Polisi mengungkap kasus mafia tanah yang menyebabkan 14 orang korban mengalami kerugian dengan total Rp 2 miliar di Kabupaten Buru, Maluku. Dalam kasus ini, polisi menetapkan 3 orang tersangka.
"Menetapkan tiga tersangka dalam kasus mafia tanah, yakni AB (82) adalah aktor utama bersama rekannya FS (46) dan SGU (56)," kata Direktur Reskrimum Polda Maluku Kombes Andri Iskandar kepada wartawan, Senin (3/6/2024).
Kombes Andri menyebutkan kasus mafia tanah itu bermula dari AB yang memiliki tanah seluas 14.570 meter persegi pada tahun 1975 di kawasan Simpang Lima, Desa Namlea, Kabupaten Buru. Tanah itu kemudian diberi kuasa kepada FS pada tahun 1981 dan lalu dijual kepada Hj Tjapade pada tahun 1986.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Saat proses jual beli diketahui AB makanya dia memberikan kuasa kepada FS. Tanah itu pun sudah bersertifikat tahun 1995 atas nama Hj Tjapde," tuturnya.
Namun di tahun 2003, kata Kombes Andri, AB berpindah berdomisili dari Namlea ke Samarinda kembali mengeluarkan surat kuasa kepada FS dan SGU. AB memalsukan alas hak dan dokumen pendukung lain seolah-olah tanah itu masih miliknya.
"Atas perintah AB itu, maka FS dan SGU mulai menjual tanah seluas 14.570 meter persegi kepada 14 orang yang dibagi per kapling. Berlangsung sejak tahun 2003 hingga 2013," jelasnya.
"Atas pemalsuan alas hak dan dokumen pendukung lainnya, maka Kantor ATR/BPN Kabupaten Buru mengeluarkan 14 sertifikat tanah. Sebab dianggap memenuhi persyaratan," jelasnya.
Selanjutnya, Kombes Andri menuturkan, anak dari Hj Tjapde bernama Muhammad Darmawan lalu melapor dugaan pemalsuan dokumen itu tahun 2023. Tepat di tahun 2024 penyidik menemukan dua alat bukti yang cukup guna menetapkan tiga tersangka dan melakukan penangkapan.
"AB ditangkap di Samarinda, Kalimantan Timur, Sabtu (25/5) dan FS di Kota Namlea, Kabupaten Buru, Senin (27/5). Sedangkan SGU domisilinya sama dengan FS cuma dia berhasil kabur," ujarnya.
Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian dan Penanganan Sengketa Kanwil ATR/BPN Maluku Hardiansyah mengatakan pihaknya menunggu kasus itu berkekuatan hukum tetap guna menindaklanjuti dengan pelanggaran administrasi. Tujuannya, kata Hardiansyah, untuk pembatalan 14 sertifikat.
"Kalau kasusnya sudah berkekuatan hukum tetap, akan diproses dengan pelanggaran administrasi. Dari tracking kita, 14 sertifikat ini ketika dilihat dari potensi lost pada objek tanah maka pembeli alami kerugian Rp 2 miliar," jelasnya.
Ketiga tersangka dijerat dengan Pasal 263 ayat (1) KUHPidana dan Pasal 385 ayat 1 KUHPidana Jo Pasal 55 ayat 1 KUHPidana dan Pasal 56 ayat 1 KUHPidana.
(asm/hsr)