Masyarakat di Papua tidak hanya dihadapkan pada ancaman gangguan keamanan dari kelompok kriminal bersenjata (KKB). Warga Papua kini patut mewaspadai bahaya laten dari kelompok kriminal politik (KKP) yang menyebarkan paham separatis melalui pendekatan ideologis dan intelektual.
Satgas Operasi Damai Cartenz mengakui adanya ancaman ganda dari kelompok separatis di Papua, baik KKB dan KKP. Situasi ini menjadi tantangan bagi aparat penegak hukum dalam melakukan penindakan.
"Keduanya menjadi tantangan ganda yang harus dihadapi secara cermat dan terukur oleh aparat keamanan," ungkap Kepala Operasi Damai Cartenz Brigjen Faizal Ramadhani dalam keterangannya, Jumat (18/7/2025).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua kelompok itu dinilai sama-sama menggaungkan propaganda Papua merdeka. Namun KKB maupun KKP masing-masing melancarkan aksi kejahatannya dengan cara yang berbeda.
Perbedaan KKB dan KKP Papua
Faizal menjelaskan, KKB selama ini dikenal dengan aksinya yang brutal menggunakan senjata api. Kelompok ini melakukan kekerasan secara langsung untuk menciptakan gangguan keamanan dan menyasar aparat serta masyarakat sipil.
"Kalau KKB menggunakan senjata, maka KKP menggunakan wacana politik dan ideologis," ungkap Faizal.
Sementara itu, KKP dinilai bergerak lebih halus namun sistematis. Mereka menyusup lewat jalur intelektual, aksi massa, dan propaganda digital, dengan tujuan akhir memisahkan Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
"Ancaman KKB nyata dalam bentuk kekerasan, tetapi KKP menyerang dari sisi ideologi dan kesadaran generasi muda Papua," tuturnya.
Faizal menegaskan, KKP justru harus mendapat perhatian lebih serius. Aktivitas KKP dinilai jauh lebih berbahaya dibandingkan dengan KKB karena gerakannya dibungkus dengan kegiatan intelektual.
"Ini (KKP) justru lebih berbahaya dalam jangka panjang karena dilakukan melalui proses kaderisasi, agitasi intelektual, dan pembentukan narasi tandingan terhadap negara," ucap Faizal.
Modus KKP Sebar Paham Separatis
KKP memiliki struktur dan jaringan yang luas, baik di dalam maupun luar negeri. Organisasi seperti Komite Nasional Papua Barat (KNPB) dan United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) menjadi garda depan dalam menyuarakan agenda separatisme.
"Termasuk melalui lobi internasional dan pemanfaatan diaspora mahasiswa Papua di luar negeri. Di dalam negeri, kelompok ini menyusup melalui jaringan mahasiswa seperti Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) yang tersebar di berbagai kota studi," jelas Faizal.
Wakapolda Papua ini melanjutkan, KKP kerap memanfaatkan isu-isu sensitif untuk membangun sentimen anti-pemerintah. Sejumlah isu tersebut disulap menjadi 'bahan bakar' agitasi dan propaganda.
Isu yang kerap disebarkan KKP, seperti rasisme hingga pelanggaran HAM. Selain itu menyebarkan penolakan terhadap program-program strategis pemerintah, seperti ketahanan pangan, makan bergizi gratis, dan pemekaran daerah otonomi baru.
"Kami mencatat bahwa banyak disinformasi dan narasi provokatif beredar di media sosial yang menyebut program-program pemerintah sebagai bentuk penjajahan baru. Padahal, program tersebut bertujuan menyejahterakan masyarakat Papua," terangnya.
KKP dianggap telah memiliki basis simpatisan atau kelompok yang pro dengan gerakannya. Kendati begitu, aktivitas KKP yang sistematis dapat mempengaruhi masyarakat yang tadinya tidak simpati, berubah haluan memberi dukungan.
"Mereka (KKP) menyasar kesadaran intelektual, termasuk kepada mereka yang awalnya tidak simpati. Kalau ini tidak ditangani dengan serius, bisa menumbuhkan simpati baru dan itu jauh lebih berbahaya," papar Faizal.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...
Tantangan Aparat Penegak Hukum
Faizal menuturkan, Satgas Operasi Damai Cartenz beroperasi di 11 kabupaten di wilayah Papua. Namun ada 5 kabupaten di antaranya yang menjadi fokus utama, yaitu Jayapura, Mimika, Deiyai, Dogiyai, dan Yahukimo.
Penanganan konflik di Papua tetap mengedepankan pendekatan hukum yang adaptif terhadap konteks sosial budaya Papua. Penegakan hukum dinilai tidak bisa dilakukan secara kaku karena masih kuatnya ikatan kekerabatan adat.
"Banyak warga yang secara adat merasa berkewajiban membantu saudaranya di KKB atau KKP, meskipun tidak mendukung secara ideologis," tutur Faizal.
Kondisi itulah yang ditanggapi lewat pendekatan yang persuasif dan humanis. Aparat tetap menindaki pelaku utama lewat proses hukum, tetapi penanganan terhadap simpatisan melalui pendekatan antropologis.
Faizal mengakui, Satgas Operasi Damai Cartenz sebagai salah satu operasi dengan risiko tertinggi di Indonesia. Personel yang bertugas kesulitan dalam memberantas kelompok separatis di Papua karena medan geografis yang berat.
"Hampir setiap tahun ada personel yang gugur dalam tugas. Selain itu, keterbatasan infrastruktur, dukungan anggaran, dan sistem penghargaan yang belum optimal masih menjadi PR tersendiri," ungkap Faizal.
Di sisi lain secara eksternal, regulasi yang ada terutama dalam hal penanganan propaganda digital dinilai masih belum cukup kuat. Faizal menyebut banyak konten provokatif yang menyebar cepat, namun sulit ditindak karena keterbatasan instrumen hukum.
"Masalah Papua tidak bisa hanya dibebankan ke TNI-Polri. Penyelesaian di hulu seperti pendidikan, pembangunan, dan penguatan institusi adat harus menjadi tanggung jawab bersama seluruh kementerian/lembaga. Kami butuh sinergi yang holistik," jelasnya.
Faizal turut menekankan, penanganan konflik di Papua tidak bisa hanya dibebankan kepada institusi Polri maupun TNI. Penyelesaian konflik menjadi kebijakan nasional yang harus didukung oleh seluruh pemangku kepentingan.
"Satgas Operasi Damai Cartenz akan terus berupaya menjaga stabilitas keamanan di Papua dengan mengedepankan pendekatan hukum, dialog, serta kerja sama dengan seluruh elemen bangsa," pungkasnya.
Simak Video "Video: Bupati Purwakarta Upayakan Pemulangan Jenazah Korban Penembakan KKB"
[Gambas:Video 20detik]
(sar/sar)