuk kepentingan elektoral. Pada saat bersamaan terjadi politisasi hukum terhadap lawan politik Pak SBY," lanjut Hasto.
Hasto lagi-lagi membantah bahwa selama 10 tahun kepemimpinan SBY dan berkuasanya Demokrat, tidak ada kecurangan Pemilu. "Apa yang disampaikan oleh Pak SBY bahwa selama 10 tahun Demokrat memimpin tidak pernah melakukan kecurangan Pemilu, mudah sekali dipatahkan. Jadi biar para pakar Pemilu yang kredibel yang menilai demokratis tidaknya 10 tahun ketika Demokrat memimpin. Bukan hanya itu, saksi kunci berbagai kasus korupsi besar pun banyak meninggal tidak wajar di jaman Pemerintahan Pak SBY. Itu yang bisa diteliti," imbuhnya.
(afb/afb)