10 Cerita Rakyat Makassar Lengkap beserta Pesan Moralnya

10 Cerita Rakyat Makassar Lengkap beserta Pesan Moralnya

Nur Ainun - detikSulsel
Minggu, 29 Okt 2023 19:30 WIB
Cerita Rakyat Indonesia
Ilustrasi cerita rakyat Makassar (Foto: Getty Images/iStockphoto/vatrushka67)
Makassar -

Cerita rakyat merupakan salah satu sastra lisan yang berasal dari masyarakat dan diceritakan turun temurun untuk menyampaikan pesan moral. Nah, kali ini detikSulsel akan menyajikan beberapa Cerita Rakyat Makassar lengkap beserta pesan moralnya.

Mengutip dari laman repository Universitas Jambi, cerita rakyat memberikan manfaat dalam kehidupan bermasyarakat, setiap alurnya memiliki kandungan sebagai hiburan dan pesan moral yang dijadikan pelajaran dalam kehidupan. Cerita rakyat dapat dijadikan sebagai media dalam komunikasi yang bermanfaat memberikan nilai-nilai pendidikan.

Berikut ini 10 cerita rakyat Makassar yang dilansir detikSulsel dari buku RUPAMA karya Zainuddin Hakim.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Yuk simak ceritanya!

1. Cerita Rakyat Makassar I Kukang

Diceritakan sebuah negeri di Antah Berantah yang dihuni oleh keluar yang sangat miskin dan keluarga kaya raya. Orang kaya itu mempunyai seorang anak laki-laki yang diberi nama I Makkuraga.

ADVERTISEMENT

Di keluarga si miskin itu juga mempunyai seorang anak laki-laki yang bernama Kukang. Setiap hari, sang ayah membanting tulang mengumpulkan kayu bakar dari hutan dan dibawa ke rumah orang kaya untuk dijual. Meskipun pekerjaannya cukup berat, tetapi upah yang diterima untuk pekerjaan itu tak setimpal dengan beratnya pekerjaan itu.

Sementara Ibu, setiap hari harus bekerja di kebun meskipun sedang memiliki anak kecil yang sedang tidur di rumahnya tanpa tikar, tanpa bantal, dan tanpa kain. Keluarga si miskin ini menyadari bahwa yang namanya rezeki, cobaan, seperti halnya kemiskinan, semuanya adalah pemberian Allah Yang Maha Adil dan Maha Suci.

Ketika kebun si miskin sudah berbuah dan hampir dipetik hasilnya, tidak disangka-sangka kerbau milik orang kaya itu datang ke kebun si miskin melahap habis semua tanaman si miskin. Karena kejadian itu si miskin menyampaikan pengaduannya kepada orang kaya itu, akan tetapi orang kaya itu menjawab dengan ancaman akan membunuh dan tidak akan membeli lagi kayu bakarnya yang diambil di hutan. kedua suami istri itu berusaha menerimanya dengan hati yang sabar walaupun sebenarnya merasa sakit hati diperlakukan seperti itu.

Singkat cerita, belum habis rasa sedihnya diperlakukan seperti itu oleh si kaya, keluarga si miskin harus menghadapi hal yang sangat pahit, ayah Kukang meninggal dunia. Keluarga si miskin merasa tertimpah batu besar yang tak terelakkan, ditambah lagi tidak seorang yang datang menjenguk mayatnya apalagi mengantarnya ke kubur.

Dengan perasaan sedih dan hancur istrinya meminta pertolongan pada seorang abdi si kaya itu untuk mengantarkan suaminya ke tempat peristirahatannya yang terakhir. Dikuburlah ayah I Kukang tanpa diberi nisan penanda dan taburan bunga.

Tinggallah istri si miskin bersama dengan anaknya yang sudah tak memiliki ayah lagi menjalani sisa-sisa hidupnya. Kehidupan si miskin makin hari makin menyedihkan dan dirasakannya seakan-akan tiada lagi penderitaan di atas yang ia rasakan. Si bocah kecil (I Kukang) sudah tak berbaju dan tak bercelana lagi, ibunya juga hanya memakai sarung yang sangat usang dan sudah robek-robek.

Selain itu Rumah tempat tinggal mereka sudah roboh, dan karena itu mereka pindah ke suatu gua yang tak berpintu. Setelah beberapa saat lamanya tinggal di dalam gua itu jadilah ia seorang pemuda yang ulet. Karena keuletannya belajar tentang ilmu bela diri, akhirnya jadilah I Kukang seorang pendekar ulung yang sangat disegani. Karena keuletannya itu pula I Kukang menjadi penguasa di negeri itu, sementara orang kaya tadi berbalik menjadi orang termiskin di negeri itu.

Banyak pesan moral yang terkandung dari cerita rakyat Makassar, I Kukang. Salah satunya adalah jangan pernah merendahkan derajat seseorang karena tidak ada yang tahu nasib ke depan, roda kehidupan akan selalu berputar.

2. Cerita Rakyat Makassar Sebab Musabab Ikan Hiu Tidak Dimakan (Dalam Satu Keluarga)

Dahulu, ada seorang pedagang besar yang bernama Adam Daeng Makleok. Pada suatu hari perahunya berlabuh di muara Gowa, beberapa lama di sana ia tidak pernah menemukan orang di jalan.

Ia kemudian berkata di dalam hatinya, "Apa gerangan yang menyebabkan ayam pun tidak ada yang berkokok , anjing tidak ada yang menggonggong? Lebih-lebih lagi, tak ada seorang pun yang berjalan-jalan. Saat itu semua pintu rumah tertutup rapat. Kemudian ia mendekati sebuah rumah lalu bertanya, "Ada apa sebenarnya yang terjadi di sini?"

Menjawablah orang-orang di atas rumahnya. "'Orang di Gowa sedang berkabung, karena padi di Lonjok Boko rusak." Berkatalah Adam Daeng Makleok, "Kalau hanya itu masalahnya, yakni hanya karena rusaknya padi di Lonjok Boko sehingga orang berkabung, sebenarnya masih ada obatnya." Pemilik rumah itupun langsung menyampaikan hal itu kepada Karaeng Sombaya.

Berkatalah Karaeng Sombaya setelah orang itu pergi menghadap, "Mengapa engkau berani berjalan-jalan sementara orang dalam keadaan berkabung?" Menjawablah orang itu, "Ada seorang pedagang sedang berlabuh di muara Gowa, dia mengatakan masalah yang terjadi dapat diobati sehingga padi itu dapat baik kembali. Kalau hal ini tidak benar saya bersedia menerima keputusan dari junjunganku."

Adam Daeng Makleo pun diundang untuk ke istana, ia dibawa mengelilingi area persawahan. Dia mengatakan "Padi sebenarnya masih ada walaupun sudah rusak, karena itu orang sekarang baru berkabung, dalam tiga hari ini orang dilarang berjalan-jalan ke persawahan." Ketika cukup tiga hari maka pergilah pesuruh kepercayaan Sombaya untuk melihat dan mengelilingi persawahan. Saat kembali ke istana bertanyalah Sombaya, "Bagaimana keadaan padi sekarang?" Berkatalah pesuruh itu, "Keadaan padi sudah mulai membaik, sudah mulai menguning."

Adam Daeng Makleok pun meminta izin untuk pulang ke kampung halamannya karena padi telah membaik. Namun permintaannya tidak dipenuhi Sombaya berkata "Biarlah nanti setelah padi dipotong barulah saya perkenankan engkau kembali." Tinggallah Adam Daeng Makleok selama tujuh hari. Setelah cukup tujuh hari, padi pun sudah selesai dipotong. Ketika padi selesai dipanen, ia pun minta izin lagi. Berkatalah Sombaya, "Padi ini adalah milikmu dan ambillah semuanya, nanti kalau ada sisamu barulah para pekerja itu mendapatkan bagian. "

Akan tetapi, Adam Daeng Makleok tidak mau menerimanya, kemudian Sombaya ingin memberinya uang, tetapi uang itu pun ditolaknya dengan alasan ia masih mempunyai banyak uang. Berkatalah Sombaya, " Dengan apa aku membalas budi baikmu? Kalau memang demikian engkau tidak mau menerima pemberianku, tinggallah engkau di sini dan saya akan mengawinkanmu dengan siapa saja yang kau sukai, kecuali istriku.

Di antara sekian banyak gadis yang dilihatnya belum ada yang berkenan di hatinya. Akhirnya pada suatu hari keluarlah putri bungsu Sombaya berjalan-jalan. Ketika putri terlihat, Adam Daeng Makleok berkata, "Inilah orang yang berkenan di hatiku. " Mendengar ucapan ini Sombaya hanya menunduk saja sambil memikirkan apa yang pernah diucapkannya. Akhirnya Adam Daeng Makleok dikawinkan dengan putri bungsu Sombaya.

Singkat cerita, ketika ia bersama istrinya di kampung halamannya ternyata kakaknya ingin merebut istrinya. Kakaknya pun membawa adiknya bersama istrinya ke suatu pulau, dan di sana ia ditinggal seorang diri. Karena sakit hati ia ke pinggir pantai sambil menangis. Akhirnya suara tangisnya itu didengar oleh seekor ikan hiu, "Mengapa engkau terlalu sedih?"

Berceritalah Adam Daeng Makleok dari awal sampai pada keadaannya sekarang. Berkatalah ikan hiu itu, "Kalau kamu percaya padaku saya ingin menolong mengantarmu sampai ke kampung halamanmu." Menjawablah Adam Daeng Makleok, "Ya, saya percaya." Diantarlah dia kembali ke kampungnya.

Ketika Adam Daeng Makleok telah sampai, ikan hiu itupun memiliki satu permintaan "Begini, kalau engkau berkeinginan membalas maka pesanlah keturunanmu agar mereka jangan makan ikan hiu. Boleh saja mereka makan, kalau betul-betul dalam keadaan terpaksa." Begitulah perjanjian Adam Daeng Makleok dengan ikan hiu.

Ketika sampai di rumahnya ia langsung tidur di ranjang, kakaknya pun kaget karena ia mengira kalau adiknya telah meninggal di pulau itu. Karena kesal Andi Daeng Makleok menghabisi nyawa kakaknya menggunakan keris. Hingga kini, seluruh keturunan Adam Daeng Makleok tidak berani memakan hiu, karena itu telah menjadi kesepakatannya apabila ingin membalas dendam ia tak boleh memakan hiu.

Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita rakyat Makassar, Sebab Musabab Ikan Hiu Tidak Dimakan (Dalam Satu Keluarga) adalah dalam kondisi tertentu kita terpaksa harus mengambil keputusan. Karena hidup ini adalah pilihan dan setiap pilihan ada konsekuensinya.

3. Cerita Rakyat Makassar Pelanduk dan Buaya

Pada zaman dahulu sebelum samudra bagian barat dan timur bersambung, kala itu semua binatang masih dapat berbincang bincang seperti halnya manusia. Suatu ketika bertemulah dua ekor binatang, yaitu pelanduk dan buaya di pinggir sebuah sungai. Pelanduk mulai berbicara, "lnginkah kamu menyaksikan kehebatanku?" Dijawablah oleh buaya, "Ya saya ingin menyaksikan kehebatan saudara." Belum selesai buaya bercerita, tiba-tiba melompatlah pelanduk ke seberang sungai. Lebar sungai itu ada sekitar lima meter. Buaya sangat takjub melihat dan menyaksikan kebolehan pelanduk tadi. Muncullah dalam pikiran buaya ingin membalas. Lalu diajaknya sahabatnya turun ke pinggir sungai untuk mencari-cari ikan dan kalau dapat terus memakannya. Ajakan itu diterima baik oleh pelanduk.

Lalu turunlah ia ke tepi sungai, tatkala ia berada di tepi sungai dilihatnyalah ikan berkeliaran ke sana kemari. Belum sempat ia menangkap ikan-ikan itu tiba-tiba kakinya digigit buaya. Berkatalah buaya, "Hai sahabat, sekarang saya akan lihat kebolehan saudara, sekarang saya akan memakanmu, bagaimana caramu meloloskan diri?" Pelanduk itu tertawa terbahak-bahak sambil berkata, " Hai sahabat, barangkali engkau mengira bahwa yang engkau gigit itu adalah kaki saya. Digoyang-goyangkannya kaki yang di sebelah yang sebenarnya adalah tongkatnya sambil berkata, "Inilah kaki saya sebenarnya, apa yang saudara gigit adalah tongkatku."

Mendengar kata-kata pelanduk itu, buaya sangat marah lalu melepaskan kaki pelanduk itu dengan tujuan ingin menggigit kaki yang ditunjukkan itu. Belum sempat ia menggigit kaki yang dimaksud, pelanduk telah melompat naik ke darat, lalu berkata, "Benar-benar Saudara sangat tolol, tidak ada lagi yang lebih tolol daripada saudara. Yang kamu gigit tadi itu adalah kaki saya, tetapi saya bohongi Saudara."

Semakin bertambahlah jengkelnya buaya itu mendengar ejekan pelanduk tadi sambil berkata, "Awaslah engkau, hati-hatilah, dagingmu, bulu-bulumu, dan tulangmu, kamu tidak dapat lagi minum di tepi sungai." Tersenyumlah pelanduk itu mendengarkan kata-kata buaya sambil berkata, "Kalau demikian saya akan minum di kubangan." Perkataan pelanduk itu diperhatikan dan disimpan dalam hati oleh buaya.

Kemudian suatu ketika buaya itu naik ke darat dan menuju ke suatu kubangan dengan maksud menunggui pelanduk yang akan minum di tempat itu. Setelah beberapa saat lamanya kebetulan muncullah pelanduk hendak minum di kubangan itu. Ketika pelanduk sudah mendekat, dilihatnya kepala buaya muncul di permukaan air. Pelanduk kaget kemudian lari masuk ke dalam hutan bersembunyi. Bagaimana akalku membunuh buaya itu sebab sebelum buaya mati di mana saja saya pergi minum, buaya selalu siap di situ."

Tiba-tiba ia bertemu dengan seekor ular besar. Ia kemudian mendekati ular itu lalu berkata, "Hai sahabat, tak inginkah engkau makan ikan besar?" Dengan spontan ular menjawab, "Ya, saya ingin sekali." "Kalau demikian, marilah ikut di belakang saya." Berjalanlah mereka berdua menuju ke kubangan tempat buaya itu bersembunyi. Dari jauh kelihatanlah buaya sedang membungkukkan tubuhnya, menandakan bahwa ia bersembunyi. Berkatalah kembali pelanduk itu, "Lihatlah di sana, betapa besarnya ikan yang saya maksudkan."

Bergegas-gegaslah ular besar itu menuju ke kubangan dengan maksud menangkap ikan besar yang ada di kubangan itu, yang sesungguhnya adalah buaya. Akan tetapi, buaya itu memang selalu berjaga-jaga untuk menerkam. Setelah mendengar ada sesuatu di dekat kubangan, diperhatikannya baik-baik. Dilihatnya dan diamatinya dengan baik dan ternyata adalah seekor ular besar. Tiba-tiba, buaya itu melompat dan menerkamnya. Digigit dan dibanting banting nya ular itu ke sana kemari. Sementara berkelahi, sang pelanduk berteriak kepada ular besar itu, "Congkel matanya dengan ekorrnu." Ular besar itu benar-benar mencungkil mata buaya. Akan tetapi, buaya itu pun tidak mau kalah. Dengan serta merta ia menggigit dan membanting ular besar itu, perkelahian pun terus berlangsung.

Singkat cerita, buaya itu pun kalah dalam perkelahian itu. Pada saat ular tadi sedang berkelahi dengan buaya, sang pelanduk lari masuk hutan dengan tujuan hendak bersembunyi, tetapi apa yang terjadi? la jatuh ke jurang.

Pada waktu yang bersamaan tiba-tiba lewat seekor kerbau. Sang kerbau bertanya, "Apa gerangan yang kamu tunggu di dalam jurang itu?'' Cepat-cepat dijawab oleh pelanduk, "Saya bersembunyi di jurang ini karena sebentar lagi langit akan runtuh. Kalau sahabat tidak cepat-cepat turun bersembunyi di sini pasti akan tertindih langit. " Karena ketololannya, kerbau pun mempercayai omongan pelanduk, pelanduk langsung melompat ke atas dengan menaiki pundak kerbau.

Dilanjutkan cerita, suatu ketika pelanduk itu pergi berjalan-jalan di tepi sungai sebab menurut pikirannya tidak ada lagi yang ditakuti karena buaya sudah mati akibat perkelahian dengan ular besar. Ketika sampai di pinggir sungai kebetulan mendapati dua ekor kerbau jantan sedang berlaga dan saling memburu. Agak lama juga kedua kerbau itu berlaga, pada akhirnya satu di antaranya menyerah dan lari hendak mencari perlindungan pada pelanduk. Akan tetapi, pelanduk lebih dahulu dan lebih cepat lari.

Ketika lari, pelanduk tidak melihat ada kubangan kerbau yang cukup dalam. Ia lompati saja, sedangkan kubangan tersebut sangat luas, pelanduk jatuh dengan seekor kerbau yang mengejarnya dan persis menindih sang pelanduk. Matilah pelanduk di kubangan itu, sedangkan kerbau itu pun tinggallah di dalam kubangan.

Pesan moral yang terkandung dalam cerita rakyat Makassar, Pelanduk dan Buaya adalah tujuan dapat tercapai dengan menggunakan akal dan pikiran, tapi jangan sampai mengorbankan orang lain untuk mencapai tujuan itu.

4. Cerita Rakyat Makassar Orang Tua yang Memiliki 7 Anak

Dahulu ada seorang orang kaya yang mempunyai tujuh orang anak dan semuanya laki-laki. Setelah semuanya dikawinkan maka seluruh harta bendanya dibagikan sama rata kepada anak-anaknya. Ia membagikan hartanya karena ia berpikir sudah tua dan sudah tidak mempunyai istri lagi, hanya ini saja yang dapat dilakukan, yaitu berpindah dari rumah ke rumah anaknya untuk makan tiap pagi dan sore karena ketujuhnya telah diberi kekayaan.

Namun, baru saja satu orang anaknya dikunjungi rumahnya, yaitu rumah sulung, anak mantunya langsung berkata, ''Bagaimana mungkin hidup kita bisa subur, bisa berpucuk, bercabang karena bagaikan orang yang menanam sesuatu tiap pagi dan sore ada saja yang makan daunnya." Orang tua ini sudah merasakannya juga dalam hatinya, "bagaimanakah dayaku sebab seluruh harta bendaku sudah berada pada anakku. Ingin kuambil kembali, tapi mereka jauh lebih kuat." Orang tua ini pindah lagi kepada anaknya yang kedua. Tindakan anak mantunya ini sama saja dengan yang pertama. Bahkan, semua anak mantunya memperlakukan orang tuanya secara tidak layak.

Untuk mengatasi keadaannya ia mencari akal agar semua anak mantunya dapat menerimanya kembali. Pergilah orang tua itu ke pasar membeli gumbang, anaknya yang sempat melihat orang tuanya membeli guci berkata, "Akan diapakan itu ayah?" dijawab, "janganlah engkau bicara, jangan engkau mengira saya ini sudah linglung. Andaikata aku ini sudah lingkung maka tidak ada barang yang aku bagikan kepada kamu semua. Betapa banyak harta yang aku bagikan karena kamu tujuh orang bersaudara dan mendapat pembagian yang sama."

Setelah orang tua itu tiba di rumahnya, dikemasi baik-baiklah gucinya kemudian dibungkus dengan kain antelas dan kain satin. Kemudian, dia simpan di atas loteng dan digantung pada pelancar para-para. Kemudian dia bisikkan anaknya yang paling tua karena anak bungsunya yang melihatnya membeli guci. Dia katakan kepada anaknya yang tua, "Hai anakku, jangan sampaikan kepada saudaramu yang lain, hanya engkau saja yang kuberitahukan, sesungguhnya masih ada barang-barang yang belum kubagi, tetapi itu persiapan kematianku nanti. Saya khawatir tidak menyimpan persiapan padahal aku ini sudah mau mati." Ia pun melarang siapapun yang ingin mengambilnya.

Karena si sulung merasa ayahnya masih punya harta, ia begitu menyayanginya. Saudara-saudaranya yang lain menaruh curiga dan iri terhadap saudaranya yang tua sambil berkata, "mengapa begitu rajin mengurus orang tua kita?'' Sulungpun membisiki adiknya bahwa sebenarnya masih ada harta bapak yang belum dibagi. Keesokan harinya datanglah membawakan orang tuanya ikan panggang dan makanan yang lain.

Singkat cerita, akhirnya orang tua itu pun meninggal dunia. Ketujuh anaknya bermusyawarah tentang langkah-langkah yang harus mereka ambil sehubungan dengan meninggalnya orang tua mereka. Apakah mengurus mayat dulu, atau membagi harta warisan lebih penting? Berkatalah yang sulung, "Tidak pantas kalau kita membagi harta warisan dahulu sebelum diselesaikan pesta kematian ini, nanti lepas hari ketujuhnya, barulah kita undang tuan kadi untuk membagi harta itu. Kurang baik kalau hanya kita saja langsung membagi-baginya. Nanti kita keluarkan cukainya."

Setelah rangkaian pesta ditunaikan, tuan Kadi beserta daeng Imang datang untuk mengambil harta dan membagikannya. Setelah Daeng Imang melihat pembungkusnya mengkilap, kemudian dipukulnya dengan palu-palu pas terbuka ternyata isinya hanya kotoran ayahnya. Anak-anaknya pun betul-betul tidak menyangka akan begitu jadinya. Hati mereka sedih memikirkan balasan dari Allah karena kedurhakaan istri-istri mereka kepada orang tuanya, itulah pembalasan Allah sehingga orang tuanya dahulu diberi akal yang licik seperti itu.

Banyak pesan moral yang terkandung pada cerita rakyat Makassar, Kisah Orang Tua yang Memiliki 7 Anak. Salah satunya adalah orang tua dapat merawat anak-anaknya dengan penuh cinta dan memastikan anaknya mendapatkan kehidupan yang layak, namun tidak semua anak dapat merawat orang tuanya ketika tua. Rawatlah orang tua kalian dengan penuh cinta tanpa berharap imbalan.

5. Cerita Rakyat Makassar Orang yang Durhaka Kepada Orang Tuanya

Di suatu kampung tinggallah seorang orang tua dengan keluarganya. Setelah beberapa saat lamanya ia berumah tangga akhirnya ia dikaruniai seorang putra. Ketika putranya sudah berumur tujuh tahun, mulailah disekolahkannya. Setelah tamat sekolah di kampungnya, anak itu melanjutkan sekolahnya ke pulau Jawa. Bertahun-tahun ia menuntut ilmu sampai akhirnya tamat dari salah sebuah perguruan tinggi di Jawa. Setelah tamat ia pun beristri dengan penduduk asli di sana. Istrinya adalah keturunan raden.

Pada suatu waktu di dalam suatu perbincangan, istrinya bertanya, "Di mana tinggal orang tua kakak?" Akan tetapi dijawab oleh Suaminya, bahwa orang tuanya sudah lama meninggal dunia. Anak ini sudah tinggi jabatannya, sudah kaya, sudah mempunyai banyak mobil, ada yang kecil, ada yang besar sehingga orang-orang di tempatnya mengenalnya sebagai orang berpangkat dan orang kaya di kampung itu. Oleh karena orang tuanya telah sekian tahun lamanya tidak bertemu dengan anaknya, dan tidak juga mendengar beritanya maka pada suatu ketika ia pergi mengunjungi anaknya. Setelah sampai di sana ia pun bertanya kepada pelayannya, "Di sinikah gerangan tinggal Pak Ahmad?" Jawab pembantu itu, "Ya, benar di sini." Berkata lagi orang tuanya, "Coba beritahukan ke dalam bahwa ayah dan ibunya datang ingin bertemu dengan dia."

Masuklah pelayan itu, dan menyampaikan pesan jika ayah ibu tuan ada di depan. Berkatalah Pak Ahmad, "Sampaikan kepada orang yang ada di luar bahwa saya tidak mempunyai orang tua lagi, keduanya sudah meninggal." Namun, ayah dan ibunya tetap mendesak agar mereka diizinkan masuk atau dibukakan pintu. Untuk kesekian kalinya pembantu itu melapor untuk menyampaikan pesan orang tuanya di luar, tetapi tetap tidak diizinkan masuk, bahkan Pak Alunad mengatakan, "Tidak perlu orang itu masuk kemari, tidak ada hubungannya dengan saya karena orang tuaku sudah lama meninggal dunia."

Adapun orang tua ini sudah beberapa kali diusir dari pintu pekarangan tetapi orang itu tetap tidak mau pergi dari situ . Di sanalah kedua orang tua itu menunggui anaknya sambil menangis akibat perlakuan anaknya terhadap dirinya. Mungkin anaknya malu kepada istrinya karena sudah terlanjur memberitahukannya bahwa ayah dan ibunya sudah lama meninggal. Untuk mengusir orang tua itu di lepaskanlah anjing pengawal rumahnya. Karena diburu-buru dan digigit oleh anjing sampai mereka luka-luka, akhirnya kedua orang tuanya itu meninggal dunia.

Setelah peristiwa itu, sebagai pembalasan Tuhan kepadanya, makin hari makin surut pula kekayaannya, dan ia sakit-sakitan. Pangkatnya pun diturunkan karena ia melakukan pelanggaran. Karena kekayaannya sudah habis sakit·sakitan lagi maka ia pun ditinggalkan oleh istrinya (istrinya kawin dengan lelaki lain).

Cerita rakyat Makassar, Orang yang Durhaka Kepada Orang Tuanya ini memiliki banyak pesan moral yang dapat dipetik. Diantaranya adalah janganlah menjadi anak yang durhaka kepada orang tua, karena Allah SWT secara langsung akan mencabut nikmat yang diberikan.

Ridho orang tua merupakan ridho Allah SWT juga, jadi jangan sampai berbuat tidak baik kepada kedua orang tua. Sayangilah mereka sebaik mungkin karena tanpa mereka kita tidak akan bisa menjadi seperti sekarang.

6. Cerita Rakyat Makassar Monyet dengan Kura-kura

Pada zaman dahulu ada dua ekor binatang bersahabat kental yaitu monyet dan kura-kura. Kedua binatang itu sangat akrab. Ke mana saja mereka pergi, selalu bersama-sama. Pada suatu ketika kedua binatang itu duduk di tepi sungai yang kebetulan sedang banjir besar. Sementara mereka berbincang-bincang, ada batang pisang yang hanyut terbawa banjir. Bersepakatlah mereka berdua mengambil batang pisang itu untuk ditanam. Si monyet menginginkan bagian di atas karena dilihat sudah banyak daunnya. Pikir si monyet tentu lekas berbuah. Kemudian kura-kura mengambil bagian yang di bawah. Setelah itu pulanglah mereka ke tempatnya masing-masing menanam batang pisangnya.

Sesudah mereka menanam batang pisang agak lama baru mereka bertemu kembali, tetapi tali persahabatannya tetap seperti biasa. Kira-kira berselang dua bulan kemudian baru mereka bertemu lagi. Ketika itu bertanyalah kura-kura kepada sahabatnya, "Bagaimana keadaan pisang yang kamu tanam tempo hari sahabat?" Dijawab oleh si monyet, "Pisang yang saya tanam itu, tidak mau keluar pucuknya, bahkan daun-daunnya tambah kering."

Si kura-kura pun menceritakan keadaan pisangnya yang ditanamnya kirakira dua bulan yang lalu. Ia menceritakan bahwa pisangnya itu tumbuh dengan subur dan tidak lama lagi pisang itu akan berbuah. Mendengar cerita si kura-kura itu, timbullah perasaan tidak senang, cemburu terhadap si kura-kura sahabatnya itu. Setelah mereka selesai berbincang-bincang, mereka pun kembali ke tempatnya.

Pada suatu ketika bertemulah mereka kembali. Kura-kura menyampaikan kepada si monyet bahwa pisangnya yang tempo hari diperbincangkan itu sekarang sudah berbuah dan sudah masak, tetapi ia belum menikmati hasilnya karena pohon pisang itu akan ditebangnya, ia tidak sanggup, mau dipanjatnya, ia pun tidak bisa. Bergembiralah si monyet dalam hatinya, "Wah, ini kesempatan baik untuk makan pisang temanku si kura-kura sampai kenyang." Karena si monyet membujuk-bujuk si kura-kura, akhirnya ia pun berhasil, kemudian dipanjatlah pohon pisang itu. Si kura-kura dengan tenang menunggunya di bawah pohon. Sebenarnya tidak pernah memikirkan bahwa akan diperbodoh-bodohi oleh temannya sendiri yang selama ini dikenalnya baik, yaitu si monyet.

Ketika si monyet sampai di puncak pohon pisang itu, ia mengambil buah yang sudah masak kemudian dimakan sendiri. Kulitnya dilemparkan ke bawah, si kura-kura mendongkol karena tidak pernah diberikan barang sebiji pun. Si monyet makan terus di atas pohon. Karena terlalu kekenyangan, akhirnya si monyet berak di atas pohon dan persis kena kepala si kura-kura. Bertambah jengkel lah si kura-kura kepada sahabatnya si monyet. Si kura-kura dengan susah payah turun ke sungai mencuci kepalanya. Di sungai ia minta tolong kepada seekor kepiting untuk menggigit kemaluan si monyet karena ia diperbodohkan.

Si kepiting berpendapat bahwa memang kura-kura pantas ditolong dari perbuatan dan tingkah laku si monyet yang keterlaluan itu. Naiklah mereka ke darat bersama-sama. Sesampainya di dekat pohon pisang disuruhnya kepiting memanjat pohon pisang itu. Si monyet bertanya kepada kura-kura, "Hai sahabat, mengapa ada yang saya dengar bunyi yang agak lain?'' Kura-kura menjawab, "Itu cecak saja yang lari tertawa-tawa karena melihat kamu makan terberak-berak."

Belum selesai si kura-kura berkata demikian, tiba-tiba berteriaklah si monyet, "Aduh, aduh, sakitnya kemaluanku digigit kepiting. " Karena tidak tahan sakitnya akhirnya si monyet jatuh ke bawah. Ketika jatuh si monyet ia tidak sadarkan diri lagi dan matilah pada saat itu. Kembalilah si kura-kura dan kepiting ke tempatnya masing-masing, dan mampuslah si monyet karena rakusnya.

Pesan moral yang dapat dipetik pada cerita rakyat Makassar, Monyet dan Kura-kura salah satunya adalah gunakan akal pikiran serta kelebihan yang kita miliki untuk membantu orang lain, bukan untuk menipu dan memanfaatkan orang lain.

7. Cerita Rakyat Makassar Dua Orang Bersaudara

Dahulu ada dua orang laki-laki yang bersaudara kembar. Kedua orang tersebut sejak kecilnya disekolahkan oleh orang tuanya hingga tidak dapat diketahui dengan pasti siapa di antara keduanya yang paling pintar. Kedua orang itu sangat terkenal di dalam kampung itu, bahkan tidak ada yang menyamai kepandaiannya. Hari berganti bulan, bulan berganti tahun, mereka diasuh sampai akhirnya mereka masuk dan tamat di perguruan tinggi, dan pada saat itu mereka pun sudah dewasa.

Suatu ketika masyarakat mau mengangkat kepala kampung di dalam negerinya. Akan diangkat yang kakak, namun orang mengatakan adiknya lebih pandai, kemudian orang mengatakan kakaknya lebih pandai. Dengan demikian masyarakat berkumpul untuk menguji kemampuan kedua orang bersaudara itu.

Kedua orang itu kemudian ditempatkan pada suatu tempat yang dikelilingi oleh orang banyak, bersama dengan kaum adat. Kemudian kaum adat mengatakan, mana yang paling cakap ialah yang diangkat menjadi kepala kampung.

Berkatalah sang kakak kepada sang adik, ''Engkaukah yang ingin bertanya atau sayakah?" Berkatalah adiknya. ''Kakak saja bertanya kepadaku." Bertanyalah sang kakak, "Apa sebabnya itik dapat berenang dan tidak tenggelam?" Menjawablah sang adik, "Menurut yang biasa dipelajari, itik itu rapat dan tebal bulu-bulunya dan jari-jarinya tidak robek, lalu bagaimana menurut Kakak?" Menyahutlah kakaknya, "Kalau menurut pendapat saya, itu adalah kehendak Tuhan. Selanjutnya. apa pula sebabnya pohon kayu di puncak gunung kecil-kecil batangnya, sedangkan yang ada di lereng gunung batangnya besar besar (subur)?" Berkatalah adiknya, "Pohon kayu yang ada di lereng gunung itu subur karena unsur-unsur kesuburan tanah semuanya turun ke lereng gunung. Itu pulalah sebabnya tanaman yang ada di lereng gunung subur. Nah, kalau menurut pendapat Kakak bagaimana?" Menyahutlah kakaknya, "Kalau saya yang ditanya, maka saya akan mengatakan, bahwa itu adalah kehendak Tuhan. Setiap memberi jawaban, kaka hanya mengatakan itu semua adalah kehendak tuhan.

Singkat cerita, ia pun ditanya mengapa semua jawabannya hanya seperti itu. Menjawablah si Kakak, "Saya berikan satu perumpamaan, yaitu kalau dibandingkan kerbau dengan itik, kuku kerbau terbelah-belah juga bulu-bulunya halus, tetapi kerbau lebih cepat berenang daripada itik. Berkata lagi orang banyak, "Bagaimana pula jawabanmu pada pertanyaan kedua?'' Menjawablah si Kakak, "Saya berikan suatu perumpamaan, yaitu kita umat manusia tidak pernah makan dan bawah, akan tetapi mengapa selalu rambut kepala lebih panjang dari pada bulu-bulu betis. Itulah tandanya kehendak Tuhan."

Berkata lagi orang banyak, "Lalu yang ketiga, bagaimana jawabanmu?" Menjawab lagi si Kakak, "Sekarang kita bergurau. Pada wanita ada satu alat yang tidak pernah dihembus angin, juga tidak pernah terkena matahari, tetapi mengapa pecah atau terbelah? ltulah kehendak Tuhan." Berkatalah orang banyak, "Orang pintar betul ini." Dengan demikian, si kakak diangkat menjadi kepala kampung.

Cerita rakyat Makassar Dua Orang bersauda ini memiliki pesan moral yakni, perpikir logis membutuhkan keterampilan yang terlatih, jika pikiran terbiasa menggunakan aturan logika yang benar dan valid, kesimpulan yang dihasilkan pun jadi efektif.

8. Cerita Rakyat Makassar Rusa dengan Kura-kura

Ada seekor rusa sedang mencari makanan di tengah padang. Rusa itu sangat tangkas dan bertanduk panjang. Ketika sedang berjalan di tengah padang, tiba-tiba ia mendapati seekor kura-kura. Kemudian ia perhatikan tingkah laku sang Kura-kura tadi, lalu berkata kepadanya, "Kura-kura, coba kamu bergerak agak lincah sedikit dan jalanmu dipercepat. Gerakanmu sangat lamban. Kalau begitu berapa saja makanan yang engkau dapat. Lihatlah saya! Betapa besar tubuhku, cepat dan lincahnya gerakanku. Jadi, jika ada makanan cepat saya dapat, tetapi engkau nanti sudah habis semua diambil orang baru karnu tiba."

Menyahutlah sang Kura-kura. "Biarlah, memang hanya begini kesanggupanku. Saya mau berbuat apalagi kalau hanya begini kemampuanku." Karena diejek terus-menerus maka apa saja yang dikatakan sang Rusa selalu dijawab oleh sang Kura-kura.

Rusa dan Kura-kura pun berbuat perlombaan, sang Rusa berkata, "Siapa yang kalah besok, kepalanya akan diberakin. Sanggupkah kamu menerimanya?" "Ya, baiklah kalau memang demikian keputusanmu. Sekarang saya mau kembali dulu ke rumahku," kata sang Kura-kura.

Maka kembalilah sang Kura-kura ke rumahnya. Setelah sampai di rumahnya, ia melapor kepada komandannya , katanya, "Pada waktu saya ke luar berjalan-jalan di tengah padang, ada seekor rusa yang saya dapati terlalu sombongnya. Semua kata yang memalukan dikeluarkannya. Saya dihina dan diajak berlomba lari dengannya, sedangkan dia tahu kemampuan kita, bangsa Kura-kura. Berkatalah komandannya, "Lawan dia. Kapan saja ia mau hadapi," "Besok, panggil kawanmu sebanyak sepuluh ekor kemudian bawa ke tengah lapangan. Kalau engkau sampai di sana, suruh berbaris satu per satu. Sedangkan kamu harus menunggu di garis finis."

Besoknya, berangkatlah sang Kura-kura dan benar-benar melaksanakan petunjuk yang telah diberikan komandannya. Kemudian datanglah sang Rusa sambil berteriak, "di mana engkau Kura-kura?" Menyahutlah sang Kura-kura, "saya sudah ada di sini, saudara.'' "Bagaimana, sudah siap?" Kata sang Rusa kepada sang Kura-kura. Menjawablah sang Kura-kura, "saya sudah siap karena begitulah perjanjian kita."

Di tengah perlombaan sang rusa berteriak menanyakan posisi si Kura-kura. Kura-kura yang ada di depannya menjawab, "saya sudah di sini." Dalam hatinya ia berkata, "ternyata Kura-kura lebih cepat daripada saya." sang Rusa berlari lagi. Di tempat Kura-kura menyahut tadi, sang Rusa berteriak lagi, tetapi dijawab oleh Kura-kura yang di depannya, "saya sudah ada di sini, berlarilah ke sini pasti kuberaki kepalamu." Sang Rusa pun larilah dengan kencangnya, tetapi setiap kali berteriak memanggil sang Kura-kura, kura-kura selalu mendahuluinya.

Akhirnya, sang Kura-kura keluar sebagai pemenang karena kecerdikannya. Ia berkata kepada sang Rusa, "Saya lebih cepat, saya yang menang, saya akan beraki kepalamu. Berkatalah sang Rusa, "Benar-benar tidak boleh dipandang remeh sesuatu. Kalau saya lihat lambanmu berjalan, tidak mungkin engkau dapat mengalahkan saya berlari. Engkau beraki betul kepalaku, engkau lebih kuat daripada saya."

Cerita rakyat Makassar, Rusa dengan Kura-kura ini memiliki pesan moral yang dapat dipetik. Diantaranya jangan suka meremehkan kemampuan orang lain dan bersifat sombong. Karena kesombongan hanya mendatangkan penyesalan dan kerugian di kemudian hari.

9. Cerita Rakyat Makassar Dua Orang Bersahabat

Di sebuah negeri, berdiam dua orang bersahabat karib. Yang satu bernama I Makkuraga dan yang lain bernama I Mattola. Pada suatu ketika I Makkuraga memerintahkan istrinya untuk memanggil sahabatnya yang bernama I Mattola untuk datang ke rumahnya dengan maksud memberikan pekerjaan menangkap ikan di laut.

Oleh karena itu, ia diperlengkapi dengan perahu, jala. pukat, pancing, dan penangkap ikan yang lain yang diperlukan. Akhirnya datanglah I Mattola di rumah I Makkuraga sekaligus menerima baik maksud I Makkuraga itu.

Jadi, untuk memperlancar jalannya usaha penangkapan ikan ini, maka I Makkuraga dan I Mattola membuat suatu perjanjian yang bunyinya sebagai berikut, "Semua ikan yang berhasil ditangkap nanti yang ekornya bercabang dua adalah kepunyaan I Makkuraga, dan semua ikan yang ekornya lurus adalah kepunyaan I Mattola." Perjanjian ini telah disepakati dan disetujui oleh mereka berdua. Kemudian I Makkuraga menyerahkan alat-alat perlengkapan nelayan kepada I Mattola. Lalu I Mattola membawa perlengkapan itu pulang ke rumahnya dengan senang hati.

Beberapa hari kemudian I Mattola dengan istrinya mufakat tentang hari permulaan turun ke laut sebagai langkah pertama. Kata I Mattola kepada istrinya, "baiklah kita pergi ke rumah tuan kadi minta tolong tentang penentuan dan penetapan hari diturunkannya peralatan itu ke laut dan sekaligus minta berkah kepadanya." Setelah itu tuan kadi menentukan hari baik dan bersedia ke rumahnya untuk membacakan doa selamatan. Setelah selesai membawa doa barulah perahu itu diturunkan ke laut, dengan perasaan gembira I Mattola mendayung perahunya ke laut, ke tempat yang diperkirakan banyak ikan.

Dengan perasaan puas dan syukur I Mattola kembali ke rumahnya dengan membawa ikan yang cukup banyak. Dipanggillah I Makkuraga untuk membagi ikan sesuai dengan perjanjian mereka. Pemeriksaan ikan-ikan telah dilakukan oleh I Makkuraga untuk mencari ikan-ikan yang berekor dua dan ternyata tak satu pun ikan yang berekor satu. Dengan demikian, menurut perjanjian, I Makkuragalah mendapat pembagian dari seluruh ikan yang ditangkap oleh 1 Mattola. Tiap hari, bulan, tahun selalu berhasil dan memuaskan penghasilan I Mattola Akan tetapi, sayang bagi I Mattola karena tidak pernah ia mendapat hasil dari jerih payahnya, yakni ikan-ikan yang berekor satu, berekor tunggal. Namun, I Mattola bersama istrinya masih tetap sabar dan berhati lapang, tak ada cekcok karena demikianlah perjanjian yang mereka sepakati.

Singkat cerita, I Mattola akhirnya mendapatkan ikan berekor satu yang besar. I Makkuraga tak terima, lalu berkata kepada I Mattola, "Ikan masapi yang besar ini harus dibagi lagi karena hasil selama ini adalah bagian saya. Perahu, layar, jangkar, dan lain-lain peralatan belum mendapat bagian." Demikianlah sehingga ikan besar itu dibagi bagi lagi oleh I Makkuraga sehingga I Mattola hanya mendapat segumpal saja. Pada saat itulah I Mattola bermusyawarah dengan istrinya untuk menghentikan pekerjaannya karena tidak memenuhi kebutuhan hidupnya.

Berkatalah I Mattola kepada istrinya, "Mulai hari ini perahu beserta alat alat penangkap ikan lainnya diserahkan kepada I Makkuraga kembali kemudian kita tinggalkan daerah pantai ini lalu kita masuk hutan untuk bercocok tanam. Siapa tahu rezeki kita ada di sana." Istrinya menyetujui maksud suaminya. Tak lama kemudian berangkatlah ia bersama dengan istrinya dengan membawa alat-alat pertanian secukupnya. Setelah sampai di dalam hutan mulailah ia bekerja keras membanting tulang, di samping itu, ia juga membuat rumah peristirahatan. Kehidupan I Mattola sekeluarga sudah cukup lumayan, berkat kesabaran, kerajinan, dan ketekunannya.

Namun kehidupan I Mattola kembali terusik, I Makuraga menuntut hasil karena merasa tanah yang digunakan adalah milik nenek moyangnya. Lalu I Mattola berkata, "Jangan dulu. saya akan hadirkan orang-orang kota dan orang-orang di daerah pantai ini untuk membicarakan masalah tanah ini sebab saya tidak yakin tanah atau hutan ini adalah milik nenek moyangmu." Berkatalah I Makkuraga, "tidak perlu kamu serepot itu, saya akan tunjukkan sebuah pohon yang paling besar di tengah hutan ini yang dapat berbicara sebagaimana halnya manusia, dan pohon itu batangnya berlubang dari bawah ke atas. Jadi, masalah tanah ini dapat kita tanyakan kepada pohon ajaib itu, dan kita pasti akan puas dengan jawaban yang diberikan."

Saat mengunjungi pohon tersebut, tiba-tiba muncullah suara dari dalam pohon itu sebagai jawaban dari pertanyaannya, "sepanjang pengetahuan saya, tanah atau hutan ini adalah kepunyaan nenek moyang I Makkuraga." Begitulah suara yang didengar oleh I Mattola dari dalam pohon ajaib itu, namun ternyata di dalam pohon itu terdapat seorang suruhan I Makkuraga. Setelah itu mereka pun pulang meninggalkan tempat itu menuju ke rumahnya masing-masing. Ketika I Mattola tiba di rumahnya diajaknya istrinya mengumpulkan kayu-kayuan dengan maksud ingin membakar pohon kayu besar yang ajaib itu. Sesaat kemudian kayu-kayuan sudah tertimbun maka I Mattola pun membakar pohon kayu ajaib itu. Hancur dan hanguslah pohon kayu itu bersama dengan paman I Makkuraga yang ada di dalamnya.

Setelah api padam tampaklah tulang-tulang manusia berserakan bercampur dengan abu pohon besar itu. Pada saat itulah I Mattola yakin bahwa sebenarnya perbuatan I Makkuraga itu adalah penipuan belaka karena yang berbicara dari dalam pohon kayu itu adalah suara paman I Makkuraga sendiri. Akhirnya I Mattola memanggil I Makkuraga untuk menyaksikan pohon ajaib itu habis terbakar. Setibanya di tempat itu, dilihatnya lah tulang-tulang pamannya telah berserakan. Menangislah ia meraung-raung sebagai tanda penyesalan atas perbuatannya menipu I Mattola. Ada pun I Makkuraga sudah tidak dapat mengendalikan dirinya lagi akibat penyesalannya sehingga ia membanting-banting dirinya, berteriak-teriak seperti orang kesurupan, sampai ia sakit keras dan meninggal dunia.

Cerita rakyat Makassar Dua Orang Bersahabat ini memiliki banyak pesan moral yang dapat dipetik. Diantaranya janganlah menjadi seorang yang seraka apa lagi harus mengorbankan orang lain demi kepentingan pribadi.

10. Cerita Rakyat Makassar Si Lumpuh dan Si Buta

Ada dua orang miskin bertetangga, yang satu lumpuh dan yang seorang lagi buta. Kerjanya setiap hari hanya duduk di tepi jalan menunggu belas kasihan orang yang lewat. Jika mereka bepergian, maka si Buta yang mendukung dan si Lumpuh penunjuk jalannya. Pada suatu hari mereka berdua berbincang-bincang, tatkala mereka kembali ke rumah pada sore harinya. Berkatalah si Lumpuh, "Saya lihat makin hari makin tipis penghasilan kita. Seperti pada hari ini, tak cukup sekali kita hadapi." Menjawablah si Buta, "benar apa yang kamu katakan itu, tetapi menurut pendapatmu bagaimana cara kita mengatasinya?"

Kata si Lumpuh, "Menurut hemat saya, sebaiknya kita tidak hanya duduk menunggu sepanjang hari di pinggir jalan. Bukankah ada perkataan ulama bahwa duduk itu baik, tetapi berjalan itu jauh lebih baik lagi. Karena itu, bagaimana kalau kita pergi mengunjungi rumah orang-orang kaya minta sedekahnya?" Berkatalah si Buta, "Apa yang kamu katakan itu betul. Namun, hal itu cukup berat terutama bagi yang mendukung. Seandainya ada pemberian rezeki dari Allah, bagaimana cara kita membagi?" Jawab si Lumpuh, "Engkau dua dan saya satu bagian sebab engkau yang mendukung, tetapi kamu harus berhati-hati jangan sampai kita jauh."

Tiba-tiba mereka teringat oleh cerita lama bahwa di puncak gunung selatan, ada sebuah gua yang di dalamnya terdapat banyak perhiasan atau perkakas yang terbuat dari emas. Tidak ada orang yang berani mendekatinya karena takut terhadap raksasa putih pemakan orang yang menjadi penghuninya. "Bagaimana pendapatmu, Lumpuh, jika kita pergi ke sana mengadu jiwa? Siapa tahu Tuhan memberkati kita sehingga raksasa putih itu dapat kita usir," kata si Buta. Menjawablah si Lumpuh, "baiklah, saya setuju saja, asalkan engkau bersedia mendukungku, sebab perjalanan ini sangat jauh dan berbahaya.

Singkat cerita, Ketika mereka tiba di sana, didapatinya raksasa putih sedang berdiri di depan mulut gua, di bawah sebatang pohon kayu. Terkejut raksasa itu melihat ada orang yang aneh datang, dua kepalanya, empat tangannya, empat kakinya, empat matanya, dan empat telinganya. Si Lumpuh dan si Buta pun memberi salam. Bersamaan dengan itu, terdengar pula suara guntur yang dahsyat, kilat sambung-menyambung seakan-akan bumi akan hancur. Raksasa menyangka bahwa suara itu suara orang yang aneh tadi, yaitu si Lumpuh dan si Buta.

Karena terkejut dan ketakutan, ia pun lari tunggang langgang dan akhirnya terjerumus ke dalam jurang yang dalam. Maka bergembiralah si Lumpuh dan si Buta, lalu bersyukur kepada Tuhan karena mereka telah mendapatkan curahan rahmat guna melangsungkan kehidupannya. Masuklah mereka berdua ke dalam gua. Di dalamnya mereka dapati emas yang banyak dan beraneka ragam. Berkatalah si Lumpuh, "Baiklah kita bawa emas-emas ini semampu yang kita bawa." Jawab si Buta, "Baiklah kita kumpulkan saja emas yang paling mahal harganya untuk kita bawa pulang. Akan tetapi, perlu diperbaharui perjanjian yang pernah kita buat." Berkatalah si Lumpuh, " Seperti perjanjian kita dahulu bahwa yang mendukung mendapat dua bagian dan yang didukung satu bagian." Kata si Buta, "Baiklah, itulah yang kita pegangi."

Kemudian pulanglah kedua orang itu ke kampungnya. Tidak cukup sebulan di dalam perjalanan tibalah mereka dengan selamat. Mereka langsung ke rumah si Lumpuh karena di sanalah akan dibagi barang mereka. Setelah tiba, oleh si Lumpuh dibukakan bungkusan mereka, sambil berkata, "Siapkanlah pembungkus, Buta, kemudian kita bagi barang tersebut. Dengarkan baik-baik, sahabat! Ini bagian yang mendukung, ini bagian yang didukung atau yang melihat, dan ini bagian yang membagi."

Kata si Buta, "He, he, berhenti dulu sahabat. Saya kira tidak seperti itu perjanjian yang pernah kita sepakati dahulu. Mengapa ada bagiannya yang membagi. Sadarlah sahabat! Jangan engkau terpengaruh dengan emas itu. Betul mataku buta, tetapi ingatanku terang seperti matahari." Sambil berkata demikian, ditamparnya muka si Lumpuh lalu berkata, "bagilah kembali dengan adil sesuai dengan kesepakatan kita. Kalau engkau berlaku curang akan ku congkel biji matamu. biar kamu rasakan bagaimana pedihnya kalau kita tidak melihat. Gemetarlah sekujur tubuh si Lumpuh karena takut. Kemudian ia minta maaf pada si Buta, lalu harta itu dibagi dengan adil sesuai dengan perjanjian yang mereka telah sepakati.

Cerita Rakyat Makassar Si buta dan Si Lumpuh ini memiliki banyak pesan moral yang dapat dipetik. Diantaranya ketika meraih kesuksesan jangan pernah melupakan orang-orang yang pernah bersamamu di saat susah.

Demikianlah 10 cerita rakyat Makassar lengkap beserta pesan moralnya. Semoga artikel ini dapat menambah wawasan detikers!




(urw/asm)

Berita Terkait

 

 

 

 

 

 

 

 

Hide Ads