Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Arief Hidayat membongkar pemalsuan tanda tangan dalam berkas gugatan judicial review UU Ibu Kota Negara (IKN) yang diajukan oleh sejumlah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung (FH Unila). Akibatnya para pemohon terpaksa membatalkan gugatannya karena bisa berujung proses pidana jika dilanjutkan.
Para mahasiswa tersebut adalah M Yuhiqqul Haqqa Gunadi, Hurriyah Ainaa Mardiyah, Ackas Depry Aryando, Rafi Muhammad, Dea Karisna, dan Nanda Trisua Hardianto. Hakim Arief Hidayat awalnya merasa ada yang janggal pada tanda tangan di berkas gugatan sehingga mempertanyakannya kepada para mahasiswa selaku pemohon.
"Ada beberapa hal yang perlu saya minta konfirmasi. Ini Saudara tanda tangannya betul atau tanda tangan palsu ini? Kalau kita lihat, tanda tangan ini mencurigakan, bukan tanda tangan asli dari para pemohon," kata Arief Hidayat dalam sidang kepada para pemohon, seperti dilansir dari detikNews, Jumat (15/7).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Awalnya para Pemohon menjawab tanda tangan di berkas gugatan itu asli.
Para pemohon juga menegaskan kalau tanda tangannya berupa tanda tangan digital.
Namun jawaban para pemohon yang terkesan menyembunyikan sesuatu itu terendus Arief Hidayat. Dia akhirnya mengancam kasus itu bisa dibawa ke pihak kepolisian jika tanda tangan di berkas gugatan itu benar palsu.
"Coba kita lihat di KTP Dea Karisna, tanda tangannya beda antara di KTP dan di permohonan. Gimana ini Dea Karisna? Mana Dea Karisna? Terus kemudian, tanda tangan Nanda Trisua juga beda. Ini jangan bermain‑main, lho. Rafi juga beda. Kemudian tanda tangan Ackas ini beda sekali, juga Hurriyah. Ini bisa dilaporkan ke polisi, kena pidana, bermain‑main di instansi yang resmi. Beda semua antara KTP dengan permohonan," ucap Arief Hidayat.
Akhirnya salah seorang mahasiswa, Hurriyah Ainaa Mardiyah mengakui ada tanda tangan yang dipalsukan. Dia menyebutkan dari total enam pemohon, dua di antaranya tidak menandatangani perbaikan permohonan tersebut dan Hurriyah pun meminta maaf kepada MK.
"Baik Yang Mulia, izin menjawab. Sebelumnya mohon maaf, karena tidak semuanya tanda tangan sama dengan yang ada di KTP. Tanda tangan Dea Karisna dan Nanda Trisua itu memang sebenarnya sudah dengan atas kesepakatan dari yang bersangkutan. Karena yang bersangkutan tidak sedang berada bersama kami saat perbaikan permohonan tersebut. Begitu, Yang Mulia," jelas Hurriyah.
Setelah pemalsuan tanda tangan terbongkar, Arief Hidayat akhirnya memberikan pilihan kepada pemohon agar mencabut permohonannya. Sebab jika tidak, gugatan itu bisa berdampak ke proses pidana di kepolisian.
"Anda memalsukan tanda tangan, ini perbuatan yang tidak bisa ditolerir. Itu sesuatu hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh mahasiswa fakultas hukum karena itu merupakan pelanggaran hukum," kata Arief Hidayat tegas.
"Bagaimana? Kalau kita bertiga sepakat ini Anda cabut, nanti Anda kalau mau mengajukan lagi, silakan mengajukan lagi," sambung Arief Hidayat.
Para pemohon akhirnya tidak memiliki pilihan dan menyatakan siap mencabut permohonan. Selanjutnya panel hakim meminta para pemohon secara resmi mencabut permohonan di depan persidangan dan mengajukan surat resmi untuk mencabut permohonan.
"Baik, Yang Mulia. Maka dengan ini, kami mohon maaf atas kesalahan kami dan kelalaian kami. Kami akan mencabut permohonan kami. Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022 pada Rabu 13 Juli 2022," tandas Hurriyah selaku juru bicara para pemohon.
Kendati demikian, hakim Arief mengatakan para mahasiswa bisa saja mengajukan permohonan kembali di kemudian hari. Namun Arief menegaskan berkas gugatan harus menggunakan tanda tangan asli.
"Kemudian kalau Saudara akan mengajukan permohonan kembali, silakan mengajukan permohonan dengan tanda tangan yang asli, atau yang memalsukan dan yang dipalsukan kita urus ke kepolisian," katanya.
(hmw/tau)