Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Gorontalo Heriyanto Kodai (HK) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus korupsi proyek jalan Samaun Pulubuhu-Bolihuangga dengan kerugian negara Rp 1,1 miliar. Heriyanto ditetapkan tersangka bersama Kepala Bagian Unit Kerja Pengadaan Barang dan Jasa (UKPBJ) inisial SA serta konsultan pengawas proyek inisial ST.
"Kami menetapkan tiga orang tersangka setelah menemukan dua alat bukti, HK sebagai Pengguna Anggaran (PA) tersangka lainnya yakni SP sebagai Penjabat Pembuat Komitmen (PPK) dan ST sebagai Konsultan Pengawas," kata Kepala Kejaksaan Negeri (Kejari) Gorontalo, Abvian Syaifulloh kepada detikcom, Sabtu (8/2/2025).
Abvian menyebut Heriyanto Kodai dan dua orang lainnya ditetapkan tersangka pada Jumat (7/2) sore. Ketiga tersangka tersebut kini ditahan di Rutan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Gorontalo selama 20 hari ke depan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sementara ini ditahan di Rutan Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Gorontalo," katanya.
Ketiganya diduga menyelewengkan dana proyek jalan Samaun Pulubuhu-Bolihuangga yang dianggarkan dari Dana Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) sebesar Rp 3.269.928,821 pada 2023. Berdasarkan hasil pemeriksaan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK), perbuatan ketiga tersangka mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 1.181.483.912.00.
"Jadi itu berdasarkan hasil audit BPK. Kerugian negara yang timbul akibat tindak pidana korupsi ini sebesar Rp 1.181.483.912.00," terang Abvian.
Abvian menjelaskan, kasus ini bermula dari Heriyanto yang berperan meminta ST untuk membuat kelengkapan dokumen penawaran CV Irma Yunika. Kata dia, Heriyanto menerima aliran dana Rp 75 juta dengan penunjukan langsung CV Irma Yunika sebagai penyedia.
"Bahwa atas permintaan membantu membuat kelengkapan dokumen penawaran CV Irma Yunika di antarnya dokumen RKK, RAB Penawaran dan memeriksa kelengkapan dokumen penawaran CV Irma Yunika serta mengunggah dokumen penawaran ke SPSE dengan menggunakan akun CV Irma Yunika. ST turut menerima aliran sebesar Rp 6 juta dan SA menerima aliran dana sebesar Rp 10 juta," bebernya.
"Bahwa dalam menjalankan tugasnya, HK tidak melakukan tindakan apapun meskipun mengetahui bahwa personel manajerial yang bekerja tidak sesuai kontrak. HK menerima aliran dana dengan nominal minimum senilai Rp 75.000.000.00 berkaitan dengan penunjukan langsung CV Irma Yunika sebagai penyedia," tambahnya.
Atas perbuatannya, ketiganya dijerat dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang (UU) Nomor 20 tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Ketiga tersangka terancam hukuman paling singkat 5 tahun dan paling lama 20 tahun penjara.
(asm/ata)