Memoar Perjalanan Hidup Habibie-Ainun: Simbol Cinta Sejati Sehidup Semati

Memoar Perjalanan Hidup Habibie-Ainun: Simbol Cinta Sejati Sehidup Semati

Urwatul Wutsqaa, Yaslinda Utari Kasim - detikSulsel
Senin, 11 Nov 2024 08:30 WIB
Presiden RI ke-3 BJ Habibie hembuskan nafas terakhir di RSPAD Gatot Soebroto. Pria yang dikenal dengan kesetiaannya pada sang istri ini wafat di usia 83 tahun.
Foto: Dok. Instagram/@b.jhabibie
Makassar -

Cinta sejati, menjadi istilah yang melekat pada pasangan BJ Habibie dan Hasri Ainun Habibie. Kisah cinta mereka mengharukan sekaligus menginspirasi bahkan diabadikan dalam sejumlah karya, mulai buku hingga film.

Habibie dan Ainun menikah pada pada 12 Mei 1962 di Bandung. Dari pernikahan tersebut, keduanya dikarunia dua orang putra bernama Ilham Akbar Habibie dan Thareq Kemal Habibie.

Memiliki kisah yang apik dan romantis, keduanya harus terpisah oleh maut. Hasri Ainun Habibie wafat pada 22 Mei 2010. Setelah lama menjaga kesetiaan di dunia, BJ Habibie pun menyusul sang kekasih di keabadian pada pada Rabu 11 September 2019 pukul 18.05 WIB.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Presiden ke-3 RI tersebut meninggal dalam usianya yang ke 83 tahun. Kepergian Habibie menyisakan duka yang sangat mendalam bagi bangsa Indonesia.

Meski telah kembali ke haribaan yang Mahakuasa, kisah Habibie-Ainun masih terus dikenang. Baik kisah maupun sosok mereka masih menjadi inspirasi bagi generasi muda.

ADVERTISEMENT

Perjalanan Saling Menemukan

Jauh sebelum berangkat ke Jerman, Habibie dan Ainun sudah saling mengenal. Ketika tinggal di Bandung, rumah mereka berdekatan. Keluarga mereka juga kenal baik dan kerap saling mengunjungi. Di SLTP atau sekolah setingkat SMP, sekolah mereka bersebelahan, barulah di SLTA mereka dipertemukan dalam satu sekolah.

Baik Habibie maupun Ainun, keduanya dikenal sebagai siswa yang cerdas dan berprestasi. Mereka juga selalu jadi siswa yang paling kecil dan muda di kelas. Hanya saja, Habibie satu kelas lebih tinggi dari Ainun.

Persamaan inilah yang membuat mereka kerap dijodoh-jodohkan. Namun ketika itu, mereka tak pernah mempunyai hubungan khusus lebih dari seorang teman. Ainun dalam buku berjudul 'Setengah Abad B.J Habibie mengaku bahwa tak pernah punya perhatian khusus kepada BJ Habibie sewaktu masih sekolah.

Kendati demikian, ada satu kejadian yang begitu lekat di ingatan Ainun. Ketika itu, Ainun yang usianya 16 tahun memiliki hobi berenang sehingga kulitnya agak menghitam. Pada saat jam istirahat, Habibie dan teman-temannya lewat di depan Ainun dan tiba-tiba menegurnya "Eh, kamu sekarang kok hitam dan gemuk?"

Ainun dan teman-temannya saat itu sempat kaget. Namun dia tidak begitu menggubrisnya. Rupanya, Habibie saat itu memang sudah menaruh perhatian kepada Ainun. Saat itu Ainun yang berkulit hitam manis memang banyak menarik perhatian siswa pria.

Menurut pengakuan teman akrab Habibie, Wiratman, sahabatnya itu pernah berkelakar soal Ainun, "Wah cakep itu anak, si item gula Jawa," kata Habibie.
Taman SLTA, keduanya tak pernah lagi bertemu. Habibie melanjutkan kuliah di ITB lalu ke Jerman, sementara Ainun kuliah kedokteran di Universitas Indonesia, Jakarta. Keduanya baru bertemu kembali ketika Habibie mengambil cuti kerja dan pulang ke Indonesia tahun 1962.

Pertemuan mereka selepas Habibie pulang ke Indonesia bukan sesuatu yang direncanakan. Tujuan utama kepulangan Habibie saat itu untuk berziarah ke makam ayahnya di Ujung Pandang. Sementara itu, sang ibu sempat mengutarakan harapannya agar dalam kepulangannya tersebut Habibie juga mendapat jodoh di Indonesia.

Pada suatu hari menjelang lebaran, Habibie bersama adiknya, Jusuf Effendy Habibie berkunjung ke rumah keluarga Mohammad Besari, ayah Ainun. Kebetulan ketika itu, Ainun sedang mudik ke Bandung. Dia mengambil cuti dari tempat kerjanya karena sedang sakit.

Di sinilah momen perjumpaan kembali Habibie dan Ainun. Setelah bertahun-tahun tak bertemu, dua teman lama itu akhirnya berjumpa kembali. Keduanya yang sama-sama telah dewasa saling menatap. Habibie yang pangling dengan penampilan Ainun menegur, "Kok gula jawa sudah jadi gula pasir." Di momen pertemuan inilah mulai berkembang benih-benih cinta antara keduanya.

Tak butuh waktu lama, hubungan asmara mereka segera melangkah ke jenjang yang serius. Pihak keluarga Habibie segera melamar Ainun. Keduanya lalu melangsungkan pertunangan pada April 1962 di Bandung.

Menikah dan Membangun keluarga

Habibie dan Ainun ketika menikahHabibie dan Ainun ketika melangsungkan pernikahan (dok.istimewa)

Pertemuan kembali Habibie dan Ainun hingga melangkah ke pelaminan terbilang singkat. Habibie yang ketika itu mengambil cuti dua bulan memperpanjang cutinya menjadi 3 bulan untuk melangsungkan proses pernikahan.

Habibie dan Ainun melangsungkan akad nikah pada tanggal 12 Mei 1962 di kediaman orang tua mempelai wanita, di Jalan Ranggamalela 11 B dengan tradisi Jawa. Tak lama setelah melangsungkan pernikahan dan berbulan madu, Habibie kembali ke Jerman dengan membawa serta istrinya.

Pasangan muda itu pun bersiap memulai kehidupan baru di tanah rantau. Mereka menyewa sebuah paviliun kecil di Aachen dengan tiga kamar yang kecil, tetapi uang sewanya cukup besar. Ketika itu penghasilan Habibie masih pas-pasan sehingga mereka harus berhemat untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari.

Ketika Ainun tengah mengandung anak pertamanya dengan usia kehamilan 4 bulan, Ainun mulai merasa rumahnya akan terlalu kecil jika anaknya nanti lahir. Akhirnya mereka memutuskan pindah ke sebuah rumah susun di luar Aachen yang terletak di Oberforstbach. Ukuran cukup besar untuk ditempati keluarga kecil mereka. Beberapa waktu setelah pindah ke sana, Ainun mulai merasa hidupnya agak berat, dia merasakan kesendirian yang begitu menyiksa, jauh dari keluarga dan teman-teman. Satu-satunya teman yang dia miliki adalah Habibie, tapi suaminya yang sedang menyelesaikan studi doktornya kala itu harus bekerja dan sering pulang larut malam.

Pada tahun-tahun awal pernikahan, Habibie dan Ainun benar-benar hidup prihatin. Suatu ketika, Habibie yang sehari-harinya naik bus terpaksa berjalan kaki dua tiga kali seminggu sejauh 15 kilometer karena kekurangan uang untuk membeli kartu langganan. Sepatunya yang berlubang baru ditambal menjelang musim dingin.

Meskipun harus berjuang hidup dalam keprihatinan, rupanya ada hikmah besar yang mereka dapatkan. Di masa-masa sulit itu, Ainun belajar hidup sebagai perempuan yang berdikari. Dia belajar memaksimalkan mengatur waktu agar semua pekerjaan rumah dapat terselesaikan. Ainun berupaya agar konsentrasi Habibie tidak terganggu dengan persoalan-persoalan rumah.

Dengan kesibukan Ainun menjalankan tanggung jawabnya sebagai istri dan Habibie dengan tanggung jawab pekerjaannya, sering kali mereka dengan sendirinya melakukan sesuatu yang diinginkan satu sama lainnya.Keduanya seolah mampu saling memahami pikiran masing-masing melalui telepati.

Di tengah kesibukannya sebagai asisten peneliti, Habibie yang kala itu telah dikarunia putra pertamanya berusaha mencari pekerjaan lain. Bagai gayung bersambut, saat itu kebetulan sebuah industri kereta api di Jerman, Firma Talbot, sedang mencari ahli konstruksi untuk mendesain gerbong.

Habibie juga berhasil mengerjakan proyek-proyek lain yang fenomenal hingga posisinya semakin dipertimpangkan, di antaranya konstruksi di bagian belakang pesawat terbang F 28, proyek HBF 320, hingga memecahkan misteri penyebab jatuhnya Starfighter F-104 G.

Anak kedua mereka, Thareq Kemal Habibie lahir ketika mereka pindah ke Hamburg. Seiring dengan berjalannya waktu, karier Habibie pun kian melejit. Habibie juga telah selesai menyelesaikan studi S3-nya ketika itu.

Saat usia Thareq menginjak 4 tahun, Ainun memutuskan kembali bekerja. Ia menyadari pekerjaannya menuntutnya seharian berada di rumah sakit. Hanya beberapa waktu, naluri keibuan Ainun membuatnya merasa bersalah telah mengorbankan waktu bersama keluarga.

Setelah berunding dengan sang suami, Ainun memutuskan mengalah. Ia menyadari dirinya lebih dibutuhkan di belakang layar. Ia memilih untuk lebih mengutamakan keluarga dibandingkan mencari kepuasan profesional dan mengejar berpenghasilan tinggi.

Ainun percaya telah mengambil keputusan yang tepat. Melihat karier suaminya yang semakin maju, ia tidak ingin menjadi faktor penghambat dan berupaya untuk mendukung semua langkah-langkah Habibie. Ainun melihat Habibie sebagai sosok yang memiliki jiwa nasionalisme yang tinggi sejak dulu, dia yakin apa yang dilakukan suaminya itu bukan semata-mata untuk dirinya sendiri, melainkan demi idealismenya dan menyangkut kepentingan banyak orang.

Mendampingi hingga Detik-detik Terakhir Kehidupan Ainun

Habibie mendampingi hingga detik-detik terakhir kehidupan AinunHabibie mendampingi hingga detik-detik terakhir kehidupan Ainun Foto: (dok.istimewa)

Selama kurang lebih 40 tahun menjalani bahtera rumah tangga, berbagai suka duka mereka lalui. Mereka sama-sama saling belajar, bertumbuh menjadi individu yang lebih baik dari hari ke hari.

Namun suatu ketika, pasangan yang senantiasa tampil harmonis itu diterpa cobaan yang begitu berat. Ainun didiagnosa mengalami kanker ovarium stadium lanjut. Kabar itu diketahui hanya berselang sehari sebelum liburan panjang yang telah mereka rencanakan setahun belakangan.

Selama kurang lebih dua bulan, Ainun dirawat di sebuah rumah sakit di Muenchen, Jerman. Dalam rentang waktu satu bulan, Ainun menjalani 12 kali operasi. Selama masa penantian itu pula Habibie dan keluarga dilanda ketegangan. Harap-harap cemas, Habibie terus menanti kabar dari dokter terkait kondisi terkini sang istri tercinta.

Menjelang operasi yang ketiga belas, para dokter ahli yang menangani Ainun sekali lagi meminta izin untuk menjalankan prosedur operasi. Di titik ini, Habibie mulai menyadari upaya maksimal telah dilakukan. Meskipun operasi yang ketiga belas dilakukan, tidak ada jaminan kondisi sang istri akan membaik.

Dengan penuh kebijaksanaan, Habibie tidak menyetujui operasi ketiga belas tersebut, dia tidak ingin Ainun harus kembali menanggung beban rasa sakit itu. Habibie yakin tim dokter telah mengerahkan upaya maksimal, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah menyerahkan semuanya kepada sang pencipta.

Dengan penuh ketulusan, Habibie terus mendampingi Ainun di kamar ICCU, menggenggam tangan ainun yang terlelap di pembaringan. Habibie juga melaksanakan salat tahajud di samping Ainun. Selepas sholat subuh, Habibie tetap setia mendampingi Ainun, memanjatkan doa-doa dan membisikkannya ke telinga Ainun.

Habibie juga masih sempat membersihkan tubuh Ainun dari kepala hingga ujung kaki dengan handuk kecil yang dibasahi air zam zam. Sembari membasuh tubuh Ainun, Habibie membaca surah Al-Fatihah berulang-ulang.

Pukul 17.20 waktu setempat, dokter masuk ke ruangan, sambil menatap Habibie dia mengangguk memberi tanda detik-detik terakhir Ainun. Habibie lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Ainun, membisikkan kalimat syahadat berkali-kali, menuntun sang istri di detik-detik terakhir kehidupannya di dunia.

Tanggal 22 Mei 2010, tepat pukul 17.30 waktu Muenchen, Ainun berpulang ke pangkuan Sang Khaliq setelah 48 tahun 10 hari mendampingi Habibie mengarungi kehidupan di dunia. Ainun wafat dengan tenang dan damai di usia 72 tahun.

Kehidupan Habibie Setelah Ditinggal Ainun

Mantan Presiden BJ Habibie berziarah ke makam mendiang istrinya, Ainun, di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Habibie ditemani oleh mantan gubernur DKI Fauzi Bowo (Foke), Jakarta, Jum'at (20/9/2013). File/detikFoto.Mantan Presiden BJ Habibie berziarah ke makam mendiang istrinya, Ainun, di Taman Makam Pahlawan Kalibata. (Foto: Agung Pambudhy)

Setelah kepergian Ainun, Habibie dilanda emosi kesedihan yang tak terbendung. Dia kemudian dinasihati oleh tim dokter dari Jerman dan Indonesia untuk melawan emosi itu.

Gangguan emosional yang terjadi padanya ditakutkan akan berdampak buruk pada organ vital yang mengancam kesehatannya. Oleh karena itu, Habibie pun memutuskan untuk menulis sebagai penyembuh karena tidak perlu melibatkan orang lain dan mengonsumsi obat-obatan.

Keinginannya itu lalu disampaikan di sela-sela acara tausiyah Ainun bahwa dia akan menulis buku berjudul 'Ainun'. Namun, beberapa hari setelah menulis bukunya sedikit demi sedikit Habibie memutuskan untuk mengganti judul bukunya menjadi 'Habibie & Ainun. Sebab, dalam kisah yang ditulisnya mustahil dirinya tidak terlibat.

Menulis buku "Habibie & Ainun" bukanlah hal yang mudah. Pada 100 hari pertama kepergian Ainun masih banyak tamu-tamu yang berdatangan untuk menyampaikan duka cita sehingga banyak menyita waktunya. Selain itu, Habibie juga belum bisa melepas bayangan Ainun yang terasa masih selalu ada di sisinya.

Belum lagi ketika menulis buku ini, Habibie terus kembali ke kenangan masa lalu bersama Ainun. Meski begitu, Habibie berusaha keras untuk menyelesaikan setiap bagian buku, sampai akhirnya tuntas sebanyak 322 halaman dalam kurun waktu dua setengah bulan.

Setelah diterbitkan pada Desember 2020, buku "Habibie & Ainun" menduduki top ten dan best seller dan diterjemahkan ke dalam Bahasa Jerman, Arab, dan Jepang. [1]

Menulis buku "Habibie & Ainun" pada akhirnya mampu membuat Habibie bertahan melawan emosi kesedihan. Meski begitu, kerinduan senantiasa menyelimuti jiwa Habibie.

Sejak kepergian Ainun, Habibie senantiasa berziarah setiap hari Jumat sekitar pukul 07.00-09.00 WIB. Tidak hanya itu, Habibie juga rutin mengganti bunga sedap malam dan anggrek ungu di makam Ainun setiap dua kali sepekan.

Kerinduan yang besar itu membawa Habibie ingin selalu berdampingan dengan Ainun. Beberapa waktu setelah kepergian istrinya, Habibie sudah memesan area khusus di samping makam Ainun untuk dirinya.

Sampai pada 2019, kondisi kesehatan BJ Habibie mulai menurun. Menurut putranya Thareq Kemal Habibie, jantung ayahnya menyerah dan tidak kuat lagi untuk bertahan.

Sehingga pada 11 September 2019 pukul 18.05 Habibie dinyatakan meninggal dunia. Sesuai keinginannya, Presiden ke-3 RI itu dimakamkan tepat di samping istri tercintanya di Taman Makam Pahlawan (TMP) Kalibata. [2]

Monumen Cinta Sejati Habibie & Ainun di Kota Parepare, Sulawesi SelatanMonumen Cinta Sejati Habibie & Ainun di Kota Parepare, Sulawesi Selatan Foto: (Urwatul Wutsqaa/detikSulsel)

Kisah cinta Habibie dan Ainun ini kemudian diabadikan Pemerintah Kota Parepare dengan membangun Monumen Cinta Sejati Habibie-Ainun. Berdasarkan wejangan Habibie, monumen tersebut tidak hanya diartikan sebagai cinta antara dua makhluk, tetapi cinta kepada kemanusiaan, cinta kepada negara, cinta agama, dan cinta kepada bangsa.

Monumen ini terletak di jantung kota dengan luas sekitar seratus meter persegi. Di tengahnya berdiri patung Habibie dan Ainun setinggi 10 meter yang terbuat dari perunggu. [1]

Sumber:

1. Buku Mr. Crack dari Parepare
2. Rangkuman Berita detikNews
3. Seminar Nasional Ethos 4 Jusuf, Prinsip dan Karakter Bugis-Makassar




(urw/urw)

Koleksi Pilihan

Kumpulan artikel pilihan oleh redaksi detiksulsel

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads