Bupati Kepulauan Talaud, Sulawesi Utara (Sulut), Elly Engelbert Lasut menggugat Undang-Undang Pilkada ke Mahkamah Konstitusi (MK) usai dirinya terlambat dilantik sebagai bupati usai terpilih pada 2018 lalu. Dia baru dilantik sebagai bupati oleh Mendagri pada 2020.
"Gugatan bukan soal masa jabatan, tapi soal keterlambatan pelantikan," kata Elly saat dikonfirmasi detikcom, Rabu (21/6/2023).
Elly mengatakan dalam Pasal 201 Ayat 5 UU Pilkada disebutkan bahwa gubernur dan wakil gubernur, bupati dan wakil bupati, serta wali kota dan wakil wali kota hasil pemilihan tahun 2018 menjabat sampai dengan tahun 2023. Namun tidak dijelaskan soal keterlambatan pelantikan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi undang-undang yang terbaru itu soal keterlambatan pelantikan yang disengaja itu tidak diatur oleh undang-undang. Sehingga dasar pemberhentian kami itu tidak diatur di dalam UU 10 tahun 2016," kata dia.
Elly menyebutkan ada dua dasar rujukan UU soal masa jabatan kepala daerah yaitu pilkada 2018-2023 dan pilkada 2020-2023. Menurutnya pada pilkada 2020-2023 masa jabatan 3 tahun, sedangkan pilkada 2018-2023 itu masa jabatan 5 tahun.
"Nah untuk periode 2020-2023 masa jabatan itu dikurangi dipangkas kemudian diberikan kompensasi. Tetapi itu mengatur pada periode 2020-2023, tidak mengatur pada Pilkada 2018-2023," jelas dia.
Menurut Elly, pemberhentian kepala daerah harus mengacu pada masa jabatan. Dia lalu mencontohkan saat dirinya terpilih dalam pilkada 2018 sebagai bupati Kepulauan Talaud namun saat itu terjadi keterlambatan pelantikan hingga 2 tahun.
"Nah itu kan melewati masa jabatan dari 2020-2023. Karena itu tidak diatur soal keterlambatan, maka itu yang kami ajukan gugatan ke MK soal pasal-pasal yang mengatur keterlambatan pelantikan supaya kami bisa jelas, disebut apa ini keterlambatan," katanya.
"Kami keberatan soal keterlambatan, itu disebut apa? Pengurangan atau apa misalnya. Tapi itu kan tidak diatur di UU, jadi kami minta diatur soal keterlambatan," pungkasnya.
(hsr/hmw)