Meong Palo Karellae merupakan salah satu cerita rakyat Sulawesi Selatan (Sulsel). Cerita rakyat ini tercatat dalam kitab Sureq La Galigo.
Kisah Meong Palo Karellae atau juga biasa ditulis Meongmpalo Karellae dianggap sebagai mitologi atau cerita mitos. Namun, kisah ini mengandung banyak nilai-nilai kehidupan yang tersirat dan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam hidup.
Dilansir dari laman Balai Pelestarian Nilai Budaya Sulawesi Selatan Kemdikbud RI, meongpalo adalah sebutan untuk kucing belang tiga atau kucing yang memiliki tiga warna rambut. Sedangkan Meong Palo Karellae adalah kucing belang tiga yang berjenis kelamin jantan.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kucing belang tiga berjenis kelamin jantan sangat susah ditemui. Walaupun ada, tak jarang ditemui kecacatan dan tidak bertahan lama karena adanya kelainan kromosom.
Kelangkaan kucing tersebut sering dikaitkan dengan mitos di berbagai budaya. Di Masyarakat Bugis sendiri, Meong Palo Karellae dikisahkan merupakan pengawal setia Sangiang Serri (Dewi Padi).
Cerita Rakyat Sulsel Meong Palo Karellae
Dikisahkan seekor Meong Palo Karellae yang tinggal bersama tuannya yang sabar, bijaksana dan berbudi luhur di daerah Tempe dan bermukim di Wage (sekarang Wajo). Awalnya, Meong Palo Karellae hidup bahagia bersama tuannya.
Kehidupannya Meong Palo Karellae senantiasa tentram, senang, tanpa pernah mengalami siksaan batin atau penderitaan dari tuannya.
Namun hidupnya lantas berubah drastis saat Meong Palo Karellae berpindah tuan lalu dibawa ke Soppeng, lalu ke Bulu, dan hingga akhirnya menetap di Lamuru. Perjuangan hidup Meong Palo Karellae pun dimulai.
Di tempat itu dia mulai merasakan penderitaan dan kepedihan.
Suatu ketika, tuan barunya pulang dari pasar membawa ikan ceppek-ceppek. Meong Palo Karellae lantas mengambil seekor ikan yang cukup besar.
Tuannya marah dan memukul kepala Meong Palo Karellae dengan gagang parang. Sehingga ia menjerit dan merasakan sakit di kepala seakan mau pecah dan berkunang-kunang.
Ia pun lari terbirit-birit menuju arah Enrekang, hingga sampailah di Maiwa. Namun, dia tetap mendapat perlakuan yang sama saat tinggal di Lamuru, hidup menderita.
Di suatu rumah, Meong Palo Karellae memakan nasi dan tulang ikan. Sang pemilik rumah melemparinya dengan sakkeang (sepotong papan yang digunakan sebagai alas untuk membersihkan ikan). Ia pun lari menyelamatkan diri dan menuju rakkeang (lumbung padi) tempat bersemayamnya Sangiang Serri (Dewi Padi).
Mendengar keributan, Sangiang Serri terbangun. Sang dewi pun murka melihat perlakuan pemilik rumah kepada Meong Palo Karellae.
Sangiang Serri dan Meong Palo Karellae kemudian meninggalkan rumah tersebut dan mencari tempat yang baru, namun tidak ada satupun tempat yang nyaman untuknya.
Akhirnya Sangiang Serri memutuskan untuk kembali ke langit diantar dengan halilintar yang disertai kilat. Hingga sesampainya di benua langit, Sangiang Serri mengadu dengan ayahandanya terkait perilaku masyarakat di bumi.
Mendengar cerita putrinya, Batara Guru memberi nasehat dan memerintahkannya untuk kembali ke dunia. Dengan berat hati, Sangian Serri menuruti perintah ayahnya dan kembali ke dunia tepatnya di Barru saat tengah malam buta.
Di Barru, Pabbicara (Juru bicara) bersama masyarakat Barru berkumpul menyambut Sangiang Serri. Disambutnya dengan acara adat dan penghormatan.
Sambutan dan pelayanan baik Pabbicara dan masyarakat Barru membuat Sangiang Serri memutuskan untuk menetap di Barru.
Namun sebelum itu, Sangiang Serri mengajukan syarat agar masyarakat menerima dan mengamalkan amanah Batara Guru. Amanah yang dimaksud sebagai berikut:
- Jangan bertengkar pada saat menjelang malam atau pagi, begitu pula pada saat tujuh malam, utamanya malam Jumat
- Nyalakanlah pelita pada saat menjelang malam, dan menyalakan api di dapur pada waktu malam.
- Usahakan periuk dan tempat air minum senantiasa terisi pada waktu malam
- Usahakan pula tempat beras senantiasa berisi, dan jangan sampai kosong
- Jika mengambil nasi jangan sampai terhambur, jangan pula berbicara pada waktu makan
- Jangan melakukan perbuatan curang dan mengambil barang-barang yang bukan milikmu
- Jangan makan secara diam-diam di dapur, jangan pula makan makanan yang tidak halal
- Bilamana akan menabur benih, duduklah tafakkur menghadap pelita seraya menantikan petunjuk dari lubuk hatimu
- Batasi pembicaraanmu, tingkah lakumu, keinginan, dan nafsumu
- Batasi pula matamu dari sesuatu yang jelek atau buruk
- Bilamana padi sudah tua atau masak, panenlah seikat demi seikat agar tidak terhambur, dan simpanlah di lumbung, dan usahakan jangan ditempatkan bersama buah-buahan yang dapat busuk karena bisa merusak padi.
Demikian perjanjian Sangiang Serri bersama Pabbicara dan masyarakat Barru. Semua pihak menyetujui dan bersedia mengamalkan amanah tersebut. Sangiang Serri pun bersedia untuk tinggal di Barru bersama rombongannya.
Cerita Meong Palo Karellae menggambarkan nilai-nilai moral untuk saling menghargai sesama makhluk hidup. Selain itu banyak amalan yang perlu diteladani sebagaimana yang selama ini dijalankan dalam norma masyarakat Bugis.
(alk/urw)