Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI) kembali menyosialisasikan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai UU Nomor 1/2023 Tentang KUHP yang disahkan pada 2 Januari 2023. Kali ini sosialisasi digelar dan bekerja sama dengan Universitas Negeri Papua (Unipa).
Rektor Unipa, Meky Sagrim mengatakan pembaharuan sistem hukum nasional melalui KUHP yang merupakan hasil karya bangsa sendiri ini akan berlangsung baik karena dilaksanakan secara terbuka dan melibatkan banyak pihak. Seperti praktisi ahli, akademisi, LSM, maupun mahasiswa.
"Pembaharuan tersebut bertujuan untuk mengganti KUHP peninggalan Belanda menjadi KUHP Nasional yang bertujuan untuk dekolonialisasi, harmonisasi, serta untuk menyesuaikan kondisi zaman dan dinamika di masyarakat," papar Meky dalam keterangan tertulis, Rabu (8/2/2023).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal ini dikatakan Meky dalam acara Sosialisasi KUHP di Swiss-belhotel, Kabupaten Manokwari, Papua Barat. Ia pun menambahkan Unipa pun berkomitmen untuk membantu pemerintah dalam mensosialisasikan KUHP tersebut.
"Atas arahan langsung dari Bapak Presiden RI kepada setiap perguruan tinggi negeri di wilayahnya masing-masing untuk terlibat dalam mensosialisasikan KUHP kepada mahasiswa maupun masyarakat setempat," jelasnya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjajaran, Romli Atmasasmita menjelaskan pengesahan KUHP nasional merupakan suatu momentum besar. Sebab, Indonesia akhirnya memiliki produk hukum asli buatan Indonesia yang sesuai dengan sistem hukum yang berlandaskan Pancasila.
"Ini sejarah baru bagi bangsa Indonesia karena usaha pembaharuan tersebut sebenarnya sudah pertama kali diusung pada tahun 1964. Sementara, Pemerintah pertama kali membentuk tim perumus KUHP sejak tahun 1983. Ini sudah hampir 40 tahun dan tercatat sudah 13 kali pergantian Menteri Kehakiman, Hukum dan HAM. Proses yang cukup panjang sampai dengan hari ini," papar Romli.
Dalam sesi selanjutnya, Guru Besar Hukum Pidana Universitas Jember M. Arief Amrullah mengungkapkan KUHP Nasional mengandung keseimbangan antara kepentingan masyarakat dan individu secara proporsional. Tak hanya itu, KUHP Nasional memiliki perbedaan dengan WvS (KUHP peninggalan Belanda) karena telah menyesuaikan dengan kondisi zaman maupun asas yang dimuat dalam Pancasila.
"Yang jelas KUHP Nasional ini berbeda dengan WvS. Ini artinya sudah mencerminkan partikularisasi dari masyarakat Indonesia. Jadi betul-betul KUHP ini dibuat sesuai dengan ritme dan irama yang terkandung dalam nilai Pancasila," kata Arief.
Arief menilai pro dan kontra yang terjadi akibat pengesahan KUHP tersebut menjadi hal yang lumrah. Untuk mengatasinya adalah dengan menguatkan konsolidasi ke berbagai kalangan dalam memberikan pandangan dan perspektif secara luas kepada masyarakat.
"Pro kontra di kalangan masyarakat memang kerap terjadi. Akan tetapi upaya untuk melakukan sosialisasi gencar kita lakukan di seluruh Indonesia yang tujuannya supaya masyarakat bisa memahami apa saja yang dimuat di dalam KUHP baru sehingga masyarakat bisa menerima dengan baik," imbuhnya.
Pada kesempatan yang sama, Guru Besar Fakultas Hukum Pidana Universitas Diponegoro, Pujiyono menyebutkan ini adalah tugas bersama untuk memantau terutama para akademisi dalam mencermati bagaimana jalannya KUHP ke depan.
"Ini adalah sebuah pekerjaan besar nasional yang harus kita sosialisasikan," kata Pujiyono.
Dalam membahas hal ini, Pujiyono memberi contoh kasus misalnya pengakuan terhadap hukum masyarakat adat yang diatur dalam KUHP nasional. Nantinya KUHP ini akan memberikan sistem hukum bagi masyarakat adat (living law) yang akan berdampak terhadap perlindungan hukum bagi masyarakat Papua dengan ratusan suku dan adat di dalamnya.
"Papua ini unik karena banyaknya masyarakat adat yang selama ini ada perlakuan otsus dan sebagainya. Ini sangat bagus untuk disosialisasikan berkaitan dengan adanya living law. Sehingga masyarakat akan lebih tahu berkaitan dengan eksistensi dari disahkannya Hukum Pidana di dalam Hukum Nasional," sambungnya.
Ia berharap dengan disahkannya KUHP tersebut bisa terintegrasi dalam keberadaan penegakan hukum nasional.
"Jika ide dasar KUHP ditelaah lebih dalam, maka KUHP peninggalan kolonial Belanda didasarkan pada nilai-nilai individual liberalism, sedangkan masyarakat Indonesia lebih banyak didasari oleh aspek-aspek monodualisme, atau bagaimana menempatkan individu di dalam konteks kemasyarakatan," tandasnya.
Sebagai informasi, sosialisasi KUHP berlangsung secara hybrid dan diikuti oleh ratusan peserta. Sosialisasi ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya disahkan KUHP tersebut agar lebih sesuai dengan dinamika masyarakat yang ada saat ini.
(akn/ega)