Warga di Jalan Karunrung, Kota Makassar, Sulawesi Selatan, masih ingat betul dengan peristiwa pembunuhan sadis Achmadi, istrinya Cecilia alias Syamsiah, 4 anaknya, serta seorang pembantu cuci bajunya Piddi. Ketujuh korban tewas mengenaskan dibunuh 5 pelaku eksekutor pada Minggu pagi, 12 Maret 1995. Kini, tragedi Karunrung menjadi kasus kriminal yang melegenda di Kota Daeng.
Tim detikSulsel menelusuri kesaksian warga usai Tragedi Karunrung terjadi 28 tahun silam. Beberapa di antaranya masih tinggal di sekitar lokasi pembunuhan. Mereka menceritakan momen mencekam saat warga dihebohkan dengan kematian Achmadi sekeluarga.
Ialah Fatraiani, anak dari Ketua RW setempat, Amir Lasinrang, yang saat itu melaporkan kasus pembunuhan Achmadi ke polisi. Saat peristiwa pembunuhan terjadi, Fatriani masih duduk di bangku kuliah semester 2. Sementara ayahnya kini sudah meninggal dunia.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fatriani menyaksikan langsung kondisi di dalam rumah Achmadi setelah pembunuhan itu diketahui. Dia sempat masuk ke tempat kejadian perkara (TKP) dan melihat mayat Achmadi 34 tahun, Syamsiah 30 tahun, Mashita 10 tahun, Andrianto 9 tahun, Indrawan 4 tahun, Lizanti 3 tahun, dan pembantunya Piddi 12 tahun.
"Saya itu hari menyusul ke TKP mengantarkan rokok bapak saya. Nah waktu saya mau masuk ke rumah tempat pembunuhan sempat dilarang polisi, tapi saya beralasan mau antarkan rokok ke bapak yang ada di dalam," kata Fatriani kepada detikSulsel, Minggu, 3 Desember 2023.
![]() |
Fatriani bercerita, sebelum mayat ketujuh korban ditemukan, kakak Piddi, Naneng, sempat mencari adiknya atas perintah ibunya, Daeng Lijah. Naneng lantas menuju rumah Achmadi, yang tak jauh dari tempat tinggalnya.
Setibanya di lokasi, Naneng melihat pintu rumah Achmadi tertutup rapat. Naneng tak berani masuk dan hanya mengintip lewat jendela kaca di rumah Achmadi. Naneng melihat lantai rumah itu bersimbah darah. Namun, ia tak melihat siapa-siapa di dalam rumah dan mengiranya hanya darah ayam.
Tak lama setelahnya, ibu Piddi, Daeng Lijah juga mengecek keberadaan Piddi di rumah Achmadi. Betapa kagetnya, Daeng Lijah melihat lantai rumah dalam kondisi bersimbah darah. Dia lantas bergegas menuju ke rumah ketua RW untuk melaporkan apa yang ia lihat pada pukul 17.00 Wita.
"Pak RW, saya dari rumahnya Pak Achmadi. Dia (ibunya Naneng) pakai bahasa Makassar (waktu itu), battua ri balla na Pak Achmadi, Pak RW, jaina cera ku cini (saya dari rumahnya Pak Achmadi, saya lihat banyak sekali darah)" ucap Fatriani menirukan laporan ibu Naneng.
Amir tanpa pikir panjang langsung menindaklanjuti laporan warganya. Dia menelepon polisi dari polsek terdekat. Tak lama, polisi dan sejumlah perwakilan masyarakat sudah tiba di lokasi. Garis polisi langsung dipasang di sekitar TKP. Laporan ibu kandung Piddi itu kemudian sampai ke telinga warga hingga mereka berbondong-bondong mendatangi rumah Achmadi.
Di dalam rumah, terlihat darah berceceran mulai dari ruang tamu rumah Achmadi dan mengarah ke sumur di belakang rumah. Setelah ditelusuri, air di dalam sumur ditemukan bak lautan darah, berwarna merah pekat.
![]() |
Polisi dan warga kemudian menyedot air sumur rumah Achmadi untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi. Saat air mulai terkuras, warga kaget melihat ada mayat Achmadi, Syamsiah, dan anak bungsunya Lizanti.
"Di TKP sumur itu yang pertama kali diangkat itu anaknya, si Liza, umur 3 tahun. Jadi posisi dia meninggal itu dia tidak diapa-apakan, jadi mungkin dia mati tenggelam karena nda ada darah," tutur Fatriani.
![]() |
Sejalan dengan ditemukannya 3 mayat pertama, polisi kembali menyusuri rumah Achmadi dan menemukan dua korban lainnya, Mashita dan Piddi. Mayat Mashita ditemukan di kolong tempat tidur kamar tengah lantai 2, sementara jasad Piddi berada di kamar mandi.
Polisi sempat kewalahan mencari dua anak Achmadi lainnya, Andrianto dan Indrawan. Keduanya baru ditemukan setelah polisi mencoba menyisir ke rumah sebelah yang bersambung dengan rumah Achmadi. Mayat Andrianto dan Indrawan ditemukan di dalam sumur berbeda dengan Achmadi. Setelah semua korban ditemukan, mayatnya dijejer di ruang tamu rumah Achmadi. Selanjutnya jasad para korban dievakuasi ke rumah sakit untuk dilakukan visum.
"Begitu dibawa turun (mayat Mashita dan Piddi), dijejer, Pak RW (hitung ada) lima, (lalu ditanyakan polisi) mana dua? Bapak saya bilang ada dua anak laki-lakinya, dicari, keliling, tidak didapat. Mereka kan tidak kepikiran di (sumur rumah) sebelah," kenang Fatriani.
Mengetahui seluruh penghuni rumah serta seorang pembantunya Piddi tewas mengenaskan, membuat warga seketika ketakutan. Fatriani mengatakan warga tak menyangka ada peristiwa pembunuhan sadis yang menewaskan 7 orang di dalam rumah Achmadi itu.
Cerita Naneng di halaman selanjutnya.
Cerita Versi Naneng, Kakak Almarhum Piddi
Naneng, yang disebut pertama kali menyaksikan jejak pembunuhan Achmadi sekeluarga dan adiknya turut menceritakan momen mencekam itu kepada tim detikSulsel. Dia masih ingat betul semuanya, tapi seolah tidak sanggup untuk menceritakannya lagi.
"Merinding bulu kudukku ini kalau saya ceritakan lagi. Masalahnya saya saksi pertama itu hari," kata Naneng memulai perbincangannya detikSulsel, Jumat, 15 Desember 2023.
![]() |
Naneng membenarkan jika awalnya ia diminta ibunya untuk mencari almarhum Piddi di rumah Achmadi pada siang hari setelah kejadian. Seandainya dia tidak melaporkan apa yang dilihatnya, mungkin baru pada esoknya, Senin, 13 Maret 1995 jenazah Achmadi sekeluarga baru ditemukan.
"Seandainya mungkin bukan saya itu pertama yang pergi cari adikkku, sampai bermalam itu semua itu jenazah di rumah. Tidak mungkin ketemu, seandainya saya tidak pergi cari itu adikku di situ," kenangnya.
Saat tiba di rumah Achmadi, Naneng awalnya berteriak memanggil satu-persatu orang yang ada di rumah, termasuk memanggil Piddi. Namun tidak ada yang menyahut. Naneng awalnya mengira orang-orang di rumah sedang keluar. Tapi dia heran, sebab sendal hingga mobil penghuni rumah masih ada di luar.
"Jadi saya intip. Saya panggil-panggil mi juga. Saya sebut semua namanya. Saya bilang kenapa ini orang tidak ada menyahut di dalam. Pas saya mengintip saya melihat banyak sekali darah," katanya.
Di sisi lain, Naneng menyebut sebenarnya ialah orang yang sering dipanggil keluarga Achmadi untuk mencuci baju di rumahnya. Namun di hari kejadian, Naneng sedang sakit kepala, sehingga ia digantikan oleh almarhumah Piddi.
"Kalau ajalku mungkin saya yang mati. Karena saya yang dipanggil kerja sama keluarga Pak Achmadi itu hari. Setiap hari Minggu saya yang dia cari untuk bantu cuci baju," kenang Naneng.
Konon, suasana di sekitar lokasi kejadian disebut seketika bak kampung mati pada enam bulan pertama setelah kejadian. Warga tak banyak beraktivitas di sekitar Jalan Karunrung karena masih teringat dengan kasus pembunuhan sadis yang dialami Achmadi sekeluarga.
"Enam bulan pertama kayak kampung mati di situ karena tidak ada orang lewat-lewat. Itu hari memang pada saat kejadian (pembunuhan) kayak sepi karena di ujung sana (persimpangan jalan) itu ada rumah, baru dia manasik haji, jadi dia palang di ujung sana, juga dipasangi bambu. Tidak ada orang lewat," tutur warga lainnya yang ditemui tim detikSulsel bernama Muh, Sabtu, 2 Desember 2023.
Kondisi rumah bekas Achmadi sekeluarga dibunuh sadis kini sudah banyak berubah. Rumah itu juga sudah dua kali berpindah tangan. Informasi yang diperoleh detikSulsel, rumah milik Achmadi akan dibongkar dan akan dibangun jadi musala, setelah rumah itu dibeli salah satu yayasan sekolah Islam di Makassar.
"Yang jual rumahnya namanya Haji Musdalifa (beli dari ibu Achmadi). (Terakhir) Al-Biruni (yayasan sekolah Islam) beli dari Haji Musdalifa, tapi tidak pernah ji Haji Mus tinggal di situ. Haji Mus cuman bikin pangkalan minyak tanah, (lalu) minyak tanah hilang dari peredaran diganti jadi gas LPG yang 3 kiloitu," ucap Muh.