Bupati Mimika Eltinus Omaleng terjerat kasus korupsi pada September 2022. Ironisnya, Johannes Rettob yang sejatinya ditunjuk menggantikan Eltinus Omaleng sebagai Plt Bupati Mimika juga ditetapkan sebagai tersangka kasus korupsi.
Eltinus Omaleng terjerat kasus korupsi pembangunan gereja. Sedangkan Johannes terjerat kasus korupsi pengadaan pesawat dan helikopter di lingkup Dishub Mimika.
Dirangkum detikcom, Jumat (27/1/2023), berikut ulasan masing-masing kasus Korupsi yang menjerat Eltinus Omaleng dan Johannes Rettob:
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kasus Korupsi Eltinus Omaleng
KPK menetapkan Bupati Mimika Eltinus Omaleng (EO) sebagai tersangka di perkara dugaan korupsi pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 di Kabupaten Mimika, Papua. Selain Eltinus, KPK juga menetapkan Marthen Sawy (MS) selaku Kepala Bagian Kesra Setda Kabupaten Mimika dan Teguh Anggara (TA) selaku Direktur PT Waringin Megah (WM).
Ketua KPK Firli Bahuri menyebut perkara ini bermula pada 2013 ketika Eltinus Omaleng masih menjadi Komisaris PT Nemang Kawi Jaya membangun Gereja Kingmi dengan nilai Rp 126 miliar. Lalu pada 2014, dia terpilih menjadi Bupati Mimika dan menetapkan satu kebijakan soal dana hibah pembangunan Gereja Kingmi Mile 32.
"Di tahun 2014, EO terpilih menjadi Bupati Kabupaten Mimika periode 2014-2019 dan kemudian mengeluarkan kebijakan satu di antaranya untuk menganggarkan dana hibah pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 ke Yayasan Waartsing," kata Firli dalam konferensi pers di gedung KPK, Jalan Kuningan Persada, seperti dikutip dari detikNews, Kamis (8/9/2022).
Firli mengatakan Eltinus lalu memerintahkan Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) Kabupaten Mimika memasukkan anggaran hibah dan Gereja Kingmi Mile 32 ke anggaran daerah Pemkab Mimika tahun 2014 sebesar Rp 65 miliar. Eltinus, yang saat itu masih menduduki jabatan komisaris, membangun dan menyiapkan alat pembangunan Gereja Kingmi Mile 32.
"EO, yang masih menjadi Komisaris PT NKJ, kemudian membangun dan menyiapkan alat produksi beton yang berada tepat di depan lokasi akan dibangunnya Gereja Kingmi Mile 32," ujar Firli.
Selanjutnya, pada 2015, Eltinus mempercepat proses pembangunan dan menawarkan proyek itu kepada Teguh Anggara. Dalam kesepakatannya, Eltinus bakal mendapat 7 persen fee dan Teguh menerima 3 persen dari total nilai proyek.
Firli menyebut Eltinus sengaja menunjuk Marthen Sawy sebagai pejabat pembuat komitmen (PPK), yang saat itu tidak berkompeten di bidang konstruksi bangunan, untuk mengondisikan proses lelang. Eltinus memerintahkan Marthen Sawy memenangkan Teguh Anggara meskipun proses lelang belum diumumkan.
"EO juga memerintahkan MS memenangkan TA sebagai pemenang proyek walaupun kegiatan lelang belum diumumkan," ucap Firli.
Marthen Sawy dan Teguh Anggara melakukan penandatanganan kontrak pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 senilai Rp 46 miliar. Dalam proses pengerjaannya, Teguh Anggara mensubkontrakkan seluruh pekerjaan ke sejumlah perusahaan tanpa ikatan kontrak.
"TA kemudian mensubkontrakkan seluruh pekerjaan pembangunan gedung Kingmi Mile 32 ke beberapa perusahaan berbeda, salah satunya PT KPPN (Kuala Persada Papua Nusantara), tanpa perjanjian kontrak dengan pihak Pemkab Mimika, namun hal ini diketahui EO," terang Firli.
Firli menyebut PT KPPN menggunakan dan menyewa dari PT NKJ, yang mana saat itu Eltinus masih menduduki jabatan komisaris. Dalam proses pengerjaannya, waktu penyelesaian hingga volume pekerjaan diduga tidak sesuai dengan yang tertulis dalam kontrak.
"Dalam perjalanannya, progres pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 tidak sesuai dengan jangka waktu penyelesaian sebagaimana kontrak, termasuk adanya kurang volume pekerjaan, padahal pembayaran pekerjaan telah dilakukan," sebutnya.
Eltinus, Teguh, dan Marthen dianggap melanggar ketentuan Peraturan Presiden No 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa pemerintah. Perbuatannya diduga merugikan negara hingga Rp 21,6 miliar. KPK menduga Eltinus menerima uang senilai Rp 4,4 miliar.
"Perbuatan para tersangka mengakibatkan timbulnya kerugian keuangan negara setidaknya sejumlah sekitar Rp 21,6 miliar dari nilai kontrak Rp 46 miliar. Dari proyek ini EO diduga turut menerima uang sejumlah sekitar Rp 4,4 miliar," tutur Firli.
Ketiganya disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Simak di halaman berikutnya...
Saksikan juga 'Saat Video Rekaman CCTV Lukas Enembe Selama Dirawat di RSPAD':
Kasus Korupsi Johannes Rettob
Berselang sekitar tiga bulan kemudian, giliran Plt Bupati Mimika Johanes Rettob dan Direktur Asian One Air Silvi Herawati yang ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejati Papua atas dugaan korupsi pengadaan pesawat dan helikopter di lingkup Dinas Perhubungan Mimika. Perbuatan kedua tersangka diduga merugikan negara Rp 43 miliar.
Johanes Rettob terlibat atas kasus ini lantaran pada tahun 2015 yang bersangkutan merupakan Kepala Dinas Perhubungan Kabupaten Mimika. Dia lalu menjadi Wakil Bupati Mimika periode 2018-2023 dan kini menjadi Plt Bupati Mimika usai Mendagri menonaktifkan Eltinus Omaleng yang terjerat kasus korupsi di KPK.
"Penyidik telah menetapkan tersangka Plt Bupati Mimika JR dan Direktur PT Asian One Air SH sebagai tersangka atas dugaan korupsi pengadaan pesawat dan helikopter di Dinas Perhubungan Tahun Anggaran 2015," ungkap Kasi Penerangan Hukum Kejati Papua Aguwani kepada wartawan, Kamis (26/1/2023).
Aguwani mengatakan kasus ini terkait pengadaan pesawat terbang Cessna Grand Caravan C 208 B EX dan helikopter Airbus H 125 pada Dinas Perhubungan Kabupaten Mimika tahun anggaran 2015. Keduanya menjadi tersangka lewat gelar kasus pada Rabu (25/1).
"Jadi ada sekitar 20-an orang diperiksa sebagai saksi atas kasus ini. Lalu dari hasil gelar perkara ditetapkan 2 orang sebagai tersangka," katanya.
Dia menambahkan, atas hasil audit independen ditemukan kerugian negara mencapai Rp 43 miliar. Untuk pembelian pesawat dan helikopter itu, pemerintah daerah menganggarkan anggaran APBD mencapai Rp 85 miliar pada tahun 2015.
"Berdasarkan hasil audit independen kerugian negara kurang lebih sekitar Rp 43 M," katanya.
Untuk kedua tersangka, lanjut dia, sampai saat ini belum ditahan dengan alasan masih kooperatif. Akan tetapi penyidik akan segera melimpahkan kasus ini ke pengadilan.
"Penyidik telah diperintahkan pimpinan untuk segera melimpahkan kasus ini ke pengadilan. Jadi ini dulu yang sampaikan," katanya.