Pria bernama Gonzalo di Makassar, Sulawesi Selatan (Sulsel), menjadi korban penipuan Rp 4,5 miliar saat mendaftar Akademi Kepolisian (Akpol). Pihak korban meminta polisi mengusut aliran dana hasil penipuan tersebut.
Permintaan itu disampaikan pengacara korban, Kamaruddin Simanjuntak usai menjalani pemeriksaan di Mapolrestabes Makassar, Selasa (29/10/2024). Dia menyinggung pelaku sempat menyebut uang hasil penipuan disimpan oleh orang tuanya.
"Perempuan (pelaku) itu juga bawa-bawa orang tuanya. Orang tuanya (pelaku) mengaku waktu itu telah menyimpan uang Rp 1 miliar 250 juta. Jadi artinya orang tuanya tahu bahwa uang itu adalah berasal dari ibu ini (Sherly selaku ibu korban) atau berasal dari ibu kedua Ibu Haji ini (Rosdiana)," kata Kamaruddin Simanjuntak kepada wartawan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kamaruddin mengatakan pelaku juga melibatkan sopirnya yang bernama Eno. Dia terus menyebut nama Eno ketika mengambil uang dari korban.
"Eno ini dibawa-bawa namanya, baik dalam kesehariannya mau pun menarik uang itu dari sini dari Cafe Bakso Mercon," jelasnya.
Selain itu, kakak dan ipar pelaku selaku oknum karyawan bank di Bone turut terlibat. Dia menduga kedua oknum tersebut berperan dalam membuka rekening untuk pelaku.
"Kemudian dibawa juga nama kakaknya sama kakak iparnya yang ada di Bank Panin Bone. Kebetulan diduga orang inilah yang berperan membukakan rekening daripada perempuan itu," terangnya.
"Kemudian setelah rekening (pelaku) itu dibuka, ditransfer uang (oleh korban) dan tidak lama kemudian ditutup," sambungnya.
Kamaruddin menilai peran dari orang-orang yang disebutkan oleh pelaku itu tidak dapat dibiarkan. Menurutnya, penyidik mesti memproses orang-orang tersebut.
"Kami minta juga nanti supaya ditangkap dan ditahan. Jadi bukan hanya perempuan itu, tapi ada kakaknya juga, orang tua, (ipar) sama asistennya," sebutnya.
Selain itu, Kamaruddin juga menyebut seseorang yang bernama Habib Luki yang diduga terlibat dalam penipuan tersebut. Dia mengatakan Habib Luki disebut sebagai orang yang membuat surat rekomendasi ke Kapolri.
"Habib Luki ini juga dilibatkan oleh perempuan itu seolah-olah memberikan rekomendasi Kapolri supaya anak ini (Gonzalo) diterima (Akpol) dan lain-lain," bebernya.
"Ada juga peran dari orang lain Cino atau Cinul juga berperan dalam membodoh-bodohi ibu ini (Sherly)," ujarnya.
Kamaruddin sekali lagi meminta polisi segera melakukan pemeriksaan terhadap beberapa orang yang diduga komplotan pelaku. Dia menekankan pihaknya perlu mendapatkan titik terang kasus ini.
"Kami minta supaya nama-nama ini segera diperiksa karena kalau tidak diperiksa, kita ini hanya praduga-praduga. Berpraduga-praduga itu tidak bagus, lebih bagus diperiksa semua, diperiksa semua supaya terang masalahnya," ujarnya.
Diberitakan sebelumnya, pelaku berinisial AFR sebelumnya juga dituding menyebut nama anggota DPR RI Ahmad Sahroni demi meyakinkan korbannya. Namun Polisi mengatakan pelaku mengaku tidak mengenal pejabat yang dimaksud.
"Pelaku enggak ngaku (saat) kita periksa itu. Mungkin dia takut melibatkan orang besar, kalau dia bohong kan akibatnya fatal buat dia, ke penyidik itu dia bilang 'Saya tidak bawa-bawa (nama) orang itu'," kata Kasat Reskrim Polrestabes Makassar Kompol Devi Sujana saat dikonfirmasi detikSulsel, Senin (21/10).
Menurut Devi, pelaku AFR memang beraksi dengan cara menawarkan jasa memasukkan korban ke Akpol meski korban sudah dinyatakan gugur. Selain itu, AFR juga disebut menjanjikan korban tanpa tes sebab tes hanya formalitas.
Devi juga menjelaskan bahwa pelaku dan korban sebenarnya baru saling kenal. Korban percaya lantaran pelaku mengaku mengenal sejumlah pejabat tinggi.
"Setelah kita konfrontir itu tidak benar dia kenal dengan pejabat-pejabat, tidak benar, hanya ngaku-ngaku saja dia," tambahnya.
Lebih lanjut Devi menjelaskan jika korban sempat dibawa ke Jakarta oleh pelaku untuk menemui pejabat yang dikenalnya. Namun pelaku gagal mempertemukan korban dengan pejabat tersebut.
"Korban juga sudah dibawa ke Jakarta menjanjikan ketemu dengan pejabat, ternyata ada kendala pejabatnya mendadak dipanggil sama pejabat lebih tinggi. Itu hanya modus saja, emang dia ga ada kenal sama pejabat, hanya bujuk rayunya saja," jelasnya.
Selain itu, korban juga sempat dibawa ke Semarang untuk tes. Alih-alih mengikuti tes, korban hanya berada di hotel selama sebulan.
"Kemudian sudah berada di Semarang, tapi di Semarang cuma di hotel aja. Kan tes pusatnya di Semarang, walaupun di sini sudah gugur. Tes pusatnya di Semarang, di Semarang hanya di hotel aja sampai sekitar sebulan dengan alasan stand by dulu nunggu,"terangnya.
(hmw/ata)