Kompolnas menyesalkan sanksi demosi yang dijatuhkan terhadap Briptu S karena memaksa tahanan wanita Polda Sulsel melakukan seks oral. Hukuman demosi tersebut dinilai tidak sebanding dengan perbuatan Briptu S.
Briptu S diketahui menerima putusan sanksi demosi selama tujuh tahun tersebut saat menjalani sidang pelanggaran kode etik anggota Polri, Selasa (5/12). Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengaku pihaknya menyadari sepenuhnya bahwa putusan tersebut merupakan kewenangan Komisi Kode Etik Polri (KKEP), namun tetap saja pihaknya menyayangkan putusan ringan itu.
"Kompolnas sangat menyesalkan putusan KKEP yang menjatuhkan hukuman ringan," kata Poengky.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hukuman etik berupa demosi 7 tahun tidak sebanding dengan kejahatan yang telah dilakukan pelaku," sambungnya.
Poengky menyinggung status Briptu S sebagai personel Direktorat Perawatan Tahanan dan Barang Bukti (Dit Tahti) Polda Sulsel. Jadi, kata Poengky, Briptu S seharusnya menjaga korban.
"Bukan malah memanfaatkan kerentanan tahanan perempuan dengan melakukan kekerasan seksual kepada korban," cetusnya.
Kompolnas Minta Polda Sulsel Banding
Poengky juga mendesak Polda Sulsel melakukan banding terhadap putusan demosi Briptu S. Dia bahkan meminta Kapolda Sulsel ikut turun tangan.
"Kompolnas berharap Kapolda Sulawesi Selatan mengambil alih dan menjatuhkan hukuman PTDH di tingkat banding," kata Poengky.
Poengky menegaskan pelecehan seksual adalah tindak pidana yang sangat kejam. Kasus ini seharusnya menjadi catatan karena pelaku merupakan polisi.
"Sanksi hukumannya seharusnya maksimal agar ada efek jera dan keadilan. Sanksi yang ringan juga dikhawatirkan akan mendatangkan penilaian publik bahwa Polri permisif dengan tindakan kekerasan seksual dan anggota yang melakukannya," kata Poengky.
Simak selengkapnya di halaman berikutnya...