Rumah Adat Karampuang terletak di dusun Karampuang, Desa Tompobulu, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan. Rumah adat Karampuang terdiri dari dua unit rumah adat yang masing-masing ditempati oleh pemangku adat dengan fungsi yang berbeda-beda.
Kehadiran Karampuang yang cenderung matrealistik diawali pada sebuah peristiwa besar yakni dengan munculnya seseorang yang dikenal sebagai To Manurung. To Manurung muncul di atas sebuah bukit yang saat ini dikenal dengan nama Batu Lappa. Dalam lontara Karampuang dikisahkan bahwa asal mula adanya daratan di Sinjai, berawal di Karampuang.
Konon, daerah ini dahulu merupakan wilayah lautan, diibaratkan kawasan ini muncul layaknya tempurung yang tersembul di permukaan air. Pada puncak Cimbolo inilah muncul To Manurung yang akhirnya digelar Manurung Karampulue (seseorang yang karena kehadirannya menjadikan bulu kuduk warga berdiri).
Menurut Kepala Bidang Pengembangan Pemasaran Pariwisata Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Sinjai Andi Dewi Angriani kata Karampulue tersebutlah yang kemudian menjadi cikal bakal nama Karampuang.
"Kata Karampulue tadi akhirnya berubah menjadi Karampuang. Penamaan selanjutnya adalah perpaduan antara karaeng dan puang akibat dijadikannya lokasi itu sebagai pertemuan antara orang-orang Gowa yang bergelar Karaeng dan orang-orang Bone yang bergelar Puang," ujarnya dalam keterangan tertulis Selasa, (22/8/2023).
Setelah Manurung Karampulue diangkat oleh warga untuk menjadi raja, ia memimpin warga untuk membuka lahan-lahan baru. Tak lama kemudian dia mengumpulkan warganya dan berpesan, "eloka tuo, tea mate, eloka madeceng, tea maja". Ungkapan ini adalah suatu pesan yang mengisyaratkan kepada warga pendukungnya untuk tetap melestarikan segala tradisinya. Setelah berpesan maka dia tiba-tiba lenyap.
Tak lama kemudian terjadi peristiwa besar yakni dengan hadirnya tujuh To Manurung baru. Diawali dari munculnya cahaya terang di atas busa-busa air. Setelah warga mendatangi busa-busa itu, maka telah muncul tujuh to Manurung tadi dan diangkat sebagai pemimpin baru. Pemimpin yang diangkat adalah seorang perempuan, sedangkan saudara laki-lakinya diperintahkan untuk menjadi raja di tempat lain dan menjadi To Manurung-To Manurung baru.
Dalam Lontara dikatakan, "laocimbolona, monrocapengna". Pada saat melepaskan saudara-saudaranya, dia berpesan, "nonnono makkale lembang, numaloppo kuallinrungi, numatanre kuaccinaungi, makello kuakkelori, ualai lisu". Pesan tersebut bermakna "Turunlah ke daratan datar, namun kesabaranmu kelak harus mampu melindungi Karampuang, raihlah kehormatan namun kehormatan itu kelak turut menaungi leluhurmu. Meskipun demikian segala kehendakmu adalah atas kehendakku juga, kalau tidak, maka kebesaranmu akan aku ambil kembali."
Akhirnya mereka menjadi raja di Ellung Mangenre, Bonglangi, Bontona Carua, Carimba, Lante Amuru dan Tassese. Dalam perjalanannya, masing-masing diamanahkan untuk membentuk dua gella (pelaksana tugas raja). Dengan demikian, maka terciptalah 12 gella baru, yakni Bulu, Biccu, Salohe, Tanete, Maroanging, Anakarung, Munte, Siung, Sulewatang Bulo, Sulewatang Salohe, Satengnga, Pangepena Satengna.
Setelah saudaranya telah menjadi raja, saudara tertuanya yang tinggal di Karampuang pun lenyap dan meninggalkan sebuah benda. Kelak benda inilah yang dijadikan sebagai arajang dan sampai saat ini disimpan di rumah adat. Sedangkan untuk menghormati To Manurung tertua ini, maka rumah adatnya, semuanya dilambangkan dengan simbol perempuan.
Sejarah Karampuang tidak hanya tertulis dalam lontara, tetapi juga terukir dalam beberapa peninggalannya. Dusun yang terletak di Desa Tompobulu, Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan ini memiliki setidaknya enam peninggalan yang masih ada hingga saat ini.
1. Rumah Adat Karampuang
Bangunan cagar budaya ini tepat berada di zona utama Kawasan Adat Karampuang. Bangunan ini terdiri atas dua bangunan, yaitu Rumah Adat Gella dan Rumah Adat To Matoa. Kedua bangunan tersebut berukuran kurang lebih 15 kali 11 meter. Perbedaannya terletak pada simbol kekuasaannya, yakni atap yang bersusun dua pada Rumah To Maota sedangkan Rumah Gella hanya bersusun satu.
2. Gua Cucukang
Tinggalan budaya yang satu ini terletak tak jauh dari Rumah Adat Karampuang. Situs ini berada di daerah perbukitan di tengah hutan. Untuk mengakses Gua Cucukang, diperlukan waktu tempuh sekitar 15 menit dengan berjalan kaki dan melalui jalan yang cukup terjal.
Terdapat dua buah temuan di dalam gua ini, yaitu sebuah batu dan dinding yang memiliki goresan. Batu tersebut memiliki ukuran panjang sekitar satu meter dan lebar sekitar dua meter. Pada batu tersebut terdapat goresan berupa gambar piring, perahu, parang, manusia, kangkang, serta goresan-goresan abstrak.
Goresan serupa juga ditemukan di dinding gua, terutama dinding sebelah kanan dari pintu masuk. Selain itu, pada dinding Gua Cucukang juga terdapat goresan gambar manusia dengan posisi tangan menengadah ke atas seperti berdoa, kaki mengangkang, dan kepala bulat. Pada bagian atasnya terdapat segitiga terbalik yang melambangkan kekuatan langit.
3. Batu Jong (Gong)
Pada situs ini terdapat jalan setapak dengan bebatuan yang disusun sebagai pembatas. Situs ini beralaskan bebatuan yang berlumut dan banyak daun-daun kering yang berserakan di sekitarnya. Pada situs ini ditemukan sebuah bongkahan batu yang berbentuk menyerupai segitiga, dengan panjang ketiga sisinya sekitar 50 cm.
Permukaan batu tersebut hampir tertutupi lumut yang juga membentuk lingkaran-lingkaran berwarna putih akibat proses pelapukan, serta mengakibatkan adanya lubang-lubang pada batu. Dahulu batu ini digunakan saat pesta adat seperti pesta panen dengan cara dipukul dan menghasilkan bunyi seperti Gong. Konon batu ini juga dipercaya memiliki kekuatan gaib.
Simak Video "Video: Macam-macam Reaksi Warga soal Soeharto Jadi Pahlawan Nasional"
(prf/ega)