Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI-LBH) Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), menolak penggodokan rencana peraturan daerah (Ranperda) Anti Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Perda tersebut dinilai memicu diskriminasi dan berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
"Inikan sebenarnya Ranperda yang memang dulu di tahun 2023 pernah diusulkan untuk dijadikan Perda tapi kita menolak karena menurut kami akan meningkatkan kebencian yang sebenarnya ada informasi yang keliru terkait orientasi seksual yang menganggap LGBT itu sebagai penyimpangan seksual," ujar Direktur YLBHI-LBH Makassar Abdul Azis Dumpa kepada detikSulsel, Kamis (25/4/2025).
Menurutnya, pengaturan terhadap LGBT dalam perda dikhawatirkan menyebabkan tindakan represif. Di sisi lain, lanjut Azis, persepsi yang menganggap LGBT sebagai penyimpangan seksual bertentangan dengan pedoman resmi dari pemerintah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sehingga ketika itu diatur, kepada LGBT dapat dikenakan upaya pencegahan maupun penanggulangan yang di dalamnya mencakup akses pengamanan dan rehabilitasi yang sering kali represif. Itu yang kita takutkan," katanya.
"Padahal kalau kita lihat sebenarnya, anggapan bahwa LGBT adalah penyimpangan itu bertentangan dengan pedoman penggolongan diagnosis gangguan jiwa dari Kementerian Kesehatan, sudah disebutkan bahwa orientasi seksual tidak dianggap sebagai gangguan," kata Azis menambahkan.
Dia mengkhawatirkan perda tersebut akan mendorong terjadinya diskriminasi sistematis. Bahkan bisa berujung pada tindakan kekerasan dan kesewenang-wenangan kepada kelompok LGBT.
"Kalau Perda ini didorong akan memperburuk stigma dan diskriminasi masyarakat kepada LGBT. Karena yang terjadi nanti akan ada kesewenang-wenangan, akan ada kehilangan pekerjaan oleh LGBT karena dia sudah dianggap sebagai penyimpangan. Problem utamanya di sana," jelasnya.
Misalnya, kata Azis, kelompok LGBT akan kehilangan hak dasar karena dianggap menyimpang yang dilegitimasi dengan perda. Sehingga dia menyimpulkan, perda yang digodok akan bertentangan dengan HAM.
"Sehingga kalau mau disimpulkan keberadaan perda LGBT yang didorong oleh eksekutif dan legislatif DPRD Makassar dikhawatirkan nanti mereka kehilangan hak dasarnya. Ini yang jadi problem utamanya," jelasnya.
Dia juga menilai tidak ada urgensi dalam mendorong perda anti-LGBT meski baru-baru ini viral dua laki-laki berciuman di tempat hiburan malam (THM). Peristiwa itu disebut merupakan stigma semata bagi LGBT.
"Kalau ini terdorong gara-gara ada peristiwa di tempat hiburan malam, lagi-lagi kita menganggap ada stigma di sana. Seolah-olah hal yang terkait dengan kekerasan seksual dilekatkan ke LGBT," katanya.
Padahal menurut Azis, perbuatan asusila tak hanya dilakukan oleh LGBT. Seharusnya kejadian itu tidak dilihat dari segi orientasi seksual.
"Tidak perlu dilihat dia LGBT, inikan sangat diskriminasi memandang LGBT sebagai sebuah penyimpangan seksual yang akan mengarah pada tindakan diskriminasi dan kekerasan kepada mereka," imbuhnya.
Jika peristiwa itu dianggap melanggar hukum, kata dia, silakan diproses pidana umum. Pasalnya, tindakan asusila bisa dilakukan siapapun tanpa harus melihat apa orientasi seksualnya.
"Kita tolak ukurnya, kan sudah ada undang-undang hukum pidana. Kalau misalnya mengatakan ada orang yang melakukan tindak pidana tertentu silakan saja diproses," jelasnya.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...