Heboh Setengah Jalanan di Daya Makassar Dipagari Warga-Dijadikan Teras

Heboh Setengah Jalanan di Daya Makassar Dipagari Warga-Dijadikan Teras

Sahrul Alim - detikSulsel
Jumat, 28 Mar 2025 14:55 WIB
Heboh warga di Makassar bangun pagar dan teras di jalanan.
Heboh warga di Makassar bangun pagar dan teras di jalanan. Foto: (Sahrul Alim/detikSulsel)
Makassar -

Heboh warga di Jalan Balangturungan, Kelurahan Daya, Kota Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), membangun pagar dan teras di depan rumahnya hingga mengambil setengah badan jalan. Kondisi itu pun dikeluhkan warga hingga viral di media sosial.

"Kami protes, saya kan sebelumnya sudah kasih tahu warga bagaimana ini fasilitas umum yang sudah kita gunakan puluhan tahun, setuju tidak dipersempit? Warga tidak setuju," ujar warga bernama Hanawiah kepada detikSulsel, Jumat (28/3/2025).

Hanawiah mengaku telah mengumpulkan tanda tangan dan foto copy KTP warga yang tidak setuju jalan itu dipersempit lalu dibawa ke kantor kelurahan. Namun, kata dia, Lurah Daya Nur Alam justru membela warga bernama Lifran yang membangun pagar tersebut.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Justru disurati mereka, dipanggil ke kantor lurah, di sana mereka katanya ditanya 'kalian yang tanda tangan tidak setuju itu jalan dipersempit, apa masalah mu, itu tanahnya sendiri dia banguni'," kata Hanawiah menirukan pernyataan Nur Alam.

"Ibu lurah bilang begitu, tanahnya sendiri dia banguni kenapa kalian keberatan. Mau ko dibawa semua ke Polda, itu saya tidak kurangi, hanya apa yang diucapkan itu orang saya ucapkan kembali," sambungnya.

ADVERTISEMENT

Akibat jalan sempit, akses keluar masuk kendaraan makin sulit. Terbaru, mobil pemadam kebakaran sempat kesulitan masuk saat terjadi kebakaran di sekitar lokasi.

"Kemarin itu susah, damkar waktu masuk, buru-buru masuk bisa, tapi pas mundur tidak bisa mi. Sebelumnya bisa mobil truk lewat. Bisa ditanya ke warga lain, karena banyak katanya yang melapor karena katanya saya saja yang keberatan karena punya mobil. Padahal bukan hanya saya, banyak, mau dikata warga di belakang keberatan cuma tidak berani bicara, saya hanya mewakili mereka semua," katanya.

Di sisi lain, Hanawiah menuturkan histori kepemilikan tanah di lokasi Lifran membangun teras dan pagar. Dia menyebut lahan tersebut dulunya merupakan lahan yang diwakafkan oleh orang tuanya sebagai akses jalan untuk anak-anaknya yang tinggal di sekitar lokasi.

"Itu kan mamaku kasih besar itu jalanan karena anak-anaknya semua di belakang. Dan dari tahun 80-an itu saya punya kakak memang sudah punya mobil. Jadi itu jalanan besar. Dan di sampingnya tanahnya itu Pak Lifran itu kan masih tanahnya juga mamaku, bersambung dengan jalan masuk," ungkap Hanawiah.

"Jalan masuknya Haji Manye dulu. Kan itu Haji Manye beli sama orang tua saya, jadi itu jalan masuknya dia. Tapi setelah itu orang tuanya meninggal dua-dua, anaknya sudah pada punya rumah di Sudiang, itu rumah panggung dibongkar, jadi kosong. Setelah kosong barumi Pak Lifran temboki," imbuhnya.

Belakangan, Hanaiwah kaget sebab jalan tersebut tiba-tiba sudah memiliki akte jual beli yang baru dibuat pada 2011. Tanah itu katanya dibeli Lifran dari tantenya, Haji Bollo yang kini sudah meninggal dunia.

"Kalau alas haknya, kakak awal mula dikasih 10 are (dari orang tua). Terus pada saat dia mau bangun rumah dikeluarkan memang jalan kurang lebih 4 are. Jadi dikasih tahu sama orang tua kasih keluarkan jalan memang untuk saudaramu toh. Jadi kakak sudah kasih keluarkan jalan. Jadi tidak ada mi di dalam surat itu jalanan. Diwakafkanmi ceritanya," beber Hanawiah.

"Ada dia bikinkan itu akte jual beli saya lihat dia punya. Di suratnya kakak itu Haji Salaman berbatasan dengan Daeng Bandu, neneknya Lifran. Sementara di akte jual belinya Pak Lifran berbatasan jalan. Tapi kan suratnya baru, saya lihat 2011. Tidak mungkin Haji Bollo jual itu ke Lifran dengan jalannya. Nah itu sudah dari dulu jalan," lanjut Hanawiah.

Hanawiah juga membantah dirinya mengintimidasi warga untuk melakukan protes terkait jalan tersebut. Dia mengaku meminta tanda tangan warga atas dukungan warga sendiri tanpa adanya paksaan.

"Warga itu dia bilang, 'kita kan Bu Hanawiah tinggal di belakang, kalau kita jalan (bergerak), mewakili mi semua. Kita mi (ibu saja mewakili), kita dukung'. Saya kan tidak mau jalan kalau tidak mendukung juga warga. Walaupun saya juga punya kepentingan di situ," tutur Hanaiwah.

Dari situlah sempat terjadi mediasi antara warga, Lifran, dan pihak kelurahan. Hasilnya, kata dia, Lifran sepakat mundur 30 centimeter agar pembangunan jalan oleh pemerintah bisa dilakukan.

"Sudah terjadi itu mediasi. Sudahmi sama Bu Lurah. Pak Lifran tadinya bersedia (mundur). Waktu mediasi pertama masih pagar kayu dan tidak selebar itu. Di mediasi itu dia bersedia mundur 30 Cm saja. Kita okelah. Saya tanda tangan. Bu lurah tanda tangan. Banyak saksi, termasuk Pak Jayadi yang kuasa hukum itu," bebernya.

Sementara itu, Lifran selaku pemilik rumah membantah jalanan yang dibanguni pagar dan teras adalah fasilitas umum. Dia menegaskan teras dan pagar dibangun di atas tanahnya sendiri.

"Sesuai ukuran tanah, ini kan sebelum berkembang ini kampung, itu batasnya saya punya sumur. Jadi kalau diukur sesuai ukuran tanah itu 6 are. Tapi kalau mereka ngotot kita ukur sesuai dengan ukuran tanah, ukuran surat," katanya.

Dia mengaku sengaja membangun pagar karena tidak mau terganggu. Pasalnya, selama ini tanahnya itu dijadikan parkiran kendaraannya.

"Cuma saya tidak mau selalu ribut apa, karena saya sudah terganggu terus. Kalau mau lewati jalan, itu saja, tidak ada masalah. Masa saya disuruh mundur sementara kalian maju, wajar tidak itu," katanya.




(asm/ata)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads