Bawaslu Sulawesi Selatan (Sulsel) mewanti-wanti para kepala desa agar tetap netral di Pilkada 2024. Bawaslu memastikan kepala desa melanggar netralitas bisa disanksi administrasi hingga pidana.
Hal itu disampaikan Ketua Bawaslu Sulsel Mardiana Rusli dalam acara 'Deklarasi Netralitas Kepala Desa' di Hotel Four Point by Sheraton Makassar, Rabu (25/9/2024). Dia juga menyampaikan acara yang digelar sehari sebelum masa kampanye ini untuk mengantisipasi kepala desa tidak netral di Pilkada hingga terlibat dalam kasus pidana pemilu.
"Merefleksi perjalanan Pemilu lalu, kita banyak menangani beberapa kepala desa yang tendensius mendukung legislatif maupun calon presiden. Sehingga memang dalam penanganan pelanggaran tindak pidana itu cukup besar," ujar Mardiana kepada wartawan, Rabu (25/9).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Para kepala desa itu dikumpulkan Bawaslu lewat Asosiasi Pemerintah Desa Indonesia (Apdesi) Sulsel. Ratusan kepala desa yang hadir mengucapkan ikrar untuk bertindak netral pada Pilkada Serentak 2024.
Terdapat 5 poin utama dalam ikrar tersebut, pertama, berkomitmen untuk tidak merugikan dan menguntungkan salah satu kandidat kepala daerah. Kedua, berjanji untuk tidak turut dalam kampanye kandidat.
Ketiga, bertekad untuk tidak melakukan intimidasi dan ancaman kepada masyarakat. Keempat, berjanji tidak akan menunjukkan keberpihakan kepala salah satu peserta pilkada lewat media sosial atau media massa. Dan kelima, berikrar untuk menolak politik uang.
Mardiana menyebut kegiatan ini merupakan sosialisasi untuk mencegah kepala desa terlibat aktif dalam politik praktis. Dia menyebut kepala desa rawan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk kepentingan pilkada.
"Apalagi kan sekarang sangat kencangnya, pilkada ini, kepala desa punya kekerabatan lebih dekat dengan para pemilih. Seperti di sampaikan tadi bahwa 50 persen kekuatan suara di daerah itu ada di perangkat desa dan kepala desa di sektor Desa," jelasnya.
Mardiana menegaskan kepala desa terlibat politik praktis diancam sanksi berupa administrasi berupa teguran hingga pidana penjara. Seperti politik uang dan melakukan mobilisasi massa untuk kepentingan suara yang merugikan paslon lain. Apalagi jika dilakukan dengan sistematis, terstruktur, masif (TSM).
"Jadi sejumlah tindak pidana juga ada rumusan tersendiri. Jika terbukti melakukan hal yang menguntungkan salah satu pihak untuk memberikan dukungan kepada paslon konteksnya adalah mobilisasi, sehingga itu dianggap merugikan pihak lain," katanya.
"Kalau dia pidana maka unsurnya harus dibawa ke sentra Gakkumdu, yakni Polisi, Jaksa dan Bawaslu. Apapun hasilnya mungkin akan tidak seiring dengan logika publik, tetapi dalam keputusan kajian kami harus berbasis undang-undang," tambahnya.
(ata/hmw)